Epilog

852 35 7
                                    

Tok Tok Tok


Denada menghembuskan nafasnya, perlahan.... Kemudian menundukkan kepalanya, mencoba menahan air mata yang siap keluar.

Akhirnya, palu hakim diketukkan.

Kedua orang tuanya resmi bercerai.

Seseorang yang sejak tadi menggenggam tangan Denada meraih pundak gadis itu, dan membiarkan kepala gadis itu bersandar di dadanya yang bidang.

Ketenangan Denada perlahan kembali, seiring dengan air mata yang turun.


***


Seusai persidangan, Denada dan Deva menunggu Mama di luar. 

Tak disangka, seorang perempuan dengan anak kecil laki-laki mendekatinya, disusul dengan Papa Denada di belakanganya.

Denada sama sekali belum siap, tubuhnya mundur selangkah ketika Papa dan wanita yang dinikahi diam-diam itu perlahan mendekatinya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar tanpa bisa dikendalikan. Otaknya memang sudah memaafkan Papa, tapi melihat mereka di depan mata langsung adalah dua hal yang berbeda.

Deva yang sejak tadi hanya memperhatikan Denada membalik tubuh gadis itu dan memeluknya, sehingga Denada membelakangi Papa Denada beserta istri mudanya tersebut.

"Maaf, Om. Denada masih agak shock hari ini. Tolong jangan ditambah dulu bebannya."

Mendengar itu, Denada mencengkram kaos Deva semakin kencang. Denada tidak tahu bagaimana ekspresi Papanya saat itu, tetapi ia hanya bisa mendengar kata-kata terakhir Papanya.

"Kamu tolong jaga Denada ya, Deva."

"Nggak usah diminta, Om."

"Dan..." Papa Denada berdeham "Kalau Denada perlu apa-apa, Papa masih bisa dihubungi ya..."

Denada berjanji, air matanya hari itu di pelukan Deva adalah yang terakhir.


***


"Apa kita juga nanti bakal cerai juga ya, Deva? Kayak Papa Mama?"

Denada melepas teleskop yang sejak tadi ia gunakan. Sepulang dari persidangan dan mengantar Mama Denada pulang, keduanya pergi ke planetarium. Awalnya ia merasa senang dan lupa dengan persidangan hari ini, tetapi melihat bintang-bintang itu membuatnya tiba-tiba teringat kembali dan jadi memikirkan masa depannya.

Deva tidak membalas selama beberapa saat, jadi Denada akhirnya menengok. Deva sedang memandanginya sambil tersenyum.

"Jadi kamu udah mutusin nanti mau nikah sama aku?"

"Eh?" Mendadak wajah Denada memerah. Astaga, ia sama sekali tidak memikirkan itu. Hanya saja, mengatakannya terasa normal saat ini.

"Kenapa malu sih?"

"Ha... habisnya aku nggak bermaksud..."

"Walaupun aku nggak keberatan?"

"Hah?" Sungguh. Denada tidak bisa mengontrol wajahnya sendiri yang semakin merah.

Deva terkekeh. "Tapi kita bertahan 14 tahun kan?"

Kata-kata itu langsung memberikan efek kepada Denada. Tentang kenyataan bahwa memang selama itu mereka sudah bersama.

"Walaupun ada banyak halangan. Walaupun sulit buat kita berdua jujur, tapi kita tetep bareng-bareng. Iya nggak?"

Perasaan Denada menghangat mendengarnya. Ia jadi mulai ikut tersenyum, dan menganggukkan kepala.

"Kita coba 14 tahun lagi, lalu 14 tahun lagi, sampe kita nanti lupa hitung berapa lama kita bersama. Gimana?"

"Kamu mau?" tanya Denada lamat-lamat.

Deva mengangkat bahunya. "Kayaknya aku bisa asalkan itu sama kamu. Tinggal kamunya mau nggak coba bertahan selama-lamanya sama aku?"

Hati Denada langsung merasa ringan, ia menghambur memeluk Deva erat-erat. "Iya, Deva... aku mau." Saat itu Denada bahkan tidak peduli beberapa orang hilir mudik sambil memandangi mereka yang sedang berpelukan "Aku sayang... sayang banget sama kamu. Selamanya."

"Well, I love you more.." balas Deva memeluk Denada lebih erat lagi.


***

END 


author's note: daaaan.... finally it's totally finish! maaf ya butuh waktu lama cuma untuk nulis epilog pendek begini, tapi semoga cukup ya! terimakasih buat kalian yang sudah meluangkan waktunya untuk  baca sampai disini :) semoga kalian berkenan memberikan kritik dan saran, dan mau ikut membaca ceritaku yang lain. Terimakasih lagi lagi dan lagi..




Pasangan bukan Pacar [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang