Bab 3

357 11 1
                                    

Siang Bu-gi duduk di atas kursi, duduk di depan Lan Lan, sepasang bola matanya yang tajam gemerdep menjadi merah. Dia sudah mabuk. Biasanya dia jarang minum arak, apalagi minum seguci, bahwa dia kuat bertahan sekian lama sudah patut dipuji.

Lan Lan berkata, "Percakapan kalian sudah kami dengar dengan jelas."

Siang Bu-gi tahu. Memang ia mengharap bisa mendengar percakapannya dengan si nenek, supaya dirinya tak usah menjelaskan lagi.

"Siapakah nenek tua itu?" tanya Lan Lan.

"Seorang nenek tua."

Lan Lan mengedipkan mata, katanya, "Kukira dia seorang Bu-lim Cianpwe, kungfunya amat tinggi."

Siang Bu-gi menoleh, tiba-tiba dia bertanya kepada Siau Ma, "Dia ini binimu?"
Siau Ma tidak menyangkal, sulit dia menjelaskan.
Siang Bu-gi berkata pula, "Kalau dia binimu, lebih baik kau suruh ia tutup mulut."
Lan Lan menyeletuk; "Kalau bukan bininya?"

Siang Bu-gi berkata dengan nada tegas, "Perjalanan ke atas gunung bukan untuk bertamasya, kita ke sana mempertaruhkan jiwa, maka...."

"Masih ada syarat lain?" tanya Siau Ma.

"Bukan syarat, tapi peraturan. Siapa pun harus patuh dan tunduk pada perturan," ujar Siang Bu-gi.

Orang banyak sedang mendengarkan penuh perhatian, Siang Bu-gi berkata pula, "Mulai sekarang, laki-laki tidak boleh menyentuh perempuan, juga dilarang minum arak." Tatapan matanya setajam pisau, "siapa terbukti melanggar aturan, tidak pandang bulu, aku akan mengelupas kulitnya."

* * * * *

Situasi Long San sebetulnya tidak berbahaya kalau dibanding puncak-puncak gunung kenamaan lain di Tionggoan, yang berbahaya di daerah ini justru orang-orang yang hidup di atas gunung.

Sejauh mata memandang, selama mereka menempuh perjalanan dan menjelajah gunung ratusan li, bayangan seorang pun tidak pernah mereka lihat.
Hari sudah menjelang senja.

Sinar matahari yang kuning emas cemerlang menerangi pegunungan, sehingga kelihatan seindah lukisan.

Siang Bu-gi melompat ke atas sebuah batu cadas besar yang rata bagian atasnya, lalu kata, "Kita istirahat di sini."
Seorang segera bertanya, "Saat ini harus istirahat, apa tidak terlalu pagi?" Yang bertanya adalah Hiang-hiang.

Sejauh mereka menjelajah, gunung di bawah kaki mereka kelihatan rata dan naik turun seperti alunan ombak. Mereka masih bercokol di punggung keledai. Gaya dan perawakan Hiang-hiang semampai, menggiurkan lagi molek, pandangan Thio-gong-cu jarang meninggalkan tubuhnya.
Tapi Siang Bu-gi melirik saja tidak kepadanya, agaknya segan bicara dengan dia.
Maka Thio-gongcu memberi tanggapan, "Sekarang sudah tidak pagi lagi."

Hiang-hiang berkata, "Tapi sekarang hari belum gelap."
"Setelah cuaca gelap," kata Thio-gongcu, "kita justu harus melanjutkan perjalanan."
"Lho, kenapa justru melanjutkan perjalanan di tengah kegelapan?" tanya Hiang-hiang
"Kalau cuaca gelap kita lebih mudah menyembunyikan diri, lebih gampang menyelamatkan jiwa, dan yang penting adalah serigala malam di gunung ini jauh lebih mudah dilayani dibanding serigala siang, apalagi...."
Mendadak Siang Bu-gi menukas, "Apa dia binimu?"

Thio-gongcu ingin mengangguk, tapi terpaksa geleng kepala.
Siang Bu-gi berada di hadapan Hiang-hiang, dengan enteng telapak tangannya menepuk kepala keledai yang ditunggangi Hiang-hiang. Kontan keledai itu roboh binasa. Hampir saja Hiang-hiang ikut ambruk tertindih tunggangannya. Syukur reaksinya cekatan, dengan tangkas dia melompat turun sebelum keledainya ambruk. Selanjutnya dia tidak berani banyak bicara lagi.
Siau Ma tertawa geli.

Mendadak Siang Bu-gi melotot kepadanya, "Kenapa Kau tertawa?"
Siau Ma memang tertawa, saat itu dia masih tertawa.
"Siapa yang kau tertawakan?" tanya Siang Bu-gi.
"Menertawakan kau," sahut Siau Ma.

Serial 7 Senjata (Qi Zhong Wu Qi Zhi) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang