BAGIAN 8

1.1K 121 5
                                    

        Malam itu gelap dan berangin. Bulan bersembunyi di balik awan hitam yang bergulung-gulung tebal. Seandainya tak ada lampu-lampu jalanan yang tetap bersinar berusaha memberi keriangan palsu, bumi gulita, menyeramkan.
        Wang Qing dan Dayu berjalan pelan menyusuri jalan. Malam itu Wang Qing mengantarnya pulang. Pada awalnya Dayu keberatan setiap kali Wang Qing menawarkan diri mengawalnya kembali ke asrama. 
        “Hei, aku tidak perlu body guard dan bisa menjaga diriku sendiri.” Dayu kesal setiap kali merasa Wang Qing memperlakukannya seperti perempuan (isu terbesar dalam hidupnya). “Aku bahkan pernah pulang jam dua pagi dan baik-baik saja.”
        Mata Wang Qing berkedip-kedip sedih seperti seekor anjing yang dilarang mengikuti tuannya. “Aku hanya ingin bersamamu lebih lama,” katanya.
        Dayu selalu luruh setiap kali Wang Qing memamerkan ketulusan cintanya. Rasa bersalah merayap seperti serangga berkaki banyak yang meninggalkan jejak-jejak kotor di hati nuraninya. Dia mengalah mengabulkan permintaannya. “Baiklah.”
        Wang Qing sangat senang. Ini berarti memperpanjang kebersamaan mereka. Bersama Dayu dia merasa waktu memusuhinya dengan cara bergerak begitu cepat. Kadang dia tidak ingin berpisah dan berharap Dayu menginap di apartemennya, tapi tidak pernah berani mengatakannya. Dia yakin sekali Dayu pasti menolak dan dia tidak ingin kecewa.
        “Dayu,” Wang Qing memecah keheningan. “Besok hari minggu kau tidak ada acara bukan?”
        Dayu mengingat sejenak sebelum menjawab, “Tidak.” Dia memasukkan tangan di saku-saku celana. Merapatkan diri mengusir dingin. Meskipun sudah diakhir musim panas udara tadi siang masih hangat. Jadi dia tidak merasa perlu memakai jaket.
        “Ah kalau begitu aku ingin kita keluar.”
        “Boleh saja.” Dayu mendongak ke langit, sebentar lagi hujan deras, pikirnya. Dia mempercepat langkah ingin segera sampai ke asrama yang nyaman dan terlindungi.
        Wang Qing gembira. “Jam tujuh aku menjemputmu.”
        Dayu mengangguk setuju. Mereka tiba di depan pintu asrama, minggir memberi jalan beberapa orang yang keluar yang tampak terburu-buru tidak ingin kehujanan di jalan.
        Dayu merasakan angin berhembus kencang dan sesekali dari kejauhan ada kilat yang menyambar. “Tunggu sebentar,” katanya lalu naik ke atas kemudian turun membawa jaket dan payung di tangan. “Lumayan dingin. Pakailah.”
        Wang Qing mengambil jaket dari tangan Dayu, luar biasa bahagia oleh perhatiannya. Jaketnya besar dan pas di badan.
        Seolah menjawab pikiran Wang Qing, Dayu berkata, “Aku meminjamnya dari Cheng Yu.”
        Wang Qing melepas jaket. “Tidak usah,” katanya cemberut. “Kenapa aku harus memakai jaket orang lain, kemana jaketmu?”
        “Hei kau kira kau bisa memakai jaket milikku?”
        “Aku pulang,” Wang Qing menyodorkan jaket ke Dayu, juga tidak mengambil payung, ngelonyor pergi dengan muka cemberut.
        Anak ini pikir Dayu, kadang-kadang benar-benar menguji kesabarannya.

                                                            ☆—☆—☆

        Dayu memasukkan cucian ke mesin cuci. Menyetel program lalu meninggalkannya untuk membereskan kamar. Hari minggu adalah hari bersih-bersih besar-besaran baginya. Dia tidak hanya menyapu lantai namun juga membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan, membongkar lemari buku, mengelap, dan menyusunnya lagi dengan aturan yang sama.
        Seperti biasa ketiga teman sekamarnya pagi-pagi sudah melarikan diri ke kegiatan masing-masing tidak ingin terlibat dengan acara berbenah Dayu, meskipun mereka tahu kalau Dayu juga akan merapikan barang-barang mereka namun tidak ada yang mau repot-repot membantu.
        Dayu menarik sejumlah buku dari rak, mengelapnya satu persatu dengan teliti, mengusir sekumpulan debu yang berani menempel, lalu mengaturnya berdasarkan ukuran. Dia sedang menyusun kembali buku-buku itu di rak ketika handphonenya berbunyi. “Halo?” Tanpa melihat siapa dia menjawab.
        “Dayu, kenapa kau belum keluar juga?”
        “Qing?”
        “Aku sudah menunggumu lebih dari dua puluh menit.”
        “Kau ada dimana?” tanya Dayu heran.
        “Aku di depan asrama.”
        “Tunggu sebentar,” kata Dayu. Dia keluar menuruni tangga ke pintu utama, mencari-cari Wang Qing, dan menemukan sosoknya berdiri di samping mobil putih di area parkir. Dayu berjalan menghampiri.
        Wang Qing melepas kaca mata hitam menatapnya dari ujung kaki ke ujung rambut.    “Kenapa kau berpakaian seperti ini?”
        “Hah?” Dayu menunduk memandangi bajunya, merasa tidak ada yang salah. Dia memakai kaus oblong dan celana pendek. Oh mungkin lap yang tersampir di bahunya yang membuat Wang Qing heran. Dalam hati dia menggerutu, apa kau tidak bisa menyimpulkan kalau aku sedang bersih-bersih. Dengan sedikit jengkel dia menarik lap, dan sengaja mengibaskannya di muka Wang Qing. “Ada apa kau pagi-pagi ke sini?” Dayu jutek.  
        Bersama Dayu, Wang Qing mengenal prilakunya. Kadang dia riang dan menyenangkan, kadang di saat-saat tertentu tanpa sebab yang jelas dia mudah tersinggung, sebal, sinis seperti perempuan yang sedang pms. Hari ini hari emosi tidak stabil pikir Wang Qing, yang kemudian dengan sabar mengingatkan. “Kita sudah janji semalam kan?”
        Dayu menyanggah. “Tapi kan jam tujuh malam nanti.”
        “Yang kumaksud jam tujuh pagi ini.” Wang Qing menggeleng.
        “Aku tidak bisa. Setiap minggu pagi aku sibuk.” Dayu menolak seenaknya.
        “Tapi kau sudah janji.”
        “Kukira malam nanti. Kalau malam aku bisa.”
        “Jadi bagaimana?” Wang Qing jelas kecewa. Dia sangat ingin berkencan di luar seperti orang lain. Selama ini mereka hanya menghabiskan waktu di apartemennya atau kadang-kadang makan di restoran di sekitar kampus.
        “Apa yang membuatmu sibuk?” Wang Qing bertanya untuk mencari tahu penyebab dan mungkin menyelesaikan masalah Dayu. Dia sudah merencanakan ini dan tidak ingin gagal. Dia harus menggunakan akal sehat, karena hari ini Dayu sedang pms (Dayu bisa membunuh Wang Qing jika dia membaca isi kepalanya) dan tidak bakal menang dengan merajuk dan bersungut-sungut. 
        “Aku harus bersih-bersih kamar.”
        “Oh hanya itu?” Wang Qing lega.
        “Apa maksudmu hanya itu.” Dayu tersinggung Wang Qing meremehkan ritual hari minggunya.
        “Kau kan bisa melakukannya lain hari.”
        “Tidak mungkin.” Dayu yang selalu terorganisir tidak bersedia berkompromi. “Aku tidak punya waktu di hari biasa. Lagipula kau ingin kemana pagi-pagi begini.” Dayu melirik mobil yang terparkir. Tempat tinggal Wang Qing terhitung dekat dari kampus jadi dia lebih sering berjalan kaki atau kadang-kadang naik sepeda. Mobil sama dengan jarak yang jauh.
        “Aku ingin kencan denganmu.”
        Dayu melipat kedua tangan di dada, bukannya tiap hari mereka selalu bertemu yang sama artinya dengan kencan. Lidahnya yang tajam bereaksi, “Apa kau tidak bosan bertemu denganku?” 
        “Apa kau bosan?” Wang Qing kini bertanya was-was menunggu jawaban, mata kecilnya berkedip-kedip cemas. Kata-kata Dayu selalu punya arti penting untuknya, jawaban Dayu bisa membuatnya berada di neraka atau di surga.
        Dayu menyadari kekhawatiran Wang Qing, menyalahkan mulutnya yang asal bicara.   Serangga jahat yang kini menjadi penunggu hati nuraninya kembali berjalan-jalan menambah beberapa jejak hitam. Dayu menyerah kalah. “Tunggu sebentar aku ganti baju dulu.”
        Lima belas menit kemudian mobil melaju membelah jalan raya yang masih lumayan sepi. Dayu menghela nafas memikirkan pekerjaan yang terbengkalai. Pikirannya terus terganggu membayangkan kamar yang berantakan meskipun dia sudah berpesan pada Xiaoshuai untuk menggantikannya. Di benaknya terbayang Xiaoshuai mengibas-ngibaskan kemoceng asal-asalan dengan malas atau lebih parah lagi tidak melakukan apapun hanya mengakui sudah mengerjakannya. Dia jadi gelisah.
        “Dayu..”
        “Apa?” tanyanya tidak tertarik.
        “Apa kau bosan bertemu denganku tiap hari.”
        Dayu menghela nafas berat. Anak ini pikirnya, dia bahkan membuatku meninggalkan pekerjaan separuh jadi, dan masih tidak puas ketika aku bersedia mengikutinya.
        “Tentu tidak.” Dayu berusaha semanis mungkin.
        “Tapi kau tadi berkata seperti itu.”
        “Maksudku adalah… aku yang takut kau merasa bosan karena bertemu denganku setiap hari.” Dayu berhati-hati memutar balik kata tidak ingin menambah besar masalah.
        “Aku tidak akan pernah bosan.” Pasti Wang Qing.
        “Sungguh?”
        “Sungguh!”
        “Ah ya baiklah,” kata Dayu sebenarnya tidak begitu peduli.
        Mereka kembali diam. Wang Qing berkonsentrasi menyetir. Dayu melihat ke luar jendela mobil.
        Langit biru bersih, warnanya seperti biru laut yang dalam. Daun-daun hijau kekuningan, batang-batang pohon coklat hitam, bunga-bunga terakhir yang mekar, merah, kuning, ungu, aspal hitam pekat, pagar-pagar putih, abu-abu gelap, atap-atap rumah tua oranye kecoklatan. Semua warna yang dilihatnya dari jendela hari ini tampak mencolok. Semalam hujan sudah menyapu warna-warna itu dari kotoran dan debu yang menempel, sekarang menampakkan keasliannya yang memikat. Dayu memandangi semua itu dengan getir. Bahkan bumi membersihkan dirinya dengan teratur agar tampil menyenangkan, pikirannya kembali ke kamar yang berantakan.
        “Hei Qing. Kemana kita?” tanyanya beberapa menit kemudian merasa mereka ke jalur yang menjauhi pusat kota.
        “Kencan.”
        “Aku tahu itu, maksudku tujuan kita.”
        “Lihat saja nanti.” Wang Qing tersenyum misterius.
        Dayu mengangkat bahu, terserahlah jika kau ingin berahasia. Dia kembali memandang ke luar, lama-lama merasa bosan dan mengantuk meskipun hari masih pagi. Dia mengatur posisi yang enak dan memejamkan mata.
        “Dayu bangun kita sudah sampai.”
        Dayu mengucek mata tidak mengira kalau benar-benar tertidur. Dia mengamati ke luar dan terbelalak. “Kenapa kita ada di sini?”
        “Ini tempat kencan kita.” Wang Qing bangga.
        “Apa masa kecilmu kurang bahagia?” tanya Dayu.
        “Eh?”
        “Apa yang dilakukan oleh dua pria dewasa di tempat ini?”
        “Eh?”
        Dayu memandangi Wang Qing seperti dia mahluk dari bulan yang isi kepalanya wajar berbeda jauh dari mahluk bumi. Dalam benaknya mereka akan nonton film atau kalaupun ke tempat wisata jelas bukan taman bermain, dimana sisi romantisnya? Atau dia ingin aku menjerit takut dan memeluknya di setiap permainan yang menegangkan? Atau dia akan melingkarkan tangan di bahu menenangkanku saat mereka di rumah hantu? Dayu teringat semua trik murahan yang dilakukan remaja ingusan yang ingin menyentuh gadisnya.
        Lama Dayu memandangi Wang Qing sampai akhirnya dia berkata, “Ayo turun.”
        Mereka mengantri tiket berdua. Ketika Dayu ingin membayar tentu saja si orang kaya tidak mengizinkan. Dia mengangkat alis, lagi-lagi merasa seperti perempuan, namun kemudian membiarkannya. Mimpi saja jika kau ingin aku ketakutan dan memelukmu, batin Dayu dongkol.
        Mereka berdua masuk. Dalam pandangan Dayu taman bermain sudah penuh dengan keluarga-keluarga yang mengajak anak-anak mereka dan tentunya rombongan sekolah, rombongan mahasiswa, rombongan turis, rombongan teman, segala macam rombongan, sepertinya tidak ada rombongan dua orang pria yang pacaran. Dia menghela nafas.
        Mereka terus berjalan mengikuti arus. Sampai ke jajaran stand-stand yang menjual souvenir, baju, topi, payung, boneka dan banyak lagi dekat dengan wahana pertama. Dayu nyengir jahil saat melihat macam-macam bando lucu di stand-stand tersebut. Jika kau ingin bermain lakukan dengan benar, pikirnya. Dia menghampiri salah satu stand dan mengambil satu bando dengan antena lebah.
        Dayu mengulurkan antena lebah pada Wang Qing yang jelas sangat ragu. “Haruskah?”
        Dayu memaksa Wang Qing menunduk dan memasangkan bando yang antenanya bergoyang-goyang liar ke sana kemari setiap kali pemakainnya bergerak. He he he dia terkekeh.
        “Cocok sekali.” Si penjual memuji otomatis sesuai dengan yang tertulis di panduan penjaga stand yang harus dihafalnya pada masa-masa training. Dulu dia sangat antusias memikirkan komentar yang kira-kira bisa menyenangkan pengunjung, namun sekarang setelah mengetahui kalau gajinya tidak tergantung penjualan dia hanya berkomentar seadanya tanpa banyak berpikir. Dia tidak tahu kalau sikapnya menjadi salah satu penyebab citra buruk tempatnya bekerja di dunia maya. Petugas yang tidak sopan, begitulah ulasannya.
        Si penjaga stand meneruskan, “Lebah yang sangat besar.”
        Dayu tertawa makin jadi, saat dia melihat Wang Qing cemberut, dia melepas bando itu dan menggantinya dengan topi bertelinga beruang. Untuknya sendiri dengan telinga kelinci. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya sambil tersenyum manis.
        “Ah imut.” Si penjual memuji kini serius.
        Dayu membayar belanjaannya. “Setidaknya biarkan aku membayar kedua topi ini.” Dia masih tidak bisa berhenti tersenyum. 
        “Oh, harum manis!” Dayu menunjuk stand gula kapas yang berwarna-warni. Dayu mengambil yang berwarna biru dan bertanya pada Wang Qing apakah dia juga mau. Wang Qing menggeleng namun mengeluarkan uang untuk membayari harum manis Dayu. “Biarkan aku membayar yang ini.” Dayu tegas.
        Dia mengigit gula-gula yang langsung mengempis, mencair di bagian yang menyentuh mulut, manis, desahnya senang. Kini perasaannya ringan (gula obat yang bagus untuk suasana hati yang buruk). Sekarang dia mulai menikmati acara ke taman bermainnya. Dayu menyuruh Wang Qing membuka peta untuk menentukan tujuan yang akan mereka kunjungi.
        Matanya bersinar-sinar mengetahui begitu banyak roller coaster dan arena adu nyali lain. “Yang mana yang akan kita jajal duluan, rumah hantu, crystal wings, wooden coaster fireball, golden wings, ……” Dayu menyebut beberapa yang terlihat paling asyik.
        Wang Qing memandangi gambar yang ditunjukkan Dayu. “Hemmm…” Dia tidak bisa memutuskan. Ilustrasi permainan yang dipilih Dayu membuat jantungnya yang malang melonjak-lonjak tak karuan.
        “Oh ya bagaimana kalau kita naik itu dulu. Untuk melihat sekeliling dari atas. Dengan begitu kita bisa menentukan mana yang paling seru.” Dayu menunjuk penuh semangat benda tinggi melayang di udara berputar-putar di topang tiang besi panjang. Wang Qing ngeri melihatnya.
        “Ayo,” ajak Dayu.
        “Dayu, Dayu, sebentar bagaimana kalau kita naik itu dulu.” Wang Qing asal menunjuk wahana terdekat. Roller coaster untuk anak-anak.
        “Hah?” Dayu tak percaya tapi kemudian setuju. “Ah ya betul juga karena kita sudah membayar mahal tiket terusan kita harus menaiki semua. Ayolah.” Dayu yang sangat perhitungan dengan uang membenarkan.
        Mereka memasuki antrian. Banyak orang dewasa yang menemani anak-anaknya naik roller coaster jadi mereka membaur dengan keramaian. Sambil mengantri Wang Qing memandangi Dayu, seperti anak kecil  pikirnya terpesona melihat Dayu dengan cuek makan gula-gula. Mengenal sisi lain Dayu selalu menyenangkan. Pandangannya berpindah mengamati tiang-tiang yang menyangga rel tempat roller coaster berjalan, ah tidak begitu tinggi, batinnya tenang.
        “Kau mau coba?” Dayu menawari. Dia mencubit gula-gulanya yang langsung lengket di tangan, lalu menjulurkannya pada Wang Qing yang reflek membuka mulut dan menjilati jari Dayu.
        Seorang anak kecil yang ada di belakang mereka berkata, “Mama, kakak itu tidak bisa makan sendiri. Dia masih disuapi…..”
        Wang Qing memerah karena malu. Tapi Dayu yang ada di depannya menoleh ke belakang. Dari balik badan Wang Qing dia berkata. “Itu namanya mencicipi,” katanya ramah.  “Adik kecil apa kau juga mau?”
        Anak itu memandang kepingin namun berkata, “Mama melarangku makan gula-gula.”
        “Aah,” kata Dayu, “Itu benar, itu karena mamamu ingin kau punya gigi yang indah.”
        “Seperti gigi kakak,” anak kecil itu menunjuk Dayu.
        “Lebih bagus dari ini.”
        Anak itu mengangguk. “Itu karena kakak makan gula-gula, jadi kakak tidak punya gigi terindah di dunia.”
        Dayu tertawa. “Betul.”
        Wang Qing mendorong Dayu pelan karena antrian mereka bergerak. Sebelum masuk ke arena dia berbisik di telinga Dayu, “Menurutku gigimu gigi terindah di dunia.”
        Dayu memutar bola matanya namun tak urung tersenyum juga. Dia melihat kursi dan berkata, “Aku di sini dan kau di belakangku.” Ketika Dayu melihat Wang Qing hendak protes dia melanjutkan. “Terlalu kecil untuk dua orang dewasa. Tidak akan muat.”
        Dayu duduk, memasang pengaman dan menoleh ke belakang. Tungkai-tungkai Wang Qing mencuat tidak nyaman di kursi yang tidak mengakomodasi tinggi badannya. Dayu nyengir.
        Kereta berjalan pelan mendaki ketinggian, sesampainya di puncak turun dengan kencang berputar-putar mengikuti relnya naik dan turun, miring di tiap tikungan. Dayu senang merasakan angin yang menghembus rambutnya. Saat kereta berhenti dia turun dengan semangat siap untuk mencoba yang lebih menantang.
        “Ada apa?” tanya Dayu melihat wajah pucat Wang Qing.
        “Pusing,” jawab Wang Qing pendek. 
        Dayu mengulurkan tangan membantu Wang Qing berdiri dan memapahnya turun. Mereka berdua kelihatan mencolok karena dikelilingi anak-anak yang berceloteh penuh gairah membicarakan keseruan arena yang baru dinaiki.
        Dayu mencari-cari kursi atau apapun tempat mereka bisa duduk, menghindari keramaian. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri ada undakan panjang dari batu. Dayu memapah Wang Qing ke situ.
        “Tunggu sebentar aku akan mencarikanmu minuman.”
        “Tidak usah, tidak perlu. Kepalaku masih berputar, perutku mual…. Jika minum aku takut muntah.” Wang Qing memegangi tangan Dayu mencegahnya pergi. “Maaf.”
        “Hah kenapa?” tanya Dayu.
        “Sebetulnya aku takut ketinggian. Dan roller coaster itu berputar-putar mengocok  perut.”
        Dayu memandangi roller coaster yang kini melaju kencang ditingkahi jeritan riang anak-anak kecil. Tingginya bahkan tidak sampai sepuluh meter, perkiraannya. “Kalau kau takut ketinggian kenapa kau mengajakku ke taman bermain?”
        “Ada wahana lain yang bisa kukunjungi, teater, taman bertema. Dan Xiaoshuai bilang ……”
        “Apa yang dikatakan Xiaoshuai kepadamu,” potong Dayu waspada.
        “Tidak ada.”
        “Tapi kau bilang tadi…”
        “Sebetulnya aku mendengar dia berkata kalau kau paling senang pergi ke taman bermain.”
        “Berhenti menguping pembicaraan. Jika ada yang mau kau ketahui tanyakan langsung kepadaku. Xiaoshuai tidak selalu benar…..” Dayu ingin mengomeli Wang Qing tapi memutuskan tidak jadi karena melihat wajah pucatnya. Dia menganalisa permasalahaan. Dia saja tidak tahu kalau Wang Qing takut tinggi maka Xiaoshuai juga tidak. Jadi meskipun Xiaoshuai menjebak Wang Qing hingga mengajaknya ke sini alasannya pasti bukan untuk mencelakakannya.
        “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Dayu tidak bisa menyembunyikan kecewa karena tidak bisa mencoba arena adu nyali. Kalau Wang Qing ingin pulang apa boleh buat.
        Wang Qing melihat kekecewaan Dayu berkata. “Aku akan beristirahat di sini. Kau bisa main dulu. Nanti jika aku sudah baikan kita bisa melihat-lihat tempat lain.”
        “Tidak mungkin aku meninggalkanmu sendiri.” Dayu tidak tega.
        “Tidak apa-apa.” kata Wang Qing. “Aku tidak sakit, hanya pusing sedikit. Sebentar lagi juga sudah pulih. Pergilah.”
        “Ah, oke kalau begitu.” Dayu langsung setuju, tidak perlu disuruh dua kali, sifat iritnya merasa sayang membuang-buang uang untuk tiket masuk. “Aku pergi dulu,” katanya dengan gembira.
        Hari ini hari minggu tentu saja pengunjung taman bermain sangat ramai. Antrian setiap arena mengular panjang. Dayu ragu-ragu, dia menelfon Wang Qing. “Qing apa kau baik-baik saja?....... Ya, antriannya sangat panjang dan pasti lama, bagaimana ini?........ Sungguh kau tidak apa-apa? …….Ya baiklah kalau begitu.” Dayu memutuskan tetap di barisan.
        Ah tidak sia-sia lama mengantri, pikirnya sangat senang saat turun dari roller coaster pertama yang dinaikinya. Dia mencoba sekali lagi sebelum pindah ke arena roller coaster lain yang menurut informasi memberi pengunjung sensasi terbang karena kursinya di pasang terbalik menghadap ke bawah.
        Sambil mengantri Dayu melihat sebuah lingkaran seperti roda besar yang terikat pada sebatang tiang sebagai sumbu, yang mengayun-ayunkan lingkaran tersebut lebih dari seratus delapan puluh derajat seperti bandul gila. Suara orang-orang yang menjerit mengundangnya untuk mencoba.
        Dayu menelpon Wang Qing dengan semangat. “Qing kurasa kau bisa makan siang duluan, aku akan mencoba wahana yang lain ….Ya ya antriannya sangat panjang…… Ya setelah ini aku akan menemuimu.”
        Tapi lagi-lagi dia tergoda untuk mencoba permainan lain. Dayu menelpon lagi. “Qing aku ada di wahana air ……. Kurasa sangat menarik dan ingin mencobanya…… Ya setelah ini aku akan menemuimu.”
        Hal ini terjadi berulang-ulang karena Dayu tak bisa menahan diri dari adrenalin yang ditawarkan setiap wahana. Dia sangat menyukainya, beberapa bahkan dinaikinya lebih dari dua kali. Dayu memutuskan untuk mencoba semua karena dia tidak tahu kapan lagi dia bisa ke sini. Tidak terasa matahari sudah tergelincir saat dia kembali ke tempat Wang Qing menunggu.
        Rasa bersalah meninggalkan Wang Qing sendirian diusirnya dengan kenyataan kalau Wang Qing takut ketinggian dan mereka tidak bisa menikmati arena yang sama. Jika bersamanya, Wang Qing hanya akan menemani antri dan merasa bosan. Kalau berpisah seperti ini Wang Qing bisa menikmati arena lain seperti taman bertema, rumah hantu dan teater yang terus terang tidak begitu menarik hatinya. (Dayu lupa kalau Wang Qing sedang jatuh cinta. Bagi orang yang kasmaran kebersamaan lebih penting dari apapun)
        “Hai,” sapanya.
        Wang Qing tersenyum, “Kau kelihatan senang.”
        “Ah ya luar biasa ……” Dayu berseri-seri bercerita panjang lebar seiring mereka berjalan keluar. Dia sudah lupa kalau tadi dia tidak suka diajak ke tempat ini.
        “Apa kau ingin makan sekarang di sini atau di luar?” tanya Wang Qing. “Kau pasti lapar.”
        “Ya aku memang lapar tapi terserah saja,” kata Dayu.
        “Apa kau sanggup menunggu sebentar? Di dekat tempat ini ada rumah makan yang enak.”
        “Oke.”

                                                                      ☆—☆—☆

        “Tumben kau makan banyak.” Dayu mengomentari Wang Qing setelah mereka kembali ke mobil melanjutkan perjalanan pulang setelah makan malam.
        “Ah aku belum makan siang. Aku menunggumu untuk makan bersama tidak sanggup makan sendirian sementara kau juga belum.”
        Dayu merasa ada batu besar di perutnya. Dia melirik Wang Qing untuk melihat apakah dia menyindirnya. Tapi wajah pria itu lurus saja membuat batu besar itu makin menekan lambungnya. Uh, mungkin ini sate sosis, bakpau daging, dumpling, dan ayam goreng yang sudah dimakannya tadi siang, membalas dendam, menghukum kerakusannya. 
         Mobil sampai di tempat parkir asrama. Dayu melirik asrama yang sepi sebelum melihat ke Wang Qing. 
        Dia mengulurkan tangan melingkari leher Wang Qing kemudian memberi ciuman di pipi. “Terima kasih sudah mengajakku ke Happy Valley. Hari ini aku sangat senang,” kata Dayu tulus.
        Senyum Wang Qing melebar sampai memperlihatkan gusi-gusinya. “Aku juga senang,” katanya balas memeluk Dayu erat.

                                                                       ☆—☆—☆

Qingyu fanficTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang