#12 Harapan

415 30 6
                                    


Saat ini pergelangan tanganku sudah berpindah, dari laki-laki bertindik ke tangan Deva yang sentuhannya menghangatkan nyaris seluruh tubuhku. Ya ampun, mengingat betapa tegangnya beberapa waktu yang lalu, rasanya aku masih tidak percaya aku mungkin bisa pulang dengan selamat. TIdak, aku pasti akan pulang dengan selamat. Entah apa hubungan Deva dengan laki-laki ini, tapi aku tidak ragu sedikitpun bahwa Deva akan membawaku pulang, semarah apapun ia saat ini.

Keadaan ini semakin membuatku bingung ketika Deva menerima ajakan kelima pria tersebut untuk ngobrol di pos ronda yang tadi mereka jadikan tempat untuk singgah sebelum bertemu denganku. Aku tidak bisa menyerap apapun yang mereka bicarakan selain kabar masing-masing dan bahwa mereka sudah sangat lama tidak main sepak bola. Aku mencoba menyimpulkan bahwa mungkin mereka adalah teman dan memiliki hubungan cukup baik hingga sering bermain sepak bola bersama, tapi sekarang sudah tidak pernah lagi. 14 tahun aku mengenal Deva, aku memang tahu hobinya yang sering main bola, tapi tentu saja bukan dengan orang-orang ini. Mereka tidak ada di daftar bayanganku tentang teman-teman Deva.

Ya ampun, mereka terlihat mampu melakukan hal-hal yang kejam.

Aku tidak percaya Deva memiliki teman-teman semacam ini.

Dan dia masih suka menceramahiku yang pacaran dengan orang-orang bermasalah? Yang benar saja.

Kelima orang termasuk Deva menoleh ke arahku ketika mendengar aku mendengus dengan kencang. Aku mundur selangkah, tetap dalam gandengan Deva.

"Cewek lo cantik banget, dan lo tau di daerah sini jarang kita nemuin cewek-cewek cantik kayak dia. Mungkin kalo lo nggak dateng, kita bakal bawa dia buat main-main bentar."

Cengkraman di tanganku bertambah erat, kupikir karena Deva berusaha untuk menahan diri.

Oh iya, aku belum bercerita kenapa aku tetap diam saja ketika mereka menyangkaku sebagai cewek Deva. Aku tahu itu hanyalah cara Deva untuk menyelamatkanku dari kelima orang ini, karena hanya dengan Deva berkata 'Sorry, gue kesini mau jemput cewek gue yang tiba-tiba hilang' barulah mereka mau melepaskan tanganku dan meminta maaf pada Deva, sebelum mereka semua menyalahkan Deva karena tidak pernah main ke tempat ini dan setelah sekian lama Deva kesini hanya untuk mencari 'cewek'nya yang hilang.

Yah, aku tidak bisa menyangkal. Rasa legaku jauh lebih besar daripada keinginan untuk menjadi cewek sungguhan Deva. Kalau boleh kutambahkan, itu juga alasan kenapa Deva bukannya langsung mengajakku pulang tapi malah ikutan nongkrong dan ngobrol di tempat ini. Ada banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalaku, dan aku akan memastikan untuk menanyakannya nanti.

"Gue akan memastikan dia nggak kesini lagi." Hanya itu jawaban Deva. Kelima teman lamanya tertawa mendengar jawabannya. Apakah mereka tidak mendengar nada dingin dalam suaranya?

Mungkin hanya temannya yang kenal dengannya selama 14 tahun yang bisa mengenal perubahan suaranya. Aku, misalnya.

"Meskipun kita nggak akan ngelakuin apa-apa kalo dia kesini lagi, emang lebih baik dia nggak disini, soalnya temen-temen gue terlalu gampang terangsang sama cewek-cewek cantik." Dan mereka tertawa lagi.

Aku hampir menggertakkan gigi mendengar cara mereka bicara, tapi tetap menahannya. Aku tahu ini satu-satunya cara agar bisa selamat dari mereka.

Setelah itu mereka ngobrol lagi beberapa lama, seolah melepas rindu, sebelum akhirnya Deva undur diri untuk pulang karena ia harus mengurus beberapa urusan sekolah. Syukurlah kelima teman lama Deva itu melepaskan kami dengan mudah, dan akhirnya aku benar-benar menghembuskan nafas lega ketika berbalik dan berjalan menjauhi pos ronda, ke arah.... Yah, yang pasti arah yang jauh bertolak belakang dengan arahku tadi.

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang