#1.2

901 55 0
                                    

Berusaha tetap tenang, aku akhirnya menjawab.

"Nggak usah, Deva, udah deket pula..."

Aku melihat mata Deva menyipit curiga, tanda kalau ia menemukan hal yang tidak beres terhadapku.

"Naik apa?"

"Emmm... taksi?"

Fine.

I lied.

Tapi hanya agar tidak menimbulkan lebih banyak pertanyaan dari Deva.

"Rian mana? Pacar lo?"

Aku menarik nafas, menahan ekspresi untuk tetap tenang. Karena jika ada satu hal yang aku tahu dari Deva, itu adalah betapa pandainya ia membaca pikiranku, atau membaca wajahku, entahlah.

"Gue sengaja nggak bareng dia hari ini."

"Kenapa?"

"Emm..." 

"Kenapa?"

Huh. Deva memang tidak bisa menunggu aku berfikir.

"Em... kayaknya dia lagi banyak pikiran..."

"Emang dia nggak tau lo sakit?"

"Emang dia harus tau?"

Deva mengerutkan keningnya, terlihat mulai kesal "Dia kan pacar lo."

"Emang lo tau gue sakit?"

Deva tidak menjawab. Ia memandangku dengan tatapan mematikan. Tapi aku tidak mau kalah.

"Emang siapa yang bilang gue sakit?"

Bukan menjawab, Deva malah menanyakan hal lain "Lo masih sakit kan? Dan pacar lo nggak tau, dan sekarang lo mau sekolah ujan-ujanan gini?"

Aku melirik lagi ke arah cewek Deva yang saat ini sudah mengangkat alisnya tinggi-tinggi, seolah Deva tidak pernah menanyakannya pertanyaan semacam ini padanya.

"Gu... siapa bilang gue sakit?" kilahku cepat.

Deva masih memandangiku dengan tatapan khasnya, lama dan tajam. Dan itu saja sudah cukup menjelaskan padaku untuk tidak bertanya padanya kenapa ia tahu kondisiku disaat aku bahkan tidak tahu kalau ia memperhatikanku.

Karena Deva tidak pernah berhenti memperhatikanku.

Berlagak melihat jam tanganku, aku memutuskan kontak darinya

"Lo... Lo berangkat aja sih, hujannya juga nggak deres, bentar lagi juga gue udah terlindungi atap mobil."

Sayangnya, Deva tidak pernah mudah dihadapi. Ia memejamkan mata dengan dahi berkerut, seolah mencoba untuk menahan emosi. Kemudian ia membuka mata dan langsung memberikanku perintah pendek.

"Naik cepet, keburu deres ujannya."

Tentu saja aku sudah terbiasa dengan gayanya yang suka memberi perintah.

"Nggak, Deva, gue nggak akan nebeng lo."

Aku melirik ke arah ceweknya yang dengan wajah malaikat itu mulai menarik-narik seragam Deva.

"Udahlah, Deva.. Jangan dipaksa..."

Suaranya bahkan sangat lembut, dan halus. 

Aku tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dengan membiarkan Deva memaksaku. Lagipula ada yang lebih penting daripada mengurus perdebatan ini.

"Gue nggak nebeng, Deva, dan gue udah terlambat!" sentakku kemudian berlari menggunakan payung yang bergoyang kesana kemari sampai membuat rambut yang sudah kutata rapih menjadi sangat berantakan karena terpaan angin yang tiba-tiba menjadi sangat kencang. Bodo amat sama Deva yang akhirnya hanya bisa melihatku dari jauh.


.

.

.

Setelah berusaha sembunyi karena aku membohongi Deva akan naik ojek bukannya taksi, aku tetap sampai sekolah lebih dulu. Ya iyalah, secara jalanan berangkat sekolah pasti macet apalagi naik mobil, entah akan sampai jam berapa si Deva dan pacarnya itu datang.

Tapi setidaknya aku sampai tepat sebelum bel berbunyi, tapi sudah berbunyi ketika aku melangkah masuk gerbang.

Meskipun aku nyaris basah kuyup dengan rambut berantakan, aku tidak tahu apa yang menyebabkan kedatanganku ke sekolah masih disambut dengan meriah. Bahkan bedak dan lipice-ku sudah luntur.

Hari ini tidak berbeda dengan hari biasanya. Aku berjalan di sepanjang lorong sekolah, dan  mendapati diriku dipandangi oleh siapapun yang berkesempatan melihatku.

Sejak tadi sudah ada dua cowok yang berpura-pura bertabrakan denganku, beberapa sengaja bersuit ketika aku lewat, beberapa mencoba mengajakku bicara yang hanya kujawab dengan seulas senyum.

Sedangkan yang lainnya tidak kuhiraukan. Ini juga menjadi penyebab utama kenapa terkadang aku merasa tidak betah sekolah, karena aku tidak memiliki satupun teman perempuan karena reputasiku.

Reputasiku sendiri muncul karena aku selalu, dan selalu salah memilih pasangan. Blame me, then, tapi itu terjadi begitu saja dan setiap waktu tanpa bisa kucegah. Setelah beberapa lama, aku sudah tidak peduli lagi.

Tiba-tiba aku ditarik oleh seseorang dan berhenti di bawah tangga. Aku mengangkat kepala dan melihat Rian sedang memandangiku dengan dahi berkerut tidak suka.

"Kamu kok kayak pelacur gini sih, Nad?"

Aku berusaha merapihkan rambutku "Kehujanan..."

"Bego banget sih! Nggak pake jas hujan?"

Aku menundukkan kepala, tiba-tiba merasa jengah. "Pake, tapi sempet kena hujan..."

Rian menarik rambutku dengan kuat sampai aku berjengit dengan kekuatan tangannya. Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik.

"Denger ya, Nad, aku nggak mau kamu keluar dalam keadaan rambut kayak gini." Rian menarik rambutku lebih kencang "Kamu kayak cewek murahan kalo berantakan gini! Dan harusnya cuma aku yang boleh lihat! Ngerti?"

Aku menggertakkan gigi "Kamu sendiri nggak mau jemput aku! Kalo kamu jemput, aku kan nggak bakalan kehujanan! Dan... apa kamu tau kalo kemarin aku sakit?"

"Kamu ngelawan, Nad?" Aku merasa ia menarik antingku dan aku bisa merasa kulitku sedikit robek. "Aku kan udah bilang aku lagi sibuk!"

Aku tahu Rian berbohong. Dia selalu berbohong. Dia tidak pernah menjelaskan kenapa dia sibuk, dan aku benci karena aku jarang mendapat jawaban jujur darinya.

Jelas-jelas dulu dia yang mendekatiku hingga aku merasa berbunga-bunga. Siapa sangka ini semua hanya sekadar khayalan. Ia bahkan tidak sedikitpun tahu kalau kemarin aku sakit karena sibuk mengurus tugas-tugasnya yang harus kukerjakan sejak hari sebelumnya.

"Jawab! Kamu mau ngelawan..."

Tangan Rian menghilang dari telingaku dan aku segera merasakan ada darah ketika aku menyentuhnya.

"Anjrit!"

Aku mengikuti arah pandang Rian dan mendapati sebuah bola basket menggelinding di bawahnya. Sekilas sama sekali tidak terlihat ada tanda-tanda siapapun baru saja melakukannya, tapi aku tahu siapa orang yang bisa melempar bola dengan sasaran tepat dari jarak sejauh apapun itu.

Dan dia ada disana, jauh di seberang lapangan, membelakangi kami dan tengah berjalan memasuki kelas bersama pacarnya.

Aku tersenyum, sekaligus mencoba menahan rasa sakit di dadaku yang belakangan ini sering muncul. Tapi terserahlah, ternyata dia tidak terjebak macet, sial.

.

.

.

TBC

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang