“Nenek apakah kau baik hari ini?” Dayu masuk ke kamar nenek sambil membawakan sarapan. Dia meletakkan nampan di atas meja bundar di samping tempat tidur.
Nenek Dayu tersenyum. “Sangat sehat. Kedatanganmu membuatku sangat sehat.”
Dayu tersenyum. Nenek sakit karena diabetnya kambuh. Menurut ibu gara-gara terlalu banyak makan manisan buah yang disiapkannya untuk kepulangan Dayu.
Dayu memandangi neneknya makan. Dia senang nenek tampak sehat hari ini.
“Kenapa kau tidak makan juga?” tanya nenek.
Dayu menggeleng. “Nanti saja setelah nenek selesai.”
“Kalau begitu aku harus cepat-cepat biar kau bisa segera makan.”
“Jangan begitu nanti tersedak. Aku belum lapar,” kata Dayu berbaring di tempat tidur neneknya. Bau dari masa kecil menyentuh penciuman, bau minyak rambut nenek bercampur obat gosok kakek yang dikenalnya seumur hidup. Bau tua yang membuatnya ingin bermanja-manja.
Rumah ini penuh orang-orang yang dikenalnya. Tanpa perlu melihat, dia bisa membedakan siapa yang datang mendekat hanya dari suara langkah kaki mereka. Dia bisa menebak apa yang keluarganya pikirkan hanya dari bahasa tubuh karena dia sudah melihatnya berkali-kali sepanjang hidup. Dia akan menjauhi ayah ketika keningnya berkerut dalam, menandakan ada masalah dengan tanaman pertanian mereka. Dia bisa menebak kejahilan kakak dengan melihat matanya yang berkilat-kilat jenaka. Dia akan menghindari ibu seharian jika ada yang mengesalkannya karena ibu akan menyeret siapapun yang ada di dekatnya dan mengikutsertakan orang-orang yang tidak bersalah dalam kemarahannya. Dia akan memijat punggung kakek suka rela saat kakek bersiul menirukan suara burung tanda dia menang mahyong karena itu berarti tambahan uang saku.
Kembali ke rumah baginya sama dengan membanjiri pikiran dengan ingatan yang menghangatkan hati.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya nenek.
Dayu menoleh dan melihat kalau nenek sedang meletakkan alat-alat makannya kembali di atas nampan.
“Nenek sudah kubilang jangan makan cepat-cepat.” Dayu melompat ke arah nenek membantunya membereskan meja.
“Aku tidak cepat-cepat. Kau yang tenggelam dalam lamunanmu hingga tidak sadar waktu. Aku sudah bosan di kamar. Aku ingin jalan-jalan di kebun.”
Dayu mengikuti nenek berjalan di kebun belakang rumah mereka. Kabut sudah terangkat oleh sinar matahari namun embunnya masih bertahan di permukaan bumi membuat daun-daun seperti beledu berkilat lembut tertimpa cahaya. Bau tanah basah yang memenuhi udara menyerbu indra penciuman.
Dayu mundur membiarkan nenek jalan lebih dulu melewati deretan sayuran yang ditanam sesuai jenisnya oleh ibu dan bibi. Ada kubis, brokoli, kacang polong, timun jepang, labu, bawang-bawangan, daun prei dan tomat. Juga ada deretan jagung, kentang, dan ubi manis. Semuanya organik tanpa sentuhan bahan kimia. Setiap pagi ibu memeriksa tanamannya satu persatu untuk melihat apakah ada hama atau penyakit. Jika ada daun yang terserang kutu atau jamur ibu akan memotongnya dan memasukkannya dalam kantong plastik hingga penyakit tersebut tidak menyebar ke tempat lain. Begitu juga jika ada ulat yang mengganggu. Sejak kecil Dayu sering membantu ibu di kebunnya dan tahu kalau ibu tidak suka menyingkirkan ulat. Ibu bilang kalau ulat yang kasihan itu akan menjadi kupu-kupu yang cantik namun sayangnya jadi perusak di kebun mereka.
Dayu sengaja menggali kenangan masa-masa bahagianya untuk melupakan problem yang dihadapinya sekarang. Karena kembali ke rumah artinya berhadapan langsung dengan apa yang coba dihindarinya bertahun-tahun. Saat ini dia hanya ingin terkubur di dalam kenangan indah dan mengingat kalau orang-orang di rumah ini mencintainya dan bukan mencelakainya.
Sekarang mereka sampai ke barisan tomat yang buahnya bergelayutan di batang-batang yang diberi penyangga tambahan agar tidak jatuh oleh beratnya buah. Dayu berkeliling mencari tomat yang paling besar dan paling merah. Dia memetik dan mengelapnya di baju membersihkannya dari butiran embun pagi yang menempel di kulit. Dayu menggigit tomat itu dalam gigitan besar. Mulutnya penuh dengan rasa manis asam segar. Hasil pertanian yang baru dipetik adalah yang paling lezat.
Dayu menyusul nenek yang meninggalkannya. Tapi sebelumnya menarik timun yang bergelantungan menyebabkan para-paranya runtuh ke bawah. Tidak apa pikirnya, sebentar lagi panen terakhir dan penyangga-penyangga itu akan dirubuhkan. Dengan tangan yang memegang timun dan mulut penuh tomat Dayu berjalan cepat mengejar nenek.
Mereka sampai di dekat pagar pendek dari kayu pembatas kebun dengan lahan pertanian mereka dimana ada kursi-kursi dari potongan-potongan gelondongan batang kayu. Di sepanjang pagar berbaris mei hwa yang umurnya sama dengan kakaknya. Di depan rumah Dayu dekat gerbang utama ada pohon persik yang sudah tua yang ditanam oleh leluhur mereka karena persik dianggap mengusir roh jahat. Tapi mei hwa yang ada di sini ditanam ibu tidak lama dari kedatangannya.
Kebun adalah tempat dimana kenangan Dayu pada ibu begitu besar. Ibunya gadis kota yang tidak pintar dalam urusan rumah tangga. Tapi kedudukan ibu sebagai istri petani mendapat pujian karena ibu sangat suka berkebun. Kebun rumah mereka menjadi berkali-kali lipat indahnya sejak ibu datang. Ayah selalu bilang meskipun desa mereka tidak pernah kekurangan bunga tapi hanya di rumah ini yang memiliki bunga di empat musim. Itu betul, saat musim semi untuk anggrek-anggrek bermekaran, di musim panas lotus berbunga di kolam yang sengaja di buat ayah untuk ibu di samping kamar tidur mereka, musim gugur saatnya seruni dan diakhir musim dingin mei hwa.
Setiap tahun saat mei hwa berbunga keluarga Dayu membuat acara di kebun yang masih ditutupi salju. Karena tidak banyak kegiatan yang dilakukan di musim dingin hanya mengurus ternak, itu menjadi hal yang ditunggu-tunggu semua orang. Keluarga dekat dan tetangga datang untuk menikmati mei hwa yang berbunga di cabang-cabang yang masih di selimuti salju sambil bercakap-cakap akrab. Anak-anak kecil bermain dan berlari di kebun yang luas dan kosong karena semua tanaman baru akan di tanam lagi saat musim semi tiba.
Hari itu mirip dengan perayaan tahun baru dengan masakan lezat yang berlimpah. Setelah kedinginan di luar orang-orang masuk ke rumah untuk menikmati hotpot yang hangat dan macam-macam hidangan lain, baik yang disiapkan oleh keluarga mereka atau yang dibawa oleh tamu yang datang. Kakek akan membacakan puisi Lin Bu tentang plum blossom (mei hwa) dan memimpin bersulang arak bai jiu. Tentu saja untuk anak-anak kecil ada banyak rangkaian manisan buah yang penuh gula.
“Ada apa dengan pria itu? Wang Qing?” tanya nenek membuyarkan lamunan Dayu pada manisan buah yang membuat timun yang sedang dikunyahnya terasa hambar mengecewakan.
Dayu terkejut tidak mengira nenek menanyakannya sekarang. Dia sudah memikirkannya berkali-kali dan memutuskan untuk jujur pada nenek kalau dia tidak sanggup dan tidak akan pernah membawa menantu pria untuknya. Tapi karena nenek sakit Dayu memutuskan menunda pembicaraan. Pada semua orang dia mengatakan kalau Wang Qing tidak bisa datang karena masih ada kuliah dan Dayu tidak ingin dia bolos. Dayu juga berencana pulang lebih cepat ke Beijing menghindari pertanyaan berikutnya ketika libur tiba, kenapa Wang Qing tidak datang menyusulnya.
“Dia tidak ingin menikah denganku,” jawab Dayu jujur tapi tetap menjaga agar nenek tidak terkejut. Tidak mau menikah artinya bukan dia yang salah, artinya dia sudah berusaha bukan?
Nenek tersentak. “Kau mengajaknya menikah?”
“Ha?” Dayu tak mengerti, “Bukankah itu syaratnya?”
“Ah...” raut muka nenek sedih. Dia duduk membungkuk menautkan jari-jemari di pangkuan, berpikir sebelum berkata. “Xiao Yu maafkan nenek.”
Dayu mengerutkan kening, kenapa neneknya minta maaf.
“Dari dulu kau selalu istimewa,” nenek memulai penjelasannya. “Kau nakal seperti anak lelaki yang lain namun kau juga suka bermain dengan Yue Yue. Kau gagah dan pemberani namun juga manis dan lucu. Kau keras kepala namun manja. Kau tidak suka menangis namun suka cemberut dan merajuk. Melihat kau tumbuh nenek bertanya-tanya dalam hati. Dan ketika anak-anak perempuan itu menjauhimu dan tidak ingin bermain bersama lagi, karena meskipun mereka saat itu tidak jelas, mungkin naluri mereka mengatakan kalau kau saingan mereka.”
Apa yang neneknya katakan? pikir Dayu.
“Nenek begitu cemas memikirkanmu. Kita tinggal di desa kecil yang semua penghuninya saling kenal. Nenek takut jika kau berbeda dari kebanyakan orang kau akan disisihkan, dipandang rendah, dan tidak bahagia setelah dewasa. Nenek tak sanggup membayangkannya.”
“Nenek mengambil keputusan untuk membuatmu syok dan kaget dengan menceritakan kebohongan kepada keluarga ini. Kau ingat cerita petani Liu yang melawan beruang di hutan? Dia bilang karena dia begitu syok dan ketakutan timbul kekuatan luar biasa dalam dirinya. Dia mengambil batang kayu dan mulai memukul beruang yang akhirnya melarikan diri. Dari cerita itu nenek berpikir mungkin membuatmu kaget bisa mendorongmu ke arah yang benar karena kau tidak sungguh-sungguh seperti perempuan meskipun kau begitu cantik. Nenek orang tua yang bodoh..”
Mata Dayu membulat besar saat menyadari apa yang sedang dibicarakan neneknya. “Nenek….” Dayu memegangi kepalanya yang berputar-putar pusing seakan-akan dia jatuh dari tempat yang tinggi. Jadi dipikiran neneknya suatu saat Dayu akan berubah … menjadi perempuan…? Transgender?
“Nenek rasa apa yang nenek lakukan mungkin bisa membuatmu menyadari perbedaanmu dan membuat sisi priamu menjadi lebih kuat. Nenek gembira saat kau berubah. Kau tidak lagi kelihatan feminim dan kau suka pada perempuan dengan dada yang indah.” Nenek mengenang. “Kau suka ikut kakek main mahyong hanya untuk melihat istri baru kepala desa.”
Dunia Dayu runtuh berantakan menimpanya keras. Feminim? Kapan dia feminim?
“Kau tumbuh menjadi pria sejati dan nenek menunggu-nunggu berharap kau pulang ke rumah mengumumkan kepada semua orang kalau kau akan menikahi seorang gadis. Tetapi yang terjadi adalah kau menemukan seorang pria. Saat kau menelepon dan menceritakan hal itu pada nenek, nenek bertanya-tanya apakah itu hanya trik antara kau dan ibumu.”
“Xiao Yu,” tangan nenek yang kecil merangkum tangan Dayu. “Melihat kau belakangan ini hati nenek sungguh sakit. Nenek bisa melihat kalau kau menderita dan patah hati, kau sungguh mencintai pria itu bukan?”
“Umph….. ?” Dayu tidak sanggup bilang apa-apa.
“Lupakan pria itu. Masih banyak pria lain yang akan mencintaimu. Orang bilang cinta baru obat mujarab bagi hati yang patah.” Nenek menepuk-nepuk tangan Dayu. “Nenek mencintaimu. Siapapun yang kau cintai nenek akan mencintainya juga dan menerimanya dengan senang hati. Kau sudah dewasa dan bisa menentukan hidupmu sendiri.”
Nenek! Kau salah paham, aku tidak mencintai pria itu dan juga tidak akan pernah mencintai pria lain. Dayu hanya sanggup berteriak dalam hati pada neneknya yang keterlaluan, yang karena matanya sudah tidak awas menyimpulkan seenaknya, yang nalarnya tidak beres karena menyamakannya dengan kakek Liu yang berkelahi dengan beruang, yang kebijaksanaannya harus dipertanyakan, yang kepalanya harus diperiksa kewarasannya (Dayu sangat marah).☆—☆—☆
Dayu bersandar di depan jendela kamar yang terbuka. Dagunya berpangku pada tangan. Kabut tebal turun cepat di musim ini. Kolam teratai ibu yang indah penuh bunga pelan-pelan ditelan kabut pekat, hanya suara gemericik air dari kincir kecil di tengah kolam yang terdengar nyaring mengisi udara yang sunyi.
Dayu berpikir tentang hidupnya yang kacau mungkin bahkan sebelum dia dilahirkan. Dia mendengar dari semua orang tentang ibu yang ingin memiliki anak perempuan. Bagaimana rajinnya ibu bersembahyang di kuil memohon dewa mengabulkannya. Dulu dia hanya mendengarnya saja tanpa reaksi tapi sekarang dia ingin tahu ke kuil mana ibu pergi.
Di desa ini hanya ada satu kuil tua yang menurut legenda sudah ada sejak zaman pemerintahan ming saat kaisar Zhu Yuanzhang menginginkan seluruh negeri membangun kuil untuk dewa bumi Tu Di Gong, dewa kekayaan dan rezeki yang melindungi panen para petani hingga berlimpah ruah. Yang kebaikannya mereka rayakan setiap musim gugur sebagai rasa terima kasih.
Sekarang Dayu yakin sekali kemungkinan besar ibu pergi ke kuil itu berkat hidupnya yang kacau balau. Dayu bisa membayangkan ibu membakar hio, memberi persembahan, bersimpuh berdoa, hingga melunakkan hati sang Dewa. Tu Di Gong yang terkenal dengan kemurahan hatinya sangat ingin mengabulkan permohonan cucu menantu keluarga Feng yang sejak awal leluhurnya adalah pengikutnya yang setia, namun apa boleh buat dia tidak punya wewenang untuk merubah takdir sang bayi yang akan dilahirkan sebagai pria. Jadi Tu Di Gong memutuskan menganugerahkan kecantikan lahiriah yang berlimpah ruah.
“Hahaha,” Dayu tertawa sendiri, miris dengan kemampuannya membuat dongeng. Sebetulnya tadi siang setelah mereka kembali ke rumah dia bercermin lama dan bertanya-tanya, mencari-cari di bagian mana dirinya begitu cantik yang sanggup membuat nenek mengira suatu saat dia berubah menjadi …. Dayu bahkan tidak sanggup menyebutnya.
“Ugh....” Dia menggaruk-garuk kepala. Dunianya di kampung ini sepertinya keluar dari buku cerita, gabungan hikayat, roman, dongeng, kisah jenaka dan pandir.
Kalau saja dia tidak ingat nasehat ayah untuk selalu hormat pada yang tua meskipun yang tua bertingkah laku seenaknya, dia pasti sudah meledak dan rumah ini ditimpa perang dunia ke empat. Dia bisa membayangkan seandainya ibu mendengar semua itu. Kehawatirannya, rasa cemas dan gelisah, malam-malam ketika dia tidak bisa tidur mencari akal untuk melindungi putranya, kesedihan dan penyesalan sudah menyebabkan kesengsaraan bagi buah hatinya, jelas nenek tidak akan dimaafkan dengan mudah. Dayu membayangkan ambulan yang datang ke rumah mereka.
“Xiao Yu kenapa jendela kau biarkan terbuka?” ibu masuk ke kamarnya dan menyalakan lampu. “Serangga malam bisa masuk mencari cahaya.”
Dayu menarik daun jendela dan menutupnya. Dia berjalan ke kursi di dekat tempat tidur ibu.
Ibu duduk di sebelahnya dan bertanya pelan, “Jadi kapan temanmu Wang Qing datang?”
Ah Dayu memutuskan menunda selama mungkin mengungkap pembicaraannya dengan nenek. Nenek harus betul-betul sehat sebelum keributan terjadi. Dan dia harus ribuan kilometer jauhnya dulu sebelum dua wanita penting dalam keluarganya memporak-porandakan rumah.
“Dia tidak akan datang, Mama. Nenek sudah sehat sekarang, jadi dalam beberapa hari aku akan kembali ke Beijing. Ini tahun terakhirku kuliah, banyak hal yang harus kulakukan.”
“Betul juga. Banyak hal yang harus dilakukan dan dipikirkan.” Ibu merenung. “Ketika aku berkunjung ke Beijing nanti aku dan Babamu akan melihat-lihat tempat tinggal. Kami sudah menyiapkan dana untuk membeli apartemen karena kau harus keluar dari asrama. Mama akan menghubungi paman Meng agar bisa mencari dari sekarang sehingga kita bisa mendapat yang terbaik.”
“Mama sudah aku bilang, saat selesai kuliah aku akan mengatur hidupku sendiri.” Ini kalimat yang bermain dipikirannya sejak dulu namun sekarang diucapkan dengan ringan. Pembicaraannya tadi dengan nenek tidak dikira sudah mengangkat beban terbesarnya. Dia tidak perlu menikah, tidak perlu menipu. Dia hanya perlu berkonsentrasi dengan hidupnya sendiri. Sekarang masa depan yang tidak jelas tidak membuatnya takut. Dia toh masih muda. Orang muda memaknai hidupnya dengan tantangan dan pengalaman.
“Jangan terlalu keras pada dirimu,” ibu menatap sayang. “Kau selalu bisa bergantung pada orang tuamu.”
“Tentu. Tapi aku juga ingin mandiri dan membuat Baba, Mama bangga.”
“Kau selalu membuat kami bangga, kau tahu.” Ibu mengusap kepala Dayu seperti ketika dia masih kecil. Ibu merubah topik pembicaraan. “Apa kau tahu Yue Yue pulang hari ini? Tadi aku bertemu dengannya di jalan saat dia dijemput naik motor oleh adiknya.”
“Oh.” Dayu terkejut mendengar berita itu namun senang.☆—☆—☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Qingyu fanfic
FanfictionDalam hidup ini, hanya perlu waktu sekejap untuk jatuh cinta, namun apakah itu cinta sejati perlu waktu yang sangat panjang untuk membuktikannya. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun hanya hitungan sementara karena batas sebenarnya ada d...