Part 6

531 23 0
                                    

REVISI, 13 Juli 2017

Arsen POV

Sepulang dari minimarket tadi. Rasa kesal masih menyelimuti diri ku. Bagaimana tidak, laki-laki yang sama saat bertemu di ruang guru sedang memperhatikan Rea, sambil senyum-senyum pula. Harus nya aku membangunkan Rea tadi, terus mengajak nya ke dalam.

Sebagai pelampiasan aku melemparkan bantal ke arah pintu. Bersamaan dengan itu terdengar suara pekikan seseoranng.

"Arsen, ngapain sih kamu pake lempar-lempar bantal? Kalo kena muka mamah gimana?" terlihat mamah sedang berkacak pinggang. Lalu mengambil bantal di depan kaki nya. Aku hanya nyengir, dan meminta maaf pada mamah. Untung saja bantal itu tidak sampai mengenai muka mamah. Jatuh tepat dikaki nya.

"Gimana?" tanya mamah to the point seraya duduk ditepi ranjang. Menaruh bantal tadi di atas kasur.

"Apanya?" sebenar nya aku sudah tau maksud dari perkataan mamah. Hanya saja aku malas membahas nya. Pura-pura bego aja.

Setelah selasai diceramahin sama mamah aku turun kebawah. Hendak mengambil minum. Dari tangga aku melihat Rea sedang menghadap keluar jendela, sambil memegangi gelas di atas meja. Sudah dua jam Rea tertidur. Mungkin dia haus sehingga terbangun dan menuju dapur. Aku tersenyum sekilas,meskipun senyum itu tidak mungkin terlihat oleh Rea karena posisi gadis itu membelakangi ku. Ketika semakin mendekat aku melihat pegangan nya di gelas berubah menjadi cengkeraman hingga tangan nya sedikit memerah. Mungkin cengkeraman nya yang begitu erat. Firasatku tidak enak, sehingga aku segera berlari dan memegangi tangan kanan nya yang masih merah. Terlihat pipi nya basah. Apa dia menangis?.

"Ka.. kamu kenapa?" aku mengusap pipi nya. Rasa nya melihat Rea menangis adalah hal yang tidak mau aku lihat seumur hidup ku. Hatiku ikut perih ketika melihat nya rapuh.

Bukan nya menjawab. Dia malah memelukku begitu erat,sangat erat dan menangis sejadi nya dipelukan ku. Aku biarkan kita diposisi seperti ini. Ku balas pelukan nya sama erat nya dan mengusap belakang kepalanya. Berusaha menenangkan.

Jika Rea menangis, aku lah orang yang pertama kali menyesal karena membiarkan air mata itu jatuh. Aku tidak ingin dia merasakan kesedihan lagi dan lagi. Dia harus bahagia, walaupun itu harus mengorbankan kebahagian ku sendiri. Bagaimana cara nya aku harus melakukan hal apapun yang membuat Rea tersenyum.

Hampir 5 menit tangis nya belum mereda. Ini berarti ada masalah serius yang dipikirkan Rea. Aku melerai pelukan itu terlebih dahulu. Hidung nya memerah dan pipi nya banjir dengan air mata. Aku semakin khawatir.

"Hei... kamu kenapa?? Apa ada yang menyakiti hatikamu? Cerita sama aku?" aku menatap wajah nya sangat lekat. Air mata nya mengalir deras. Itu semakin membuat hati ku perih. Ku tangkup kedua pipi nya.

"Jangan diem kaya gini. Aku kacau kalau liat kamu nangis kaya gini... aku..."

"Peluk aku sekali lagi" pinta nya dan tak menunggu lama aku langsung memeluk nya sangat erat. Berusaha memberi ketenangan untuknya.

Aku hendak melepaskan pelukan ini, namun Rea menahannya. Aku pun tak menolak. Ku kecup puncak kepala nya. Mencium harum wangi dari rambut hitam itu.

"Pliss... jangan buat aku jadi pecundang Rea. Akungerasa gak bisa jagain kamu, kalo ngeliat kamu nangis kaya gini..." ucap ku disela pelukan kami.

Rea melerai pelukan. Menatap ku amat lekat. Tersirat kesakitan di sana. Kelemahan terbesar ku adalah ketika melihat Rea menangis dan menahan sakit. Setelah bertahun-tahun lama nya, ini pertama kali nya Rea kembali menangis tersedu-sedu.

Dia tersenyum dan menangkup wajah ku dengan sedikit mendongak. Karena tinggi nya kurang dari sebahu ku.

"Kamu gak pernah gagal jagain aku" aku menggeleng mendengar perkataan nya.

Dewasa Itu MenakutkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang