#5 Perjanjian

489 34 0
                                    


Tahun Lalu


Hari ini adalah dimana aku terluka paling parah. 

Kejadiannya karena laki-laki yang berhubungan denganku. Ini mungkin sudah pacar ke sekian sepanjang ingatanku. Keadaannya menjadi semakin parah karena kami bertengkar di atas motor. 

Ketika aku meminta Donny, yang sekarang akhirnya resmi menjadi mantan pacarku untuk putus seusai kami melakukan perjalanan jauh yang juga termasuk perjalanan terakhir, mendadak ia menarikku ke atas motor. Ia ingin membawaku pergi dan itu membuatku marah. 

Aku meminta turun. Ia menolak.

Cara halusku sama sekali tidak digubris dan aku mulai takut kemana ia akan membawaku. Jadi aku bergerak secara fisik memaksa agar Donny mau menurunkanku selagi aku masih menghafal tempat yang kami lalui. 

Bisa ditebak, dia tidak mau menurunkanku apapun yang aku lakukan. 

Hingga kami saling tidak menyeimbangkan diri, dan menabrak trotoar sebelum menabrak pohon.

Kecelakaannya terjadi pada pukul 9 malam, dan yang menyedihkanadalah kecelakaan itu terjadi ketika Donny membawaku ke tempat yang sangat sepi, nyaris seperti tidak ada orang. 

Tidak ada rumah, tidak ada penduduk, hanya tembok dan sawah, dan pepohonan, juga makam di sekitar kami. 

Ketika aku terbangun dari posisi jatuhku yang cukup mengejutkan, ternyata aku sudah terlempar beberapa meter dari motor dan dari Donny. 

Aku mendapati bahwa Donny berada bersama motornya, berusaha bangun dari posisinya yang terjepit di motor tersebut.

Memikirkan pertengkaran mematikan kami, betapa sepinya suasana di tempat ini, akhirnya kuputuskan untuk melakukan satu-satunya hal yang bisa kuperbuat.

LARI.

Donny masih berusaha bangun dari posisi jatuhnya tanpa benar-benar menyadari keberadaanku beberapa meter di belakangnya. 

Aku berusaha untuk bangun perlahan, membenarkan tas pinggang yang sedikit sobek, dan kemudian berlari. 

Berlari sekencang yang aku mampu menjauhi Donny yang kudengar mulai memanggilku.

Kakiku sakit, perih dimana-mana, celana robek di tempat  rasa perih itu muncul karena berdarah. Selopku lepas dan telapak kakiku berdarah, telapak tanganku lecet di keduanya, di siku, dan sepanjang lengan yang tidak tertutupi kain. 

Tetap saja aku berlari, meski kaki pincang karena rasanya semakin sakit, tetap aku berlari hingga aku menemukan keramaian kota. 

Kufokuskan perhatianku pada tempat kuberada. Aku mulai berjalan pelan ke arah satu-satunya tempat di daerah tersebut yang aku kenal.

Sebelum aku menarik perhatian, kubenarkan semua yang aku bisa. Rambut, jaket, ekspresi. Sayang tidak bisa kusembunyikan lubang pada seluruh pakaianku, luka, bahkan kakiku yang tidak beralas. 

Aku tetap berdiri tegak. 

Banyak orang berlalu lalang melewatiku dan berusaha untuk memberikan bantuan, tapi aku menolak dengan halus, tidak benar-benar tertarik untuk berurusan dengan orang asing. Aku pergi ke apotek, membeli betadine, kassa, revanol, dan apapun yang sekiranya kubutuhkan untuk membersihkan luka.

"Sini kak biar saya bantu obatin lukanya," kata perawat di apotek tempat aku membeli keperluan P3K.

Aku menolak.

"Rumah saya cuma dekat sini kok, 5 menit jalan juga sampai."

"Kakak tadi jatuh dimana?"

Tanpa berniat menjawab, aku tersenyum dan membawa diriku keluar dari apotek sebelum memperoleh pemaksaan yang sangat tidak kubutuhkan pada saat ini. 

Sebelum aku pergi lebih jauh, aku mengambil scraft  dari dalam tas dan menutup wajahku hingga yang terlihat hanya sekadar mata. 

Ini Jakarta, siapapun harus berhati-hati, apalagi kalau kau tipe yang sering mendapat perhatian lawan jenis.

Entah sudah berapa menit atau jam aku berkutat dengan orang-orang yang terus mengamatiku seperti orang gila. 

Aku berlagak saja seperti orang gila agar tidak ada yang mau mendatangiku bahkan preman sekalipun.

Lalu akhirnya, aku  sampai di sebuah hotel bintang 4.

Meskipun ini sebuah hotel, tetapi ini juga yang menjadi satu-satunya tempat pelarian ketika aku tidak sanggup untuk berhadapan dengan mama. Hotel ini cukup sering kudatangi, hingga pak Satpamnya dan resepsionisnya saja hafal denganku.

"Halo kak Dena, kamar nomor 105?"

Resepsionis tersebut bernama Anita, yang selalu kulupakan setiap bertemu dengannya kemudian teringat kembali ketika melihat tanda pengenalnya. 

Dia selalu memanggilku 'Dena', teman-temanku 'Nada', dan nama-nama panggilan tersebut selalu kuperbolehkan mereka gunakan sesuka apapun pilihan namanya, kecuali satu panggilan. Hanya kuperbolehkan seorang memanggilnya, dan hanya seorang yang tertarik menggunakannya.

Aku mengangguk "Masih kosong?"

Sebelum menjawab, resepsionis tersebut memandangiku dari atas sampai bawah dan menggeleng-geleng sambil tertawa kecil "Berantem lagi ya?"

Aku menggeleng "Kecelakaan motor. Kamar 105 kosong?"

Resepsionis tersebut masih terperangah mendengar jawabanku sebelum akhirnya berusaha memfokuskan diri pada pertanyaanku. 

Ia berusaha tersenyum ramah dan kali ini terlihat canggung, aku tak heran.

"Syukurlah kosong, kak." Ia mencatatat beberapa data kemudian memberikanku kunci hotel "Silahkan kak, kalau butuh apa-apa langsung hubungi kami ya?"

Aku mengangguk dan mengambil kunci yang ia sodorkan, menyeret tubuh gelandanganku ke kamar yang syukurlah saat ini kosong.

***

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang