Bagian Tujuh Belas.
Happy reading...
Saat memasuki pekarangan rumah, Ardani memarkirkan motornya di sebelah mobil. Mulutnya bersenandung pelan, tanpa ragu melangkah ke dalam rumah sembari melempar-lempar kunci motornya. Langkahnya terhenti saat melihat bundanya duduk bersantai menonton acara gosip sambil mengupas mangga. Niatnya ingin mencomot mangga yang sudah terkupas di atas piring. Namun, yang ditelan malah wajah garang Alya.
"Mundur!" perintah Alya.
"Bun, pelit banget masa minta dikit aja nggak boleh," keluh Ardani dengan wajah memelas.
"Mundur dulu!" Kali ini pisau di genggaman Alya ikut terangkat membuat Ardani bergidik ngeri. Di dalam hati, dia menggerutu. Drama apa lagi yang dibuat bundanya sampai memasukkan pisau dalam scene ini.
"Terus sampai depan pintu," suruh Alya dengan sorot mata tak lepas melihat anaknya yang berjalan mundur. Ardani menatap jengah tidak berani memprotes. Sesekali menoleh ke belakang, memastikan jika tidak menabrak sesuatu. Bisa gawat tujuh turunan urusannya kalau tiba-tiba menabrak meja lalu koleksi bundanya pecah.
"Udah, bun," teriak Ardani memberitahu Alya. Posisi ruang keluarganya tidak berseberangan lurus dengan pintu masuk. Jadi, Alya tidak bisa melihat langsung.
"Salam yang benar baru masuk!"
Ardani mendengus pelan. Tinggal bilang saja menyuruh salam apa susahnya. Semua perempuan meminta dimengerti dengan cara sulit dimengerti.
"Assalamualaikum," ucap Ardani dengan suara dilembut-lembutkan. Berjalan menemui Alya kembali lalu mencium tangan.
"Kayak gini 'kan enak didengarnya, Ar," omel Alya. "Bukannya salam malah nyanyi nggak jelas."
"Udah salam tadi, bun," elaknya setelah duduk di sebelah Alya sembari mencomot mangga. "Dalam hati makanya bunda nggak dengar," tambahnya cengegesan.
"Mending kamu langsung masuk kamar terus mandi. Daripada di sini kamu bikin bunda stres," anjur Alya.
Lagi-lagi Ardani menghembuskan napas panjang. Begini salah, begitu salah. Rasanya setiap perempuan yang dekat dengannya selalu kesal. Apa salah salah kalau niatnya hanya ingin bercanda?
Sebelum mendapat ocehan lagi, Ardani mengambil satu potong mangga kembali, kemudian meninggalkan Alya. Laki-laki itu berhenti di dapur dahulu untuk mencuci tangan sebab terasa lengket.
Ranselnya dia lempar ke sembarang tempat lalu badannya ambruk di atas tempat tidur. Tubuhnya sedikit memental akibat pantulan dari benda empuk tersebut. Kedua tangannya telentang dengan kepala menghadap ke langit-langit.
Dia menghela napas panjang, lalu perlahan memejamkan mata.
Tampaknya memang terlihat seperti tertidur. Namun, dia kembali teringat soal perempuan yang selalu kesal berada di sekitarnya dan otaknya langsung terhubung dengan Sheira. Pikirannya tak berhenti menjelajah dalam dunia khayal tentang gadis manis yang menjelma menjadi singa.
Selama perjalanan mengantar Sheira pulang, gadis itu tak henti-hentinya mengingatkan Ardani untuk menjelaskan pada Bima. Mendengarnya merengek, memohon, merupakan hal baru bagi Ardani. Biasanya gadis itu lebih banyak berteriak. Marah-marah tak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Get to Love You
Teen Fiction"Mimpi, lo." Sebenarnya, itu kata-kata lumrah yang biasa diucapkan oleh penduduk bumi ini. Tetapi ketika kata-kata itu terucap dari mulut Sheira, gadis yang selama ini Ardani harapkan, rasanya menusuk sampai ke tulang-tulang. P.S : Cerita ini mengan...