Bagian Empat Belas.
Happy reading...
"Sayang."
"Hah?" Ardani mengerjapkan mata berkali-kali. Ini conge di telinganya nggak lagi gede-gede 'kan ya. Sudah hatinya sedang tidak beres malah mendengar Sheira bicara seperti itu. Makin seperti bolak ruwet hatinya.
"Sayang," tekan Sheira.
Ardani tercengang. "Shei? Kesurupan?"
"Apasih nggak jelas. Ini sayang lo telepon tadi pas gue buat kirim pesan ke pak Manan."
"Oh gue kira apaan," komentar Ardani dengan tampang biasa saja sembari menerima uluran ponsel dari Sheira. Beruntung dia diberkati kemampuan akting setara dengan Reza Rahardian. Padahal didalam hati sedang merutuki dirinya sendiri kenapa mendadak bego banget begini. Hampir mikir yang iya-iya pangeran.
Sang surya telah selesai dari tugasnya kemudian digantikan oleh bulan dan ribuan bintang. Gemerlapnya cahaya langit berbanding terbalik dengan perasaan Sheira yang resah. Mana mungkin dia menaiki sepeda malam-malam begini sendirian. Pak Manan sudah coba dia hubungi tetapi tidak bisa. Dia juga sudah mengirim pesan berbayar hasil pinjam dari ponsel Ardani dan tak kunjung mendapat jawaban.
Sheira berdecak. "Ini semu gara-gara lo, Ar. Gue jadi kemalaman pulangnya."
Ardani membuka mulutnya lebar-lebar. "Kok gue?"
"Ya iyalah, siapa lagi?"
"Lo yang ngajak gue duduk-duduk santai di depan minimarket ini dan gue yang disalahin?" Ardani memasang tampang tidak terima. "Menjunjung tinggi prinsip cewek banget lo."
"Ya gue kira pak Manan mau jemput. Gue takut nunggu di bawah pohon, sendirian lagi. Makanya lo gue paksa ke sini."
"Terus letak salah gue di mana?"
"Harusnya lo datang agak cepetan dikit tadi. Kan gue nggak harus kemalaman pulangnya."
Ardani melongo. Ya beginilah perempuan. Ada saja celah yang digunakan untuk menyalahkan laki-laki. Seperti sudah kodratnya laki-laki harus salah. Sesuatu yang semestinya disebut pertolongan malah dibuat sebagai kesalahan. Memang dasarnya mak lampir ya tetap mak lampir.
"Dengar ya, gue lewat jalan sini aja nggak sengaja gara-gara gue mau ke rumah teman gue. Tapi malah ketemu lo. Sial banget."
"Terus ini gue gimana pulangnya?" rengek Shira.
Ardani membuang wajah lalu tertawa mengejek. "Malas amat mikir."
"Ish," kesal Sheira diikuti suara kaki yang dihentakkan.
Bersamaan dengan itu, ponsel Ardani berdering. Dengan sigap Sheira segera mengambil ponsel tersebut karena pikirnya pak Manan yang sedang menelpon. Wajahnya menunjukkan semburat kecewa saat harapannya musnah. Si sayangnya Ardani lagi. Dia kembali melempar ponsel Ardani sembarangan. Belum sempat Ardani mengangkatnya, telepon itu berhenti dan berganti pesan masuk.
Sheira cemberut melihat laki-laki di depannya jadi sibuk berbalas pesan dengan si sayangnya itu. Klarifikasi sekalian, ini bukan cemburu. Hanya kesal saja di depannya ada gadis yang sedang bingung. Namun Ardani malah mesam-mesem tak jelas. Sama selingkuhannya lagi.
"Emang dasar playboy! Udah ah gue pulang aja." Sheira beranjak dari duduknya. Namun suara Ardani membuat gerakannya berhenti.
"Mau ke mana?"
"Pulanglah. Ngapain juga gue lama-lama di sini."
"Sendiri?"
"Ya nggak mungkin juga 'kan kalau lo mau susah-susah ngantarin gue," gumam Sheira.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Get to Love You
Teen Fiction"Mimpi, lo." Sebenarnya, itu kata-kata lumrah yang biasa diucapkan oleh penduduk bumi ini. Tetapi ketika kata-kata itu terucap dari mulut Sheira, gadis yang selama ini Ardani harapkan, rasanya menusuk sampai ke tulang-tulang. P.S : Cerita ini mengan...