#1.1

1.2K 56 6
                                    

Saat ini, tahun 2013...


Kelihatannya inersia-ku kambuh, gara-gara kemarin aku tidur-bangun-tidur karena pusing sejak pulang sekolah, mengurung diri di dalam kamar, tidak makan malam, tidak mandi, tidak mengerjakan tugas, dan akibatnya pagi ini aku salah mengenali pagi sebagai sore.

Waktu sudah menunjukkan setengah tujuh lewat. Aku duduk di ruang makan. Kakiku mengetuk lantai dengan tidak sabar, penuh kegelisahan.

Aku melirik lagi ke arah mama yang sama sekali tidak merasakan sindiranku melalui suara sepatu yang berderak di bawah meja, dan masih asik menggoreng telur.

"Maaaa... Nada udah telat nih, Nada makannya udahan ya?" Aku memohon kepada mama agar membiarkanku tidak menghabiskan sarapan ini.

Aku tidak membenci sarapan, tapi pada jam seperti ini ketika aku bangun kesiangan, dalam keadaan tidak sadar hingga salah membedakan sore dan pagi hari, dan tahu bahwa jalanan akan sangat macet, aku tentu perlu lebih cerdas daripada sekadar menghabiskan sarapan pagi.

Mamaku yang cantik dan terlihat masih muda itu seolah tidak tahu apa yang sedang membuatku tidak bisa duduk lebih lama di kursi makan ini, "Kamu nggak denger mama tadi bilang apa? Kamu itu kemarin malam aja nggak makan, dibangunin nggak bisa, sakit kepala seharian, dan bikin mama cemas setengah mati gara-gara mama pulang kamu nggak bisa dibangunin? Sekarang kamu minta mama untuk biarin kamu nggak sarapan?"

"Yah, maa.. tapi ini Nada bisa telat," rengekku.

"Nanti mama anterin dan ketemu gurumu langsung kalau sampai mereka bikin kamu nggak boleh masuk."

Aku tidak bisa membiarkan mama melakukannya! Memangnya aku masih umur 10 tahun?

Terpaksa aku menghabiskan dengan cepat semua makanan yang disediakan untukku, sampai-sampai aku harus berusaha agar tidak memuntahkan semua makanan yang kupaksa masuk ke perut.

Segera kuambil segelas susu sambil berdiri membereskan tas.

"Haa.. haha hehangkat huhu... (Maa.. Nada berangkat dulu)" kataku di sela-sela menelan makanan sambil minum.

"Ya ampun sayang... pelan-pelan dong..."

Mama masih sempat saja membantuku memasukkan semua makananku dengan menepuk lembut punggungku.

Setelah membereskan semua barang-barangku, aku mencium kedua pipi mama.

"Jangan bikin Deva khawatir juga lho."

Nama itu entah kenapa langsung membuat kegiatanku terhenti tiba-tiba. 

Aku mengangkat wajah ke arah mama. 

"Kok.. kok Deva sih, ma?"

Mama mengerjapkan matanya. "Lho, yang telpon mama untuk pulang cepat dan ngabarin kondisi kamu kan Deva sayang..."

Deva?

Deva?

What the hell?

"Gimana... gimana Deva bisa tau kalo Denada..."

"Lho bukannya kalian barengan terus, wajar kan kalo Deva tahu?"

Ah, benar juga. Mama tidak tahu bagaimana hubunganku dengan Deva saat ini. Akhirnya aku segera memutuskan obrolanku dengan Mama dan melesat ke pintu depan dengan kepala dipenuhi pertanyaan kenapa Deva bisa tahu kondisiku.

Tapi pertanyaan itu langsung pergi di terpa angin ketika aku keluar dari rumah dan mendapati bahwa cuaca semakin mendung.

"Bisa pusing lagi nih gue," gumamku ketika mulai merasakan tetes pertama air hujan di pipiku.

Secepat kilat aku mengecek semua barang penting yang seharusnya sudah kusediakan di dalam tas: payung plus jas hujan.

Karena aku akan naik ojek - kelihatannya tidak akan sanggup naik taksi kalau ingin cepat sampai sekolah -aku mengeluarkan payung tanpa membukanya dan berlari keluar gerbang rumah menuju ke arah luar komplek.

Untuk sampai keluar komplek aku harus berjalan sekitar 200 meter karena pangkalan ojek ada di sekitar sana atau mencegat taksi dadakan dan aku berharap tidak akan kehujanan.

Mama tidak akan pernah tahu aku sekarang sering melakukan ini.

Aku tersenyum kecut dalam hati. Saat ini tidak ada mobil yang menungguku berangkat ke sekolah, kecuali kalau pacarku yang sedang marah mau menjemput, dan aku juga belum sempat berlatih mengendarai mobil sehingga aku tidak bisa meminjam mobil mama.

Bahkan kalau aku bisa naik mobil dan meminjam mobil mama, yang jadi pertanyaan adalah bagaimana cara mama berangkat kerja. So, saat ini aku hanya membuang waktu dengan memikirkan hal ini berkali-kali setiap kali harus berjalan seperti ini keluar komplek.

Selama aku berjalan ke arah luar komplek, aku sempat menangkap sekilas tetangga sebelahku sedang keluar dengan pacarnya yang bergelayut di tangannya menuju mobil yang masih terparkir di depan rumahnya.

Aku tidak dapat menghentikan apa yang muncul di kepalaku, dan ini selalu muncul dan tetap saja muncul meskipun sudah tak terhitung ada berapa cewek berbeda keluar dari rumah tersebut.

Apa yang mereka lakukan di rumahnya?

Apakah cewek itu tidur di rumahnya?

Apakah cewek itu bermalam di rumahnya?

Apakah mereka melakukan....

Sial, kenapa aku harus berpikir ke arah itu lagi sih? Efek berita belakangan yang semakin tidak karuan sepertinya sudah membuatku depresi.

Lagipula, bukankah sekarang memang sudah biasa anak cowok yang hidup seorang diri menjadi terlalu bebas dan kebarat-baratan?

Mungkin karena rumahku bukan termasuk kawasan desa yang rumah-rumahnya menjadi incaran para warga dan termasuk tempat yang sangat individualistis jadi tidak heran sebenarnya kalau hal seperti ini sudah dianggap biasa.

Dan tetanggaku ini bukan tetangga yang biasa-biasa saja, dia memiliki tinggi 170 cm lebih, hidung mancung, tulang pipi yang tinggi, mata yang tajam, dan memiliki bentuk tubuh ideal yang cukup menjadi alasan para cewek meneteskan liurnya setiap kali berada dalam radius 10 meter darinya.

Secara penampilan jelas dia sangat menarik dan menjadi idaman setiap wanita, jadi jangan heran kalau dalam waktu satu bulan aku sudah tidak bisa menghitung berapa orang cewek berbeda yang keluar masuk rumahnya. Apa yang mereka lakukan...

Rasanya ada yang menusuk-nusuk dadaku, dan aku membenci perasaan itu.

Pertanyaan lainnya yang muncul di kepalaku adalah: bagaimana ia bisa tahu tentang aku yang kemarin sakit? Setahuku kami tidak pernah bicara atau bertatapan di kelas.

Berusaha melupakan apa yang kulihat, atau bahkan pertanyaan yang mondar-mandir di kepalaku semenjak mama membahasnya, aku memfokuskan pada tetes-tetes air hujan yang tiba-tiba membasahi pelipisku satu per satu, hingga akhirnya aku merasa sudah saatnya membuka payung yang sejak tadi kupegang.

Aku baru berjalan sejauh 50 meter menembus hujan, ketika aku merasakan sesuatu yang cukup besar berjalan selambat langkah kakiku.

Aku menoleh, dan mendapati wajahnya muncul dari balik jendela mobil, iya, ini si tetanggaku itu.

"Hei, mau bareng?"

Aku menggigit bibirku, dan genggamanku di payung reflek menjadi lebih erat ketika aku melihat siapa yang duduk di sampingnya.

Gadis itu manis, terlihat lugu, terlihat baik, rambut sebahu, dan ia memiliki ekspresi yang ramah.

Lagi-lagi bayangan mereka menghabiskan malam bersama muncul di benakku dan aku hampir saja mengingkari janjiku untuk tidak mencampuri urusan mereka. Lagian wajah polos begitu kalau berbuat yang aneh-aneh jadi ingin membayangkan kan? Ugh.


***

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang