Bagian Dua.
"Gue ke atas ya, Gis. Gue udah nggak lapar."
Gista tidak bersuara. Dia menatap mata Sheira khawatir.
Seperti mengerti pikiran Gista yang mencemaskannya, Sheira berusaha menarik sudut bibirnya. "Gue nggak apa-apa. Gue ngantuk."
Setelah itu Sheira meninggalkan Gista di ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamarnya dengan sisa tenaga yang dia punya.
Gista tidak menahannya. Dia mengerti pasti Sheira butuh waktu untuk sendiri agar hatinya lebih tenang. Bahkan sejak perjalanan pulang tadi Sheira hanya diam tidak mengatakan kalimat apa pun. Pandangannya menerawang seperti tidak semangat hidup.
Meskipun Gista penasaran dengan bagaimana endingnya, tapi Gista memilih untuk diam dan tidak menyerbu Sheira dengan beragam pertanyaan. Pasti ada waktunya sendiri bagi Sheira untuk bercerita. Perasaannya masih sangat kacau sekarang. Gista tidak mau mengganggu.
Iya, Gista memang sempat menyusul Sheira, tapi dia tidak menguping pembicaraan keduanya. Sheira juga bukan anak kecil yang tidak tahu mana yang terbaik untuk dirinya.
Sementara Sheira sudah membenamkam kepalanya di atas tempat tidur. Air mata yang sejak tadi dia tahan mengalir begitu saja. Hatinya pilu. Teriris. Sakit sekali.
Gadis itu memukul dadanya kuat-kuat berharap rasa sakitnya hilang. Napasnya terdengar sesenggukan. Dia menangis tersedu-sedu.
Perasaan marah, kecewa, benci, sekaligus bingung kenapa dirinya bisa sebodoh ini, berkecamuk menjadi satu.
Tahu kan gimana rasanya? Nggak enak banget.
Bohong jika Sheira merasa tidak sakit hati.
Bohong jika Sheira baik-baik saja.
Bohong jika Sheira tidak kenapa-napa.
Itu semua Sheira lakukan agar tidak semenyedihkan itu di depan Reza.
Memang Reza pikir dia siapa bisa membuat Sheira menangis pilu di depannya? Dia tidak sehebat itu.
Kenangan-kenangan manisnya bersama Reza selama dua tahun lebih muncul secara bergantian dalam ingatannya. Semua janjinya, perhatiannya, tindakannya membuat Sheira buta. Dia tidak bisa melihat ada laki-laki brengsek di depan matanya. Membayangkan hal itu membuat amarah Sheira semakin bergejolak.
Sheira berusaha menegakkan badannya. Saat mendapati pantulan dirinya yang begitu hancur di depan cermin besar yang menempel pada tembok kamarnya, membuatnya jijik. Rambutnya berantakan, mata sembap, wajah memerah, ekspresi macam apa ini.
"Kenapa lo keluar terus sih?" Sheira berkata geram pada dirinya sendiri sambil mengusap air matanya yang terus mengalir dengan kasar.
Matanya beralih pada boneka beruang besar yang lebih tinggi darinya. Ditatapnya boneka itu penuh amarah lalu melemparnya dengan boneka wortel yang ukurannya sama sekali tidak sebanding.
Itu pemberian dari Reza dua bulan lalu saat Sheira ulang tahun ke 18. Dia melempar lagi secara berulang-ulang dengan benda lain, memukulnya, menendangnya, mengganggap boneka tersebut adalah jelmaan Reza.
"Gue benci banget sama lo. Sumpah."
"Lo bisa mati aja nggak, sih?" umpatnya dengan penuh amarah. Napasnya naik turun.
Perhatian Sheira berganti pada handphonenya yang sejak tadi berbunyi. Diraihnya benda itu dan mendapati 32 missed call, 26 pesan dari si brengsek itu. Sedetik kemudian nama itu menghiasi layarnya lagi membuat Sheira muak. Sheira mengangkat tangannya berniat membanting handphone itu namun Gista menahannya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Get to Love You
Fiksi Remaja"Mimpi, lo." Sebenarnya, itu kata-kata lumrah yang biasa diucapkan oleh penduduk bumi ini. Tetapi ketika kata-kata itu terucap dari mulut Sheira, gadis yang selama ini Ardani harapkan, rasanya menusuk sampai ke tulang-tulang. P.S : Cerita ini mengan...