#19 Soulmate

502 29 2
                                    

Last...

---------------------------------------------

Bau antiseptik ruangan adalah yang menyambutku ketika aku membuka mata. Mataku terasa sangat berat, dan aku mengalami disorientasi parah karena aku tidak tahu kenapa mendadak aku berada dimanapun aku berada saat ini. Aku bahkan kesulitan untuk menggerakkan leherku. Aku hanya bisa melihat dengan mataku bahwa ruangan ini sangat bersih dan steril, warna putih dimana-mana, dan terutama bau obat-obatan yang menghantam indraku itulah yang membuatku menyimpulkan pada akhirnya. Aku berada di rumah sakit.

Kupejamkan lagi mataku karena aku tidak terlalu kuat untuk lebih lama membuka mataku, dan saat itulah telingaku bekerja.

Aku mendengar suara isakan.

Suara isakan yang sangat menyakitkan hingga aku merasa aku harus melihat siapa yang sedang menangis. Aku membuka mata, dan rasa penasaran yang besar akhirnya membuatku bisa menggerakkan kepalaku untuk melihat beban berat di tangan kiriku, dimana seseorang sedang memegangnya dan menundukkan kepalanya, menggenggam tanganku erat-erat, dan menangis disana.

Air mataku terbit melihatnya begitu rapuh.

"De... Deva?" Mulutku terasa sangat kering ketika memanggil namanya.

Mendengar suaraku, Deva langsung tersentak dan memandang tepat ke arahku. Pipinya basah oleh air mata. Tanganku bergerak dengan sendirinya, mengusap air mata yang terus-terusan jatuh "Lo... kenapa nangis?" tanyaku lirih dan khawatir.

Deva seolah tidak mendengar pertanyaanku. Ia terus memandangku tanpa sekalipun melepaskan pandangannya, seolah memastikan bahwa aku tidak akan pergi kemana-mana. Ia mendekat ke arahku, dan memegang wajahku.

Deva begitu rapuh, ia berantakan, ada lingkar hitam di bawah matanya, dan matanya begitu merah karena menangis.

"Deva?" Aku memanggilnya lagi, tetapi Deva hanya terus menatapku, kemudian mengangkat tangannya untuk menyentuh wajahku. Ia mengusap wajahku dengan amat sangat lembut seperti sedang memegang telur yang bisa pecah sewaktu-waktu jika tekanannya terlalu kencang.

Selama beberapa saat yang dilakukan Deva hanya memandangku, tetapi kemudian ia menjatuhkan kepalanya disisi kepalaku , menyurukkan wajah di telingaku, leherku, rambutku.

"Ya Tuhan... ya Tuhan, Denada..."

Dan hanya itu kata yang keluar dari mulutnya, selain isak tangis yang lain ketika ia memelukku dengan sangat hati-hati.

***

Aku kembali membuka mataku, tidak sadar bahwa untuk kesekian kalinya aku jatuh tertidur. Ketika aku tersadar untuk pertama kali, aku kembali tertidur dan bangun kemudian tidur lagi, kemudian mulai menyadari bahwa selain Deva, papa dan mama juga beberapa kali bergantian menemaniku, mengucapkan kata-kata untuk menenangkan dan menghiburku, tetapi aku tidak bisa menjawab banyak.

Kali ini aku merasa jauh lebih baik, meskipun masih merasa sakit di sana sini di sisi tubuhku, setidaknya kali ini aku bisa membuka mataku jauh lebih lama.

Deva tidak pernah beranjak dari sisiku. Ia selalu disampingku, menawarkanku minuman, bertanya apa yang kubutuhkan setiap kali aku terbangun, membelai rambutku, mengecup dahiku, menyuruhku istirahat kembali. Kemudian ia lagi-lagi berada disampingku ketika aku bangun.

Aku melihat papa dan mama tertidur di sofa terpisah, dan aku menoleh Deva yang sudah terbangun karena aku juga terbangun.

"Jam berapa ini?" tanyaku lirih.

"Jam 3 pagi, sweetie. Kamu butuh sesuatu?"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Kamu ngerasa sakit?"

Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang