Bagian Enam.
Ardani baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Setelah lumayan kering, dia melempar handuknya ke tempat tidur, dan lanjut membuka almarinya. Mengambil kaos oblong putih paling atas bertuliskan 'Ardani ganteng'. Dilarang protes karena sama saja menghina ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Laki-laki itu melipir ke depan cermin memandangi pantulan dirinya. Sesekali menyisir rambutnya ke belakang dengan jari tangannya kemudian senyam-senyum mengagumi diri sendiri.
Jangan ada yang bertanya kenapa Ardani baru mandi jam 7 malam. Tadi, sepulang sekolah kebetulan turun hujan. Tahu kan enaknya ngapain? Meringkuk di bawah selimut. Lampu di matikan. Pintu di kunci biar tidak ada yang mengganggu. Sang Empu rumah ini yang biasa Ardani panggil 'bunda' sedang tidak ada di rumah. Jadi, Ardani bebas mau berulah bagaimana tidak ada yang marah-marah. Kalau saja suara telepon di ponselnya tidak mengganggunya, mungkin sampai besok pagi dia masih tidur dengan seragam sekolahnya.
"Tumben mandi. Emang mau ketemu sama siapa?"
Ardani segera menoleh ke asal suara tersebut dan mendapati Alana besender di ambang pintu kamarnya. Senyumnya langsung merekah kemudian berlari mendekap gadis itu. Badannya yang mungil membuatnya seakan hilang dalam sekejap.
Dengan tenaganya yang terbatas, Alana mencoba melepaskan dirinya. "Sana ih, rambut kamu basah. Airnya netes semua."
Ardani sama sekali tak mengindahkan perintah Alana. Dia memang melepas dekapannya namun, tidak lama setelah itu, dia mengibaskan rambutnya di depan Alana. Membuat Alana menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan.
"Ardani, nyebelin. Basah semua akunya," lontarnya jengkel. Ardani semakin tertawa. Setelah merasa pusing, dia pun berhenti menggoda Alana.
"Mana nasi padang gue?" tanyanya setelah memutar tubuh Alana. Tangannya tidak terlihat membawa makanan yang dia pesan.
"Nasi gelap adanya," kesal Alana.
Ardani menatap jahil penuh goda. Dia menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah Alana. "Oh maunya yang gelap-gelapan?"
Alana memutar bola matanya. "Bisa aja ya ngejawabnya. Heran aku." Ada jeda di sela-sela kalimatnya. "Ada di bawah. Lagi di tata sama bude Mirna."
"Emang beli banyak?"
"Kan lauknya aku pisahin. Masa dicampur jadi satu?"
Ardani berdehem mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Ada otak?"
"Nggak ada. Percuma tiap beli nasi padang makan otak tapi otak kamu nggak pernah ada."
Bukannya marah. Ardani malah tertawa mendengar olokan itu. Dia mengangkat kepalan tangannya. "Semangat, Alana, lo pasti bisa lebih sadis lagi."
Niatnya, Alana ingin memukul bahu laki-laki itu. Namun yang akan dipukul sudah membaca gerakan Alana. Alhasil dia berlari lebih dulu membuat bibir Alana mengerucut. "Ih, kurang ajar."
Alana ini the real gadis kalem menurut Ardani. Tidak cuma outside saja tapi, inside juga. Kalau ngomong halus banget. Jarang sekali mengejek, apalagi mengumpat. Sekalinya mengumpat membuat Ardani tertawa. Paling notok mengejeknya juga ke Ardani kalau laki-laki itu lagi ngeselin banget. Sampai-sampai dulu Ardani mengira dia sering nyemilin bubuk detergen. Kayak nyemilin bubuk milo gitu, loh. Eh, nggak lucu ya?
Ya mungkin banyak di luar sana gadis seperti itu tapi, karena Ardani tidak mengenal mereka secara dekat jadi, setahu Ardani gadis paling kalem yang dia kenal ya, Alana.
Tapi jangan salah, rasanya cubitan dia ngalahin apa pun. Pernah Ardani dicubit sampai memar hingga tak mau lagi. Membiru sampai berhari-hari. Kapok sumpah. Kalau Alana sudah berancang-ancang mengeluarkan cubitannya, Ardani segera merayu dengan kekuatan super.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Get to Love You
Teen Fiction"Mimpi, lo." Sebenarnya, itu kata-kata lumrah yang biasa diucapkan oleh penduduk bumi ini. Tetapi ketika kata-kata itu terucap dari mulut Sheira, gadis yang selama ini Ardani harapkan, rasanya menusuk sampai ke tulang-tulang. P.S : Cerita ini mengan...