#18.2

404 20 0
                                    

Perasaanku yang buruk tidak membuatku bersemangat untuk memanggil taksi atau ojek. Jadi aku hanya berjalan saja dari sekolah ke arah rumah, dan memutuskan akan mencegat taksi jika aku sudah merasa lelah. Kuambil handphone-ku untuk melihat jam, jam 3 sore. Dahiku berkerut ketika menyadari baterai handphoneku hanya tinggal 7% dan sebentar lagi sudah mau habis. Jadi aku mematikannya saja.

Suasana masih sore, dan aku bisa menghirup udara menyenangkan sore hari yang sangat kusukai, tidak terlalu dingin, tidak juga terlalu panas. Sore hari adalah suasana yang hangat, dan setidaknya ini berhasil untuk menghangatkan perasaanku yang sudah seperti membeku selama betahun-tahun.

Aku terus berjalan, hingga aku melewati daerah yang sepi. Daerah ini memang selalu sepi, mungkin hanya beberapa kendaraan yang lewat disini. Tetapi tidak seperti desa tempat aku tersesat, setidaknya kali ini aku sangat tahu kemana arah aku harus berjalan. Dan lucunya aku belum merasa capek hingga ingin memanggil taksi.

Aku terus berjalan, sedikit bersiul, ketika suara gemeresak di salah satu pohon membuat jantungku melompat. Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Neo berdiri disana, dengan tiga orang lainnya.

Tiba-tiba aku merasakan perasaan yang amat, sangat buruk. Aku merasakan hadirnya sebuah jawaban dari perasaan was-was yang kuabaikan sejak aku putus dengan Neo. Aku tahu ada yang tidak beres karena putusnya hubungan kami terlalu mulus.

Aku mencengkram tasku, mencoba mencari cara untuk bisa menghubungi siapapun agar dapat menolongku. Bateraiku akan habis jika aku menelpon seseorang, jadi aku harus cerdas memutuskan siapa yang akan kuhubungi.

Neo melangkah ke arahku, bersama tiga orang di belakangnya.

"Lo mau kemana, manis? Setelah seenaknya malu-maluin gue di café dengan bersikap sebagai pacar yang perfect, dan apa? Lo mutusin gue?"

Aku menelan ludah. Seberapa sanggup aku menghadapi pukulan, aku tidak pernah berhadapan dengan 4 orang sekaligus. Satu orang saja aku selalu berakhir kalah.

Tapi aku tidak mau berakhir seperti Lilia. Aku tidak selemah itu. Aku tidak akan membuat Deva berada di posisi yang sama. Apalagi di hari yang sama. Mana bisa aku berbuat seperti ini padanya? Bagaimana bisa nasib burukku harus datang bertepatan dengan nasib buruk Deva?

Dengan pikiran itu yang terus-terusan kuteriakan dalam hati, aku akhirnya bisa berjalan mundur dengan lebih teratur.

Aku lebih kuat.

"Lo udah berbuat salah, Ne. Kalo lo berani berbuat sesuatu yang nggak berguna, anak-anak yang tadi di jalan semua akan jadi saksinya!"

Mereka berjalan semakin cepat ke arahku, aku langsung mundur menjauh, kemudian aku mengambil salah satu kayu yang kutemukan tergeletak di pinggir jalan di bawah pohon, lalu kuacungkan padanya "Jangan deket-deket, Ne. Gue nggak pingin bikin masalah sama lo."

Akhirnya Neo tidak berani mendekat, tetapi teman-teman di belakangnya tertawa. Aku tahu mereka bisa dengan mudah mengambil alih kekuatanku, tapi aku belum mau menyerah"Kenapa lo minta putus?" tanya Neo.

Aku menelan ludah "Well, sebenernya gue ini bukan cewek yang suka serius pacaran. Harusnya lo ngerti itu Ne waktu pertama kali lo deketin gue. I'm so easy! Dan sekarang gue lagi banyak masalah keluarga dan gue nggak mau pacaran dulu."

Sebenarnya aku sudah bosan, aku sudah menemukan pasangan yang akan selalu berada di sampingku. Tapi aku pasti kena pukul kalau mengatakan yang sejujurnya.

Mendengar penjelasanku itu, akhirnya Neo melembut "Gue nggak masalah kalo lo ada masalah sama keluarga lo. Tapi jelas gue belum siap ninggalin lo."

Kuayunkan lagi batang kayu di tanganku "Tapi gue udah, Ne. Gue nggak mau pacaran lagi. Seriously! Bukan cuma gue Ne cewek yang bisa lo pacari. Lo terkenal, banyak cewek yang antri buat bisa ngedapetin lo!"

"Tapi gue maunya lo, Nad. Lo yang paling cantik!"

Berfikir.

Berfikir.

"Lo salah. Gue cewek nyebelin, nyusahin, dan ribet! Dan gue nggak cantik!"

Balasannya adalah senyum geli dari Neo. Argh. Aku pasti salah bicara!

"Gue nggak peduli."

"Tapi gue peduli!" Setelah menarik nafas panjang, akhirnya aku mulai mengeluarkan jurus berikutnya "Plis, Ne, plis. Gue mau kita hentikan masalah ini."

Neo tetap menggelengkan kepalanya.

"Gue nggak mau berhubungan sama lo lagi, Neo!!!"

Dia hanya mengangkat bahunya acuh. Aku tidak mengira Neo akan sekeras kepala ini. Tapi aku harus mengakhirinya sekarang. Dan satu-satunya cara adalah membuatnya marah.

"Gue nggak mau pacaran sama lo! Gue nggak mau pacaran lagi sama anak-anak bermasalah kayak lo. Gue nggak mau pacaran sama orang kasar kayak lo!" desisku dengan penuh kebencian yang langsung dibalas dengan tatapan penuh amarah dari Neo tentu saja. Setelah itu aku melemparkan kayu yang kupegang dengan penuh kekuatan ke arah mereka, yang untungnya, kena tepat sasaran karena aku jadi memiliki waktu untuk berlari sekencang-kencangnya. Astaga, kenapa aku lupa jarak dari tempat ini ke jalan raya ada sekitar 2 kilometer?

"Cewek sialan!" umpat Neo, dan tak lama kemudian, aku mulai mendengar langkah kaki mengikutiku. Jantungku berdebar semakin keras, dan aku menoleh ke kanan dan kiri, tetapi yang kulihat hanya pepohonan rindang. Sial!!!

Aku mengambil handphone-ku dan langsung menyalakannya sambil berfikir cepat siapa yang harus aku hubungi saat ini.

Deva sudah lama tidak menjadi pilihanku karena aku tidak mau membuatnya lebih menderita karena harus menghadapiku juga. Jadi aku menelpon satu-satunya nomor yang bisa menindaklanjuti perbuatan Neo dan teman-temannya.

Kutekan 911 dan langsung diangkat oleh seorang petugas.

"Pak, tolong saya, saya lagi dikejar orang jahat dan baterai saya habis, saya butuh bantuan, segera." Kemudian aku memberikan alamat tempatku berada. Mengetahui bateraiku tidak tersisa banyak, dan bagaimana kakiku sudah mulai lemah, aku mengirimi teks ke papaku sebagai cadangan.

Lalu tepat ketika handphone­-ku mati, seseorang menarik kepalaku dan melempar ponselku arah lain hingga pecah.

***

Aku harus tetap sadar. Atau aku tidak akan bisa melawan.

Saat ini Neo dan teman-temannya membawaku ke sebuah bangunan kosong, entah bangunan kosong darimana dan dimana, dan aku gagal kabur setelah berkali-kali lolos. Neo belum ada puas-puasnya memukuliku, dan setiap kali aku membahas perlawanannya, ia memukul semakin keras.

Aku merasa kesadaranku semakin memudar seiring dengan rasa sakit yang menyengat tubuhku. Tetapi aku tidak tahan melihat tiga orang di belakang Neo yang secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka akan menggilirku segera setelah Neo selesai denganku. Hanya itu yang membuatku terus bertahan dan sadar, agar aku bisa mencegah hal-hal paling buruk terjadi padaku.

Neo kembali menjambak rambutku dan menatapku garang "Lihat, ini yang terjadi kalo lo berani mempermalukan gue."

Aku sudah berteriak, memohon, dan menjelaskan segalanya kepada Neo selama ia menyiksaku, tetapi saat ini membuka mata dan mulutpun sulit, jadi aku tidak bisa menjawabnya lagi.

Kali berikutnya, Neo menendang perutku, tulang igaku, hingga rasanya tidak tertahankan lagi. Pipiku basah karena air mata, dan aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, tapi belum ada bantuan yang datang.

"Lihat." Neo menendangku lagi "Lo harus ngerasain ini." Aku merasakan kakinya yang beralas sepatu menekan setiap centi tubuhku "Biar lo sadar orang macam apa yang lo hadapi."

Kali berikutnya, setelah ia menendang wajahku, aku bertemu dengan kegelapan yang tidak bisa kuhindari lagi.

***


Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang