#16.1

357 28 3
                                    

Yasa menjadi sering menemaniku ketika Deva tidak bersamaku, atau mungkin ketika Deva sedang bersama Lilia dan aku tidak ingin berada disana. Aku juga menjadi lebih jarang ke rumah Deva karena entah kenapa aku tahu Lilia akan berada disana melakukan apa yang biasa kulakukan pada Deva sehingga seringkali aku merasa bahwa aku tidak lagi dibutuhkan. Sejujurnya, perasaanku menjadi lebih baik dan pikiranku teralihkan ketika aku bersama Yasa yang suka bicara seenaknya itu, dan aku tahu bahwa aku memang berteman dengan Yasa dalam arti sesungguhnya. Ia melihatku bukan karena Deva, bukan juga karena ia ingin mendekatiku. Ia melihatku sebagai Denada, seorang teman.

"Lo sering deket-deket sama gue gini kalo lo ketauan cewek lo gue nggak mau tanggung jawab lho," kataku ketika untuk sekian kalinya Yasa menemaniku ngobrol ketika istirahat sekolah.

"Cewek gue yang sekolah jauh nun disana yang justru perlu dikhawatirkan. Dia malah nggak pernah ngecekin gue sama siapa saking percayanya sama gue. Dan dia meminta hal yang sama, gue percaya sama dia walaupun gue tiap hari keringet dingin pingin tau kabarnya."

Aku tahu dari cerita Yasa bahwa pacarnya yang memang tidak satu sekolah dengan kami sedang menjalani pertukaran pelajar di Australia sehingga mereka jarang bertemu.

"Seriusan? Kalian nggak pernah video call?"

Lalu Yasa tersenyum "Itu tiap malem. Maksud gue kalo gue lagi di sekolah. Jadi lo tenang aja, gue nggak akan bikin cewek gue marah cuma karena gue nemenin lo."

Yah, setidaknya aku tidak sedang menganggu hubungan orang lain.

"Anyway, gue tetep nggak tanggung jawab."

Kemudian Yasa tertawa "Lo tau gue bener-bener merhatiin kalo lo keren banget adalah waktu lo nunjukin video ketika Nia ngemis-ngemis balikan sama Deva karena dia diputusin Deva. Dia aja yang nggak tau kalo Deva emang orangnya gitu."

"Orangnya gitu gimana?" tanyaku penasaran, ingin lebih tahu bagaimana cara Deva berpacaran selama ini.

"Deva nggak pernah serius, sekalipun, selama gue kenal dia kalo pacaran sama cewek. Semua cewek yang pacaran sama dia, sejak awal tau kalo mereka nggak akan bertahan lama dan harus siap untuk diputusin entah kapanpun Deva mau. Yah, tapi karena mereka itu kebanyaka cewek-cewek bodoh yang udah bersyukur bisa meluk dan megang Deva, jadi mereka tetep mau-mau aja."

Aku tertawa mendengar cara Yasa menganggap cewek-cewek Deva adalah orang-orang bodoh.

"Dan mereka juga cukup bodoh untuk temenan sama lo. Anyway, gue udah sering ngomong kayak gini."

"Bener banget," jawabku menyetujui.

"Oh, dan mantan-mantan pacar lo, mereka juga sama bodohnya kayak mantan-mantan pacarnya Deva."

Aku melongo "Lo tau mantan-mantan pacar gue?"

Lucunya ketika bersama Yasa, kami sering membicarakan hal-hal yang remeh, seperti membicarakan teman-teman sekelas kami, membicarakan guru kami, atau membicarakan cowok-cowok bermasalah terkini. Kami menjadi tukang gossip ketika bersama dan aku menikmatinya karena ini adalah obrolan yang cukup baru bagiku. Selama ini aku bersama Deva tidak pernah kehabisan obrolan sampai harus membicarakan orang, tapi ketika bersama Yasa entah kenapa itu membicara orang adalah satu-satunya hal yang menarik bagi kami. Siapa sangka ia tahu benar tentang manusia-manusia di sekolah kami.

***

Beberapa hari setelah aku memutuskan bahwa diriku baik-baik saja untuk tidak sering-sering datang ke rumah Deva, aku dikagetkan mendadak mamaku mengetuk pintu kamarku untuk makan malam. Padahal biasanya aku tidak pernah mau makan malam bersama mama dan papa yang aku juga tidak tahu apakah saat ini masih bersitegang atau tidak.

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang