Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi

Bab 7

101K 7K 154
                                    

Dengan perlahan aku berjalan menuju rumah mertuaku yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah tempat tinggalku. Kuketuk pintu itu dengan sedikit tidak sabar sambil memanggil-manggil ibu, tidak berapa lama seseorang keluar membukakan pintu untukku.

"Ada apa, Neng?" tanya bi Ijah pembantu rumah tangga di rumah ibu.

"Ibu ada?" tanyaku sambil menahan sakit.

"Ibu sama Bapak pergi ke undangan, Neng."

"Bibi bisa saya minta tolong?" tanyaku.

"Mau minta tolong apa, Neng?"

"Bisa antar saya ke rumah sakit?"

"Aduh maaf, Neng. Bukannya bibi gak mau, tapi tadi Ibu pesen supaya Bibi gak ninggalin rumah soalnya ada tamu ibu yang mau dateng."

"Ya sudah, kalau gitu tidak apa-apa, Bi. Saya permisi," ucapku memaksakan senyum. Meskipun aku sangat membutuhkan bantuan seseorang, aku tidak mungkin memaksa orang yang tidak ingin membantuku.

Dengan perlahan aku berjalan kembali ke rumah, aku keluarkan tas yang sudah aku siapkan jauh-jauh hari yang berisi semua perlengkapan melahirkanku. Dengan air mata yang mulai membasahi pipiku dan rasa sakit yang terus menjalar di perutku, tak henti-hentinya aku melantunkan tasbih menyebut asma Allah. Aku terus bertasbih berharap Allah membantuku dan memberikan kekuatan untuk melewati semua ini.

Selepas magrib aku paksakan diriku untuk berjalan menuju rumah sakit, aku sudah menghubungi Allan puluhan kali, tapi Allan tak juga mengangkatnya. Aku berjalan tertatih-tatih sambil tersenyum miris, bahkan di saat-saat seperti ini pun Allan tidak merasakan firasat apa pun tentang keadaanku.

Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, ditemani ringisan kesakitan aku berjalan melewati kompleks menuju jalan utama untuk menaiki angkutan umum yang akan membawaku ke rumah sakit. Butuh waktu 10 menit untuk sampai ke jalan utama dengan cara berjalanku sekarang padahal biasanya hanya dibutuhkan waktu lima menit saja. Sampai di jalan utama, aku celingukan karena aku bingung angkot nomor berapa yang harus aku naiki agar sampai ke rumah sakit.

Selama ini aku tidak pernah pergi sendirian, ketika Allan belum berpaling ke wanita lain, dialah yang selalu mengantarkan aku ke mana pun aku pergi. Setelah Allan tidak ada ada, Angga dan ibu tidak pernah membiarkan aku pergi ke mana pun sendirian, tapi sekarang tidak ada siapa pun yang bisa membantuku. Bermodalkan nekat aku mencegat angkot yang lalu lalang di hadapanku, berharap salah satunya bisa mengantarkan aku hingga rumah sakit.

Entah berapa lama aku berdiri di pinggir jalan berharap ada sopir angkot baik hati yang mau menolong wanita hamil sepertiku. Sejak tadi angkot yang lewat selalu penuh dan anak-anak remaja yang bersebelah denganku sambil menunggu angkot pun bersikap tidak peduli padaku padahal aku sudah meringis sejak tadi.

Rasa sakit di perutku semakin lama semakin menjadi hingga aku tidak sanggup lagi berdiri. Aku terduduk di pinggir jalan dan meringis kesakitan, tapi anak-anak remaja itu meninggalkan aku begitu saja. Aku menjerit dalam hati meminta pertolongan dari sang maha kuasa, agar mengirimkan seseorang untuk menolongku. Tak hentinya aku bertasbih menyebut asmanya, di sela-sela kesakitan yang terus menyerangku.

"Ibu ... Ibu tidak apa-apa?" sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggilku.

"Tolong saya ... saya mau melahirkan," ucapku terbata.

Aku tidak tahu siapa orang yang berdiri di hadapanku sekarang ini, aku hanya berharap dia orang baik yang mau menolongku. Harapanku terkabul orang itu, mau menolongku, sepertinya dia seorang pria karena dia bisa mengangkat tubuhku ke gendongannya dengan mudah. Pria itu menggendongku dan memasukkanku ke dalam mobilnya.

"Saya akan menolong Ibu, saya akan membawa Ibu ke rumah sakit tempat saya bekerja. Jadi Ibu tenang, ya. Jangan khawatir," ucap pria asing yang menolongku.

Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya, aku tidak terlalu menyimak apa yang dia ucapkan karena rasa sakit yang semakin menjalar dari perutku.

"Ibu ... Ibu harus tetap sadar kalau Ibu mau melahirkan bayi Ibu secara normal dengan selamat."

"Ibu ... apa Ibu memiliki keluarga? Beritahu nomor mereka agar saya bisa menghubungi mereka."

Pria itu terus bicara dan bertanya padaku meskipun aku sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Karena rasa sakit yang semakin menjadi ini membuatku hanya bisa meringis tanpa bisa bicara apa pun. Aku bersyukur pria itu menolongku dan sekarang berkat ocehannya aku juga masih terus menjaga kesadaranku agar aku bisa melahirkan bayiku secara normal dengan selamat.

Mobil berhenti di parkiran rumah sakit, pria asing itu terlebih dahulu keluar. Lalu membukakan pintu untukku. Pria itu mengangkat tubuhku dari mobil dan memindahkannya ke brankar rumah sakit.

"Siapkan ruang bersalin, Ibu ini mau melahirkan," perintah pria asing itu.

"Di mana walinya, dok?" tanya wanita berpakaian perawat.

"Saya yang akan jadi walinya, panggilkan dokter Linda, katakan kerabat dokter Adam akan melahirkan."

Tanpa menunggu lama perawat itu mendorongku menuju ruang bersalin diikuti oleh pria asing yang mengakuiku sebagai kerabat dokter Adam. Aku tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingku karena rasa sakit di perutku membuatku tidak memikirkan apa pun selain keselamatan bayiku. Seorang dokter wanita yang ternyata biasa memeriksaku saat akan check up kandungan datang dan memeriksa keadaanku.

"Baru pembukaan lima masih butuh waktu menuju kelahiran, dokter Adam bisa tolong jaga Ibu Kaira? Saya ada urusan penting dengan keluarga saya, nanti jika sudah pembukaan sembilan dokter bisa hubungi saya," ucap dokter Linda.

Dokter Adam mengangguk menyanggupi ucapan dokter Linda. Setelah dokter Linda pergi dokter Adam memilih untuk duduk di sofa tidak jauh dari tempatku berbaring. Baru pembukaan lima, tapi sakitnya sudah luar biasa, tanpa terasa air mataku menetes, entahlah aku menangis karena rasa sakit akan melahirkan atau menangis karena rasa sakit di hatiku. Aku juga wanita biasa, aku ingin seperti wanita lainnya yang ditemani suaminya saat proses melahirkan, memiliki seseorang yang menggenggam tanganku ketika rasa sakit menyerang perutku. Namun, sekarang aku sendirian di sini, hanya ditemani seseorang yang bahkan baru beberapa menit lalu aku tahu namanya. Aku juga merasa tidak enak pada dokter Adam itu, sepertinya dia sangat kelelahan karena habis bekerja dan sekarang dia harus menungguku melahirkan.

"Jangan menangis, Ibu harus menyiapkan tenaga ekstra saat melahirkan nanti, jangan sia-siakan kekuatan Anda dengan menangis, Bu," ucap dokter Adam lembut.

Aku menghapus air mataku, Adam benar aku tidak boleh menangisi nasib burukku terus menerus. Apa yang sudah terjadi tidak akan berubah, meskipun aku menangis darah, Allan tidak akan datang dan menemaniku melahirkan buah hatiku. Aku hanya bisa terus bertasbih pada sang pencipta ketika rasa sakit yang semakin sering menyerang. Adam pasti sangat kelelahan, dia sampai tertidur di posisi duduk di sofa.

Waktu menunjukan tengah malam, rasa sakit semakin menyerang tubuhku, aku hanya bisa meringis menahan sakit. Berharap ringisanku bisa membangunkan Adam yang sepertinya tidur sangat lelap di sofa. Karena Adam tak kunjung bangun mendengar ringisanku, akhirnya aku mencoba memanggilnya berharap bisa membangunkannya. Usaha itu berhasil, Adam langsung mengerjapkan matanya saat aku berteriak padanya.

"Maafkan saya. Saya ketiduran tadi," ucap Adam sambil berjalan menuju arahku.Adam memeriksa keadaanku, aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi rasa mulas ini semakin menjadi dan aku ingin segera mengeluarkannya. Adam melotot melihat keadaanku, wajahnya terlihat pias dan dia langsung berlari keluar mencari perawat.

"Kita tidak bisa menunggu dokter Linda, kepala bayinya sudah terlihat, kita harus segera membantu persalinan Ibu Kaira," ucap Adam pada perawat itu.

Dibantu dua orang perawat Adam menyiapkan alat-alat untuk membantu proses persalinanku. Rasa sakit di perutku semakin menjadi, aku berusaha untuk tetap sadar dan mengikuti instruksi dari Adam. Rasa sakit ini semakin menjadi, aku tidak lagi sanggup menahannya, aku menyerah dan menutup mataku.

"Ayo, Bu ... berjuang sekali lagi ... jangan menyerah ...." Samar-samar aku mendengar seseorang bicara padaku.

Sebuah tangan menggenggam tanganku erat.

"Ibu wanita yang kuat, bertahanlah, berusaha sedikit lagi, Ibu akan segera bertemu dengan bayi kecil Ibu sebentar lagi," ucap seseorang tepat di telingaku.

Pukul 01:30 dini hari, akhirnya putriku terlahir ke dunia. Aku menangis haru melihat malaikat kecilku. Mendengar tangisnya untuk pertama kali. Setelah bayiku dibersihkan, perawat menyerahkan bayi itu untuk diberikan ASI. Aku tidak tahu apa-apa mengenai mengurus bayi, ketika perawat menyerahkan bayi itu padaku, mendadak tubuhku menegang. Aku takut untuk menyentuh bayiku sendiri, aku takut aku akan menyakitinya.

Bayiku menangis dalam dekapanku yang kaku, aku ikut menangis melihat bayiku menangis karena aku tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkannya. Adam sepertinya mengerti keadaanku, dia mengambil bayi itu dari dekapanku dan membawanya ke pangkuan tangannya.

"Boleh saya mengadzani dia dulu?" tanya Adam sambil menggendong nyaman bayiku.
Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya dan mengucapkan terima kasih padanya. Seharusnya orang yang mengadzani bayiku adalah ayah kandungnya sendiri bukan orang asing.

Namun, lihatlah bahkan pria itu tidak ada di sini saat darah dagingnya lahir ke dunia.Selesai mengadzani bayiku, Adam menidurkan bayiku di sampingku dan tubuhku kembali menegang karenanya.

"It's okay, jangan khawatir. Sentuh dia perlahan, itu tidak akan menyakitinya," ucap Adam membimbing tanganku untuk menyentuh bayiku.

"Rileks saja, Anda ibunya, tidak akan ada Ibu yang menyakiti anaknya, yakinkan diri Ibu kalau Ibu tidak mungkin menyakiti bayi Ibu dan perlahan gendong dia," ucap Adam sambil terus membimbingku menyentuh dan mengusap-usap bayiku.

Adam terus memberikan sugesti positif agar aku bisa menyentuh bayiku tanpa rasa takut. Ada perasaan luar biasa ketika kulitku bersentuhan dengan kulit bayiku. Adam perlahan membantuku menidurkan bayiku di atas dadaku agar bayiku bisa mendapatkan ASI pertamanya. Meskipun agak kaku aku berusaha memberikan yang terbaik untuk bayiku.

Pemberian ASI pertama sedikit menyakitkan, tapi meskipun begitu aku berusaha untuk rileks agar bayiku juga nyaman. Adam bilang pemberian ASI pada bayi itu sangat penting, hubungan batin antara anak dan ibu juga semakin dekat dengan pemberian ASI.

Adam terus menemaniku, memberikan banyak ilmu tentang mengurus bayi padaku. Memberikan keyakinan jika aku bisa menjadi ibu yang baik untuk putri kecilku. Adam memberi aku kekuatan agar aku tidak takut menyentuh dan menggendong bayiku. Aku tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih padanya. Dalam hati aku menangis, di saat seperti ini orang lain ditemani oleh suami dan keluarga mereka, sedangkan aku hanya ditemani orang asing yang kebetulan bersimpati dan kasihan padaku.

"Apa Ibu masih memiliki keluarga? Kalau ada saya bisa membantu untuk mengabari keluarga ibu."

Aku hanya diam tidak menanggapi ucapan Adam.

Keluarga? Haruskah aku menghubungi mereka? masih layakkah aku menyebut mereka sebagai keluarga?

Aku yang tak dirindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang