Bagian Sepuluh.
Sudah hampir lima belas menit Ardani berdiri di depan papan tulis namun belum juga menuliskan apa pun. Otak Ardani benar-benar buntu jika berurusan dengan matematika. Ya, sebenarnya semua pelajaran sih, tetapi matematika nomor satu paling susah.
Kepalanya sudah berkali-kali menoleh ke belakang, lalu berbalik lagi, ke belakang lagi, berbalik lagi, berharap ada salah satu temannya yang berbaik hati untuk membantu. Sayangnya usahanya sia-sia. Memang temannya pada bloon semua.
Apalagi Bima, sejak tadi hanya cengengas-cengenges di tempat duduknya yang kemudian mendapat balasan tatapan tajam dari Ardani. Sama sekali tidak ada usaha agar teman satu bangkunya segera kembali ke singgasana. Nyari di bunda google, kek. Akting pisan, kek. Pokoknya usaha agar semua kesengsaraan ini berakhir.
Sebenarnya bisa saja Ardani tanya ke anak perempuan. Malangnya, di kelas ini yang paling jago matematika adalah Ellen. Mau sampai dia jenggotan juga Ellen tidak akan membantunya. Dari dulu perempuan itu masih sama, belum berubah.
Jangan salah sangka juga ya. Ardani bukannya takut hukuman. Hanya saja kakinya sudah pegal. Perutnya mual. Tangannya sakit. Kepalanya pusing. Bibir pecah-pecah. Panas dalam. Jika terus bertatapan dengan segitiga siku-siku sialan ini.
Spidol hitam yang tergenggam dijemarinya hanya ia ketuk-ketukkan pada papan tulis sampai bentuk ujung spidolnya tidak beraturan. Penyet.
"Gimana Ardani? Sudah?" tanya Pak Sela sambil membenarkan kacamatanya.
"Sudah, pak," jawabnya dengan santai. "Sudah capeknya."
Pak Sela menggelengkan kepalanya. "Jawab soal gini aja nggak bisa. Makanya kalau bapak jelasin jangan tidur terus!"
"Lho, saya kan nggak tidur, pak. Tadi saya sebenarnya mau kedip cuma mata saya nutupnya kelamaan jadi kayak tidur," balasnya membela diri diikuti sontak tawa dari teman sekelasnya.
"Ah sudah-sudah. Bapak capek ngomong sama kamu."
"Saya juga nggak mau bapak ajak ngomong kok."
"Kamu ini ya!"
"Ganteng."
"Ardani!"
"Lah, bapak nggak percaya? Anak bapak yang kelas sepuluh itu kemarin ngasih coklat ke saya loh, pak."
"Kamu ini!"
"Apa, Bapak Selamet?" jawabnya dengan intonasi dilembut-lembutkan.
Pak Sela geleng-geleng kepala sembari mengelus dadanya. Tidak sanggup berdebat lagi. Amit-amit jabang bayi jika punya anak seperti Ardani.
"Ini apa lagi maksudnya X dilingkari?" Beliau menunjuk satu-satunya coretan yang berhasil Ardani tulis dengan tongkatnya. Sebenarnya punya berapa tongkat pak Sela ini padahal kemarin sudah dipatahkan oleh kelas IPS sebelah.
"Ya, bapak baca aja soal matematikanya. Berapa nilai X? Ya jelas-jelas X nya di situ cuma satu. Ya sudah saya lingkari aja biar jelas. Beres."
Pengumuman. Ardani bukan bego, ya. Ingat. Hanya saja ini bukan passionnya. Kalau pelajaran olahraga juga bisa pintar kok.
"Lari keliling lapangan 3 kali!" perintah pak Sela tanpa banyak bicara. Kesabarannya sudah habis.
"Yah masa 3 kali sih, pak? Panas banget ini."
"5 kali."
"Yah, pak, ini namanya tidak berperikemanusiaan dan berperikeadilan."
"10 kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Get to Love You
Novela Juvenil"Mimpi, lo." Sebenarnya, itu kata-kata lumrah yang biasa diucapkan oleh penduduk bumi ini. Tetapi ketika kata-kata itu terucap dari mulut Sheira, gadis yang selama ini Ardani harapkan, rasanya menusuk sampai ke tulang-tulang. P.S : Cerita ini mengan...