BAGIAN 3

1.5K 174 3
                                    

        “Kau bisa meletakkannya di tempat tidur yang ini.” Jiang Xiaoshuai menyingkirkan selimut yang menutupi tempat tidur.
        Wang Qing menurunkan Dayu pelan-pelan ke atas kasur. Dia ingin melepaskan sepatu Dayu ketika Xiaoshuai menepis tangannya. “Kukira kau tidak diperlukan lagi di sini.”
        Wang Qing seolah tidak mendengar Xiaoshuai dia tetap membuka tali sepatu Dayu.
        Xiaoshuai mendorong Wang Qing dengan sekuat tenaga, “Jangan sentuh dia.”
        Masih membungkuk di kaki Dayu, hanya menggerakkan kepala, Wang Qing menoleh ke Xiaoshuai. Pandangan biasa menurutnya namun memberi kesan ingin membunuh bagi yang melihat. Guo Cheng Yu dan Li Wang buru-buru menengahi.
        “Sebaiknya kau pulang, teman. Kita tidak ingin ada keributan dan membangunkan pengawas asrama.” Guo Cheng Yu berkata. “Dayu bisa kena masalah.”
        Wang Qing dan Guo Cheng Yu mengadu pandang dalam beberapa menit yang menegangkan sampai akhirnya Wang Qing mengangguk, “Setelah aku membuka sepatunya.”
        Diam-diam Guo Cheng Yu menarik nafas lega, dia dan Wang Qing berukuran sama dan dia tidak yakin kalau Wang Qing bisa menang darinya (Guo Chen Yu mahir dalam wushu),  namun tetap dia bersyukur dengan tidak terjadinya keributan, dia bukan tipe yang senang pertengkaran.
        Xiaoshuai ingin mengatakan sesuatu tapi tak jadi, Li Wang menyodok perutnya keras-keras menyebabkan dia meringis balas memelototi Li Wang.
        Hati-hati Wang Qing melepas sepatu Dayu, meletakkannya dengan rapi di sisi tempat tidur tingkat. Dia memandangi Dayu sejenak sebelum mengalihkan pandangan pada tiga orang teman sekamar Dayu yang memperhatikan gerak-geriknya.
        “Aku minta maaf sudah membuatnya mabuk.”  Wang Qing membuat ketiga orang itu menjadi serba salah tidak mengira dia bisa meminta maaf.
        Senyap sesaat  sebelum Guo Cheng Yu bicara, “Yah, tidak apa-apa, itu karena kau tidak tahu kalau dia tidak bisa minum. Tapi Dayu kalau sudah mabuk sungguh merepotkan.” Guo Cheng Yu tertawa tidak nyaman. Dayu yang mabuk sama dengan bencana bagi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
        Semua orang memandangi Dayu dan menghela nafas mengingat kejadian di club tadi.
        Sementara teman-temannya membicarakannya, Dayu tidur dengan nyenyak dan bermimpi tentang masa lalu.

        RAHASIA KELUARGA FENG
        Dayu kecil tumbuh normal dan sehat. Dia lincah, aktif, selalu berceloteh ke sana kemari,  sedikit nakal seperti seharusnya anak kecil, sedikit menyusahkan seperti selayaknya anak laki-laki yang menyebabkan ibunya cemas dan mengomelinya, namun semua orang tahu dia anak yang baik.
        Dayu berteman akrab dengan anak tetangga mereka Yue Yue. Mereka selalu bermain bersama. Saat waktunya bersekolah, menjadi teman sekelas yang selalu pulang dan pergi bersama. Meskipun anak-anak lain mengoda mereka dengan menyebut mereka pacaran, Dayu dan Yue Yue tidak mengubrisnya.
        Mereka berdua memiliki banyak persamaan, dan punya banyak bahan pembicaraan yang menarik. Bagi Dayu, Yue Yue teman bicara yang mengasikkan. Mereka bisa mengobrol berjam-jam tentang sejarah Cina pelajaran kesukaan mereka, kisah tiga negara atau Su You Peng (Yue Yue satu-satunya teman wanita yang masih dirindukannya sampai sekarang).
        Yue Yue dan Dayu tidak terpisahkan, meskipun Dayu memiliki teman laki-laki namun tidak ada yang seakrab dan seberharga Yue Yue baginya. Sampai suatu malam ketika Dayu berumur sebelas tahun.
        “Xiao Yu kenapa kau tidak memanggil Yue Yue. Film kesukaan kalian sebentar lagi mulai.” Ibu mengingatkan Dayu yang bersandar padanya.
        Dayu dan Yue Yue biasanya menonton film ini bersama-sama. Mereka berdua duduk paling depan paling dekat dengan televisi, diam dan serius menonton tayangan favorit mereka.  Karena itu ibu agak bingung mengapa Yue Yue belum datang juga. Dayu membaringkan kepalanya ke pangkuan ibu, menggeleng malas.
        “Ada apa denganmu dan Yue Yue? Apa kalian bertengkar? Atau dia sedang sakit?” tanya ibu lagi sambil mengelus kepala Dayu lalu membungkuk mencium keningnya sayang. Anak ini akan selalu jadi bayi kecil baginya berapapun usianya. Dia selalu senang memeluk, mencium, mengelus,  memanjakannya.
        Dayu masih diam tidak menjawab, dia tipe yang tidak ingin bicara jika sedang tidak senang. Matanya lurus menatap televisi.
        “Sepertinya Xiao Yu dan Yue Yue memang bertengkar. Tadi sore aku melihat Yue Yue main ke rumah Ruan Jun Ru jadi dia tidak mungkin sakit.” Kakak mengadu.
        Dayu cemberut ketika mendengar Yue Yue main ke rumah Jun Ru namun dia tetap tidak bicara.
        “Kurasa mereka ribut lagi, tidak sepakat tentang isian kue bulan yang paling enak.” Kakak Dayu teringat sebentar lagi festival musim gugur.
        Jika ada yang tidak mereka sepakati itu adalah isian kue bulan favorit mereka. Hal lain mereka bisa berkompromi namun tidak kue bulan. Dayu suka yang berisi lotus dan kuning telur tapi membenci isian biji-bijian. Tekstur cincangan biji-bijian kasar di mulutnya tidak seperti lotus dan kuning telur yang lembut dan lumer di mulut.
        Yue Yue sebaliknya suka biji-bijian benci telur.  Setiap tahun Dayu dan Yue Yue meributkan hal yang sama karena Yue Yue selalu memaksa Dayu makan kue favoritnya. Moon festival adalah saat Yue Yue menjadi anak perempuan (egois).
         “Ah Xiao Yu, jika kau tidak menyukai kue favorit Yue Yue kau tidak perlu mengatakannya. Kalian sudah besar sekarang dan kau sebagai anak laki-laki harus mengalah pada anak perempuan.” Kata-kata yang sama yang diucapkan ibu setiap tahun.
        “Aku dan Yue Yue tidak bertengkar gara-gara itu.” Dayu kini bangkit dari pangkuan ibunya, duduk sedikit menjauh makin cemberut. Pipinya menggembung dengan bibir yang mencebil tampak mengemaskan dan lucu. Ibu ingin mencubit pipinya namun dia tahu hal itu bisa membuat Dayu makin tidak senang.
        “Ah,” kata nenek kini tertarik dan mengalihkan pandangan dari layar televisi. “Lalu kenapa?”
        “Yue Yue bilang dia tidak ingin lagi berteman denganku.” Dayu berkata kesal.
        “Hah kenapa?” kakak menyuarakan keheranan semua orang. Dayu dan Yue Yue sangat jarang bertengkar. Hanya setahun sekali di musim gugur.
        “Yue Yue tidak mau lagi berteman denganku.” Suara Dayu seakan tercekik menahan tangisan, “Dia bilang aku lebih cantik daripada dia dan dia malu berjalan denganku.”
        Dayu teringat sesuatu, kesedihannya hilang berganti marah, “Hanya karena dia naksir anak kelas sebelas dia ingin membuangku. Mencari-cari alasan bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa lebih cantik dari dia, aku ini laki-laki. Lihatlah sekarang dia pergi ke rumah Jun Ru untuk melihat kakaknya. Murid kelas sebelas itu kakak sepupu Ruan Jun Ru.”
         Nenek memandangi Dayu terkejut,  sekarang dia tahu bukan hanya dia yang karena naluri kekeluargaan dan rasa sayang yang berlebihan merasa cucunya ini cantik. Yue Yue benar bahkan saat Dayu marah seperti inipun dia kelihatan mengemaskan.
        Sejak saat itu Dayu dan Yue Yue tidak pernah bicara lagi. Mereka saling menghindari. Dan Dayu tidak pernah lagi memiliki teman akrab wanita. Baginya perempuan itu aneh, menyebalkan dan dia tidak ingin punya urusan dengan mereka. Dia sebisa mungkin menghindari mereka. Sampai nenek mengumpulkan semua anggota keluarga dan menyingkap rahasia keluarga Feng.
        Mereka semua duduk menunggu nenek berbicara.
        “Malam ini aku mengumpulkan kalian karena kakak sebentar lagi masuk Universitas dan Xiao Yu sekolah menengah. Aku ingin kalian tahu tentang riwayat tanah keluarga Feng. Tanah yang kita garap warisan leluhur kita. Tanah yang mereka buka dengan kerja keras dari hutan belantara. Tanah ini milik kita dan hanya kita yang bisa mengurusnya seperti yang diajarkan turun temurun dari bapak ke anak ke cucu begitu seterusnya.” Nenek berbicara menerawang seakan-akan dialah yang membuka lahan, mengalami semua kerja keras, dan sekarang teringat masa-masa sulit, lalu merasa haru, bangga.
        Nenek hening sesaat, memberi waktu bagi semua orang untuk merenungkan kepahlawanan leluhur sebelum pidato dilanjutkan, “Apa yang diwariskan dan diatur oleh nenek moyang akan tetap kita hormati dan laksanakan. Tanah keluarga kita seperti kerajaan yang hanya diwariskan pada seorang putra saja. Tidak boleh dibagi. Dan karena sekarang kita memiliki dua orang anak laki-laki maka salah satunya harus berkorban.” Saat ini dia sungguh mirip Wu Zetian yang sedang mengumumkan vonis hukuman bagi keluarganya demi kekuasaan dan kejayaan kerajaan.
        Ibu dan ayah saling pandang bingung. Dayu yang masih termasuk kecil tidak begitu mengerti sementara kakak tidak perduli.
        “Biasanya anak laki-laki pertama yang mewarisi tanah dan anak laki-laki lain keluar rumah. Di zaman dulu mereka membuka hutan untuk digarap sendiri. Dan ketika tanah menjadi makin sulit ditemukan, anak laki-laki setelah anak pertama keluar rumah mengganti nama keluarga dan tidak boleh kembali.”
        “Apa yang ibu katakan? Aku tidak pernah mendengarnya.” Ayah Dayu cepat tanggap, menyanggah tidak percaya. Istri dan kedua anaknya masih berusaha mencerna apa yang dikatakan nenek, tidak mengatakan apa-apa.
        “Yah begitulah adatnya,” kata nenek tenang.
        “Aku tidak pernah mendengarnya.” Ayah Dayu menentang. Dia tidak sanggup membayangkan anak tersayangnya tidak pernah kembali ke rumah.
        “Yah karena kau hidup di masa pemerintah mengatur kelahiran. Jadi kita bisa mengabaikan aturan leluhur dan tidak pernah membahasnya lagi.”
        “Aku tidak terima,” ibu Dayu kini mengeluarkan suara .”Aku tidak mungkin berpisah dari anakku yang manapun.”
        “Kalau begitu kita harus menggunakan cara itu.” Nenek mengangguk.
        “Cara apa?” tanya ibu curiga. Meskipun dia sudah hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama dan hubungan mertua menantu cukup baik dia tidak akan pernah percaya seratus persen pada wanita ini.
        “Xiao Yu harus menikah dengan seorang pria. Meskipun aku belum pernah mendengar ada keluarga Feng yang melaksanakan peraturan ini karena semua anak kedua dan seterusnya pergi dari rumah tidak pernah kembali.”
        “Tidak masuk akal. Ini sangat keterlaluan.” Ibu Dayu marah.
        Ayah berusaha menenangkan istrinya.”Ibu itu peraturan zaman apa? Sekarang kita sudah di zaman modern. Kita punya banyak cara agar Xiao Yu tidak mewarisi tanah. Dia bahkan tidak bercita-cita menjadi petani, ya kan Xiao Yu?” tanya ayah.
        “Ya aku ingin menjadi seperti Pengge.” Dayu berkoak penuh semangat tidak begitu mengerti arah pembicaraan namun selalu siap menunjukkan antusias pada cita-cita dan idolanya.
        “Kita bisa membuat perjanjian tertulis yang diatur oleh pengacara kalau Xiao Yu tidak akan menggugat kepemilikan tanah,” bujuk ayah.
        “Nenek,” kakak menyela neneknya, “Aku tidak begitu ingin menjadi petani. Jika
Xiao Yu ingin maka aku bisa memberikan hakku.”
        Nenek memandangi kakak tajam, “Jika kau tidak ingin menjadi petani kau ingin menjadi apa?”
        “Hem…. Aku belum memikirkannya.” Kakak cuek.
        Nenek menghela nafas. Cucu pertamanya anak yang pintar, namun terlalu santai, tidak perduli dengan masa depannya. Tipe yang akan selalu membuatnya khawatir.
        “Untukmu adalah petani.” Nenek memutuskan tak mau diganggu gugat. “Sebenarnya bukan hanya itu intinya. Aku tidak terlalu percaya dengan hukum dan pengacara. Jika Xiao Yu menikah dan punya anak mungkin saja anaknya yang akan menuntut hak. Jika dia tidak menikah dia tetap akan berhubungan dengan wanita, jika wanita itu hamil, wanita itu dan anaknya mungkin menuntut hak ayahnya. Selama para hakim, pengacara, aparat pemerintah semua masih butuh makan aku tidak akan percaya pada hukum. Jadi yang paling tepat adalah menikahkan dia dengan seorang pria yang akan menjadi keluarganya.”
        Nenek meneruskan terpancing raut wajah menantunya, “Aturan ini baru dibuat dan bukan karena kami tinggal di desa yang ketinggalan zaman atau liar. Setiap aturan di rumah ini memiliki alasan dan merupakan hasil kebijaksaan leluhur.”
        Ibu mencibir meremehkan, bergumam nyaris tak terdengar, “Kebijaksanaan orang kampung. Tidak masuk akal.” Dia ingin menambahkan kalimat, sepertinya kepala leluhur keluarga Feng harus diperiksa otaknya. Saat itu dia tidak merasa menjadi anggota keluarga.
        Nenek meneruskan tidak perduli provokasi ibu, “Aturan ini baru dibuat saat perang sipil terjadi. Aku tidak tahu tahun berapa yang pasti kakek buyut kita tidak sanggup mengusir adiknya saat keadaan negara kacau. Pada akhirnya aturan tidak dipakai karena adiknya meninggal dalam perang sebagai tentara..…..”
        Ibu tidak sanggup lagi mendengar dongengan nenek, memotong kasar, emosi, “Bagaimana ibu bisa tidak berperasaan seperti ini. Seakan-akan membicarakan orang lain. Ini nasib cucumu sendiri. Apa ibu tidak bisa melihat pelajarannya, adik kakek buyut, dia lebih memilih mati daripada menikahi pria.”
        “Ah, aku merasa lelah.” Nenek bangkit dari kursi menghindari pertanyaan dan perdebatan berlarut-larut. Dia menggunakan alasan usia, “Aku sudah terlalu tua. Hal-hal seperti ini bisa membuatku sakit. Aku harus  beristirahat.”
        Orang-orang yang ditinggalkan tidak bergerak untuk mengantarnya, semua masih sulit menerima kenyataan.
        “Ibumu sudah pikun dan tidak waras,” Ibu Dayu meledak.
        Ayah yang sedang sibuk berpikir melirik ibu tajam. Dia suami yang sangat mencintai istrinya namun dia tidak suka kalau istrinya berkata kasar tentang ibunya. Semarah apapun dia pada ibunya dia tetap menjaga kehormatan pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
        “Xiao Yu.” Ayah memandang Dayu serius.
        “Ya Baba?” Dayu balas menatap ayah dengan mata bulat besar penuh tanda tanya.
        “Baba akan mencarikan pria tertampan di Cina untukmu.” Ayah bangkit dari duduk melontarkan pandangan kesal kepada istrinya sebelum berjalan keluar rumah.
        Istrinya tahu kalau dia sudah berbuat salah, dia tahu ucapan suaminya tidak serius. Namun perasaan marahnya sendiri membuat dia membalas lirikan tajam suaminya dengan cemberut dan perlawanan. Dia memeluk Dayu dengan satu tangan, tangan yang lain mengusap kepala kakak.
        “Mama akan menjaga kalian. Jangan takut Mama akan membuatmu hidup normal seperti Baba dan Mama dan kebanyakan orang lain di dunia ini.”
        Dayu sebagai anak-anak segera melupakan masalah ini. Orang-orang dewasa di rumah menghindari pembicaraan, tapi tetap tampak tegang dan muram untuk waktu yang lama.  Ibu selalu masam jika di dekat ayah, dengan sengaja berbisik keras-keras, “Barbar.”
        Tampangnya menjadi dua kali lipat masam di depan ibu mertuanya. Dayu tidak ingat kapan, bagaimana, apa penyebab perdamaian ayah dan ibu hanya suatu hari dia menemukan kedua orang tuanya sudah tersenyum lagi.
        Waktu berlalu dengan normal, Dayu sibuk dengan dunia kecilnya, bermain, berteman, belajar, sampai dia mendapat mimpi dewasa pertamanya. Jika anak laki-laki lain menjadi sedikit malu, sedikit bersemangat dan sedikit bangga berbagi mimpi itu, Dayu luar biasa takut dan  menyembunyikannya. Mimpinya menjadi momok yang mengubah dan memberinya julukan perayu wanita.

                                                   -------------







Qingyu fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang