#17 Iri

331 22 4
                                    


Aku tidak tahu bagaimana akhirnya aku bisa berada di depan rumah Deva. Aku hanya tahu bahwa aku membutuhkan Deva saat ini atau aku akan menangis semalaman di dalam rumah. Aku tidak tahu kemana Papa pergi karena ketika aku keluar dari kamar, aku tidak bertemu dengan papa ataupun mama. Tentu saja itu tidak menghentikanku untuk mencari Deva.

Aku sudah mengetuk pintu beberapa kali, tetapi baru setelah ketukan kelima aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah pintu. Ketika kemudian kenop pintu terbuka, aku tidak bisa mengendalikan ekspresiku. Aku terpaku, mungkin membelalak juga.

"Eh, kak Nada?"

Lilia berdiri di ambang pintu, dengan wajah cerianya. Berbanding terbalik dengan wajahku yang sangat terlihat habis menangis.

Mungkin ia menyadari ada yang salah dari diriku, karena aku langsung melihat wajah Lilia mendadak terlihat khawatir, tapi ekspresi itu tidak berhasil membuat tikaman rasa sakit di hatiku menghilang.

"Kak, kak Nada kenapa?"

Kenapa?

Kata Deva Lilia tidak di rumah ini?

Aku tidak bisa bergerak ataupun menjawab dari ambang pintu. Mendadak aku merasa ingin berlari dan pergi dari sini.

Astaga, kenapa Lilia berada di rumah Deva? Pada jam seperti ini?

Meskipun aku penasaran setengah mati ingin mengetahui apa yang tengah terjadi saat ini, tetapi rasa sakit hatiku menang, karena aku merasa sangat ingin pergi dari sini, dari rumah, dari tempat ini."Gue... gue mungkin harus kesini nanti."

Lalu tepat ketika aku akan berbalik, aku mendengar suara Deva yang langkahnya terdengar terburu-buru ke arahku.

"Denada?"

Ia mendekat ke arahku, aku tetap berjalan kea rah gerbang tanpa menoleh ke belakang. Rasanya aku tidak sanggup menghadapi Deva tanpa menangis karena rasa sakit akibat pengakuan papaku masih sangat membekas. Tetapi Deva tidak menyerah, ia segera menyusulku dari belakang, memegang sikuku, dan memutar tubuhku.

Tepat ketika ia melihatku, matanya membelalak. "Lo... lo kenapa? Lo habis nangis kan?"

Aku menggigit bibirku. Aku tidak mau bercerita di depan Lilia sekaligus.

"Gue... gue nggak apa kok," jawabku dingin. Kutarik tanganku agar lepas dari cengkraman Deva. "Maaf udah ganggu."

Aku menarik tubuhku, tapi Deva tidak melepaskannya. Deva hanya mengenakan kaos hitam, dan celana selutut, ia bahkan tidak repot menggunakan sandal ketika mengejarku hingga ke gerbang.

Deva juga sepertinya tidak peduli, ia hanya terus mengamatiku dengan ekspresi khawatir yang sering kulihat di wajahnya, dan matanya yang selalu berhasil membuatku untuk tetap tertahan di tempat.

"Ayo, lo ikut gue."

Aku tidak bisa menolak. Deva menarik tanganku dengan kekuatan yang tidak sanggup kusaingi meskipun aku tetap mencoba untuk menguji seberapa kuat cengkraman tangan Deva di kulitku. Aku harus mengakui aku mungkin tidak bisa lepas dari cengkraman sekuat ini. Kami terus berjalan hingga melewati Lilia yang memandangku juga dengan mata membelalak kaget, seolah apa yang ia saksikan adalah yang pertama kalinya. Tetapi hanya aku yang melihat ekspresi tersebut, kurasa Deva terlalu sibuk menyeretku hingga tidak tahu apa yang telah ia perbuat dan apa akibatnya pada Lilia.

Karena saat ini Deva sedang sangat mempedulikanku.

Tanpa peduli hal lainnya.

Dan aku merasa bersalah karena kenyataan tersebut membuatku senang, dan hampir meluruhkan seluruh rasa marahku yang tiba-tiba muncul ketika Lilia membukakan pintu tadi.

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang