BAGIAN 10

930 116 3
                                    

        Dayu melingkar di tempat tidur. Matanya menerawang ke kasur tua di atasnya yang isinya menyembul diantara papan-papan dan besi yang menyanggahnya. Sudah berapa orang yang tidur di atas kasur itu sebelum ditempati oleh Xiaoshuai. Seandainya kasur itu bisa diajak bicara pasti banyak kejadian seru yang bisa diceritakannya. Dayu membayangkan beberapa bulan lagi setelah mereka semua tamat kamar ini akan berganti kepemilikan. Mungkin juga anak yang tidur di tempat tidurnya akan memikirkan hal yang sama dengannya, memandangi kasur buram tua itu dan bertanya-tanya siapa saja yang sudah memakainya. Bagaimana mereka bisa tidur di atasnya karena kasur itu tampak keras dan tidak nyaman ditiduri. Jelas kesenangan penghuni asrama bukan prioritas pihak universitas.
        Dayu mengalihkan mata ke Xiaoshuai yang sibuk menulis di meja belajar. Saat ini mereka hanya berdua di kamar. Li Wang pergi entah kemana dan Guo Cheng Yu seperti biasa latihan dengan kelompoknya.
        “Xiaoshuai..” panggil Dayu.
        “Emmmm..”
        “Xiaoshuai, apa tanda-tandanya jatuh cinta?” Dayu menanyakan hal yang kini berputar di otaknya.
        Tanpa menoleh dan tetap dengan kesibukannya, temannya itu menjawab, “Jika kau selalu memikirkannya?”
        “Aku tidak,” jawab Dayu cepat.
        “Atau kau selalu merindukannya?”
        “Jelas tidak!”
        “Hatimu berdebar-debar saat bersamanya?”
        “Sama sekali tidak.”
        “Kalau begitu selamat kau tidak sedang jatuh cinta.”
        “Tapi aku selalu berubah pikiran saat melihatnya. Di saat lain aku memikirkan A tapi begitu bersamanya aku melakukan B. Aku selalu tidak tega melihat wajahnya yang sedih dan aku menjadi tidak berdaya di depannya.” Dayu berkata kacau balau. Tidak mudah baginya menjelaskan hubungannya dengan Wang Qing bukan karena malu atau menyembunyikannya  tapi memang karena diapun tidak mengerti apa yang telah terjadi.
        “Jangan terlalu dipikirkan,” nasehat Xiaoshuai enteng. “Suatu saat kau akan mendapat jawaban.”
        Handphone Dayu berbunyi saat dia ingin menyahuti Xiaoshuai. Dia mengangkat handphone dan melihat siapa yang menghubunginya. “Mama,” sapanya.
        “Xiao Yu apa kabarmu?”
        “Baik.” Dayu tersenyum, tidak sadar kalau ibunya tidak bisa melihatnya.
        “Apa kau sudah pesan tiket pesawat dan kereta? Jangan terlalu mepet waktunya, bisa-bisa tidak kebagian.” Ibu mengingatkan.
        “Aku akan memesannya nanti.” Janji Dayu.
        “Uang sudah ditransfer kemarin. Apa sudah kau cek ke bank? Rasanya cukup untuk biaya perjalanan dua orang.” Ibunya berbisik, “Biaya sewa pendampingnya belum karena tidak tahu berapa. Tapi jangan takut kami punya uang.”
        “Ah,” kata Dayu, “Jangan dipikirkan. Dia teman kuliah jadi gratis, hanya uang ongkos saja.”
        “Oh…” Ibu cemas. “Apa aku mengenalnya? Apa tidak apa-apa membuka rahasia dengan temanmu? Mama takut dia menganggapmu aneh. Bagaimana kalau tersebar di sekolah.”
        “Tenang Ma dia bisa dipercaya.” Dayu menenangkan. "Mama tidak mengenalnya tapi dia orang yang baik, tidak usah khawatir."
        “Sungguh? Dia baik sekali. Tanyakan padanya makanan kesukaanya, Mama akan membuatnya.”
        “Ya akan kutanyakan.”
        “Xiao Yu, apa dia tampan?”
        “Ehmmmm… ku rasa,” Dayu ragu-ragu. Saat ini di mata Dayu Wang Qing tidak tampan, “Oh, kulitnya sama seperti Mama.”
        “Ah kurasa itu cukup,” kata ibunya menyadari keraguan anaknya. “Meskipun dia tidak tampan kita tetap berterima kasih kepadanya. Kurasa seorang teman lebih baik daripada orang yang disewa.”
        “Ya,” jawab Dayu. “ Mama tenang saja. Kita bisa menaklukkan nenek.”
        “Ah ya syukurlah,” ibunya mendesah. “Belakangan ini aku tidak nyenyak tidur, tapi sekarang aku sudah tenang.”
        Dayu merasa sedih membebani ibunya. “Maaf.”
        “Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Itu karena kita tinggal di desa barbar seperti ini. Tapi karena kita pintar kita tidak ketularan mereka. Ah kakekmu memanggilku. Kuputus telfonnya. Oh ya tiket pesawat jangan lupa.”
        “Mama salam buat semuanya,” teriak Dayu sebelum sambungan telfon ditutup.
        “Kau kelihatan senang.” Xiaoshuai menoleh ke Dayu. “Belakangan kurasa setiap menerima telfon dari rumah kau cemberut dan moody.”
        “Masalahnya sudah beres sekarang.”
        “Masalah apa?”
        “Biasalah masalah di kampung, tidak menarik.” Dayu menghindar.
        Xiaoshuai melambaikan kertas. “Baca ini. Aku baru merevisinya.”
        Xiaoshuai pindah ke tempat tidur Dayu. Menyerahkan kertas-kertas yang sedari tadi dicoret-coretnya.
        “Bagus,” komentar Dayu setelah membacanya.
        “Benarkah?” Xiaoshuai senang ceritanya mendapat pujian. “Aku akan mempublikasikannya.”
        “Mengapa kau tidak mengeditnya langsung di komputer?” tanya Dayu mengembalikan naskah cerita Xiaoshuai.
        “Mataku sakit jika terlalu lama melihat layar. Cerita satu ini sudah ku kerjakan berhari-hari membuat mataku sudah sampai di limitnya.”
        “Tapi dengan begini kau boros kertas.”
        “Kukira aku berjiwa tua. Kadang-kadang aku membayangkan di kehidupanku yang lalu aku seorang penulis seperti Cao Xueqin, duduk di rumah kecil dikelilingi kemiskinan,  kemelaratan menulis di atas kertas dengan tinta dan kuas tentang impian akan kekayaan dan kekuasaan.” Xiaoshuai merenung.
        “Dan mati sebelum menyelesaikan ceritamu yang royaltinya tidak bisa kau nikmati karena baru terkenal setelah kau tidak ada.” Dayu merenung juga, dia bisa membayangkan Xiaoshuai seperti itu (Dayu dan Xiaoshuai pasti soulmate di masa lalu, mereka berdua cocok dan sehati, pembicaraan mereka yang melantur hanya mereka berdua yang mengerti).
        “Eh, ngomong-ngomong kenapa kau tidak bersama dengan preman itu?” Xiaoshuai menanyakan Dayu yang di luar kebiasaan.
        “Oh dia ada acara ulang tahun temannya.”
        “Dia tidak mengajakmu?” suara Xiaoshuai mengejek.
        “Aku yang tidak mau, malas.”
        “Kenapa?” Xiaoshuai heran. “Ulang tahun sama dengan makan gratis. Bukannya kau selalu mengekor siapapun yang memberimu makan.”
        “Hei aku bukan anjing atau kucing.”
        Xiaoshuai tertawa, apa yang dikatakannya benar karena Dayu selalu bersedia mengikuti siapapun yang mentraktirnya. “Kenapa?”
        “Malas saja aku tidak kenal temannya dan aku tidak bisa minum. Dan kurasa pesta mereka sama dengan alkohol.”
        “Aaah….,” kata Xiaoshuai. “Sangat bijak mengingat apa yang kau lakukan terakhir kali.”
        “Apa yang malam itu aku lakukan?” Dayu tertarik teringat saat dia mabuk di club.
        “Kau ingin tahu? Kurasa sebaiknya tidak.”
        “Ah, ayolah,”desak Dayu. Dia menggoyang-goyang lengan Xiaoshuai manja.
        Temannya menarik nafas dan memejamkan mata. “… Malam itu kau jumpalitan di tengah arena dansa. Awalnya orang-orang terkejut tapi kemudian bertepuk tangan mengira kau akrobat hiburan yang disiapkan club. Kau terus jumpalitan naik ke lantai dua lalu berjoget penuh gairah di depan DJ. Tuhan sungguh memalukan mengingatnya.
Kami semua berlari naik, mengejarmu ke atas karena kemudian kau naik ke balkon dan bersiap melompat. Kurasa jika kami tidak menangkapmu kau sudah mati karena ancang-ancang yang kau ambil seakan kau akan terjun ke air, kepala lebih dulu. Saat itu Li Wang melompat memegangi kakimu, Cheng Yu di pinggang dan orang yang membuatmu mabuk menarikmu hingga kalian semua terjatuh menimpa meja DJ.”
        Xiaoshuai  menutup muka, dia tidak mengatakannya pada Dayu kalau saat itu dia ikut mengejar tapi kakinya tersandung kabel listrik, membuatnya terjatuh, menangis antara sakit dan khawatir, histeris berteriak-teriak memanggil-manggil Dayu berusaha menyadarkannya.  Saat itu dia begitu cemas memikirkan Dayu tapi sekarang ketika semua kejadian itu tinggal kenangan yang ada hanya ketololan dan rasa malu.
        Xiaoshuai membentur-benturkan wajahnya di lembaran kertas. “Malam itu ramai sekali. Tuhan, aku tak akan pernah mau datang lagi ke club itu meskipun di bayar dan kurasa wajah kita masuk dalam blacklist dan keanggotaan Fang Xin dicabut meskipun dia tidak bilang.”
        Dayu menutupi wajahnya dengan dua tangan. “Kenapa kau menceritakan hal ini padaku?” Dia mengambil bantal dan membenamkan muka berharap bisa bersembunyi di dalamnya.
        “Kau yang memintanya kau tahu,” sergah Xiaoshuai jengkel, menarik bantal dari  Dayu memukulkannya ke kepalanya, sebelum berkata kesal, “Aku bersyukur si Wang Qing harus membayar mahal perangkat DJ yang rusak itu.”
        Dayu kini mengerti itulah sebabnya Wang Qing tampak sangat enggan mengajaknya meskipun dia mengundangnya ke pesta. Dia terus-terusan bilang banyak alkohol, minuman keras.

Qingyu fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang