Karnamu

443 11 0
                                    

Tertatih untuk kembali ke tempat awal permainan ini. Sudah terlalu jauh pula,terlanjur dalam. Bagaimana mungkin melewati liku yang kedua kalinya? Jalanan di belakang teramat terjal. Tapi, lorong ini pun tak kunjung usai. Lorong cinta tanpa balas yang telah dirasakan pahitnya oleh banyak orang. Kasih tak sampai? Kurasa demikian. Logika membuatnya terselesaikan oleh pemahaman matematika yang logis, antara untung dan rugi. Lalu, ada apa gerangan terhadap hati? Bukankah dia salah satu yang paling sulit diatur? Berperilaku seenaknya sendiri menjadikan kaum adam dan hawa terjerembab pada nanarnya mencinta?

"Apa kabar?" ucap seseorang dari ujung panggilan.

Aku tertunduk, sudah berapa lama orang itu menghilang? Lalu sekarang datang tanpa memberi kepastian untuk tetap tinggal?

"Shona, Apa kamu di sana?" timpalnya.

"Hi, Pak," jawabku kikuk.

Dia tertawa di balik telepon, gelak itu masih terdengar selama beberapa detik, "Apa kamu tidak merindukanku?"

"Tentu. Namun, aku rasa juga tidak. Bukankah duniamu lebih menyenangkan daripada hubungan kita? Orang penting sepertimu tidaklah baik membuang waktu untuk berbicara dengan anak sekolah menengah atas yang lebih tepatnya anak ingusan, bukan?" sahutku tanpa pikir panjang.

Hening di sana.

Aku mendengar dirinya menghela napas panjang, mencoba merangkai kata untuk bicara.

"Kamu telah salah paham rupanya. Jika tak memberimu kabar, bukan berarti aku melupakan kisah kita, Shona. Kamu tau? Aku teramat merindukan dirimu, suaramu, senyummu, semuanya. Apalah daya, aku harus tetap bertahan pada kenyataan kalau meraih impian harus mengorbankan salah satu hal terpenting di hidupku," katanya dengan tenang.

"Benar, Pak Malik. Setelah kamu korbankan aku, bukankah segalanya sudah pada akhir cerita? Sebaiknya, kamu kembali pada rutinitasmu saja, Pak Pengacara Terhormat," sinisku penuh aksentuasi

"Kemarahanmu adalah tanda cinta untukku. Aku tau semuanya terasa sulit. Maafkan diriku yang sudah membawamu sejauh ini. Tapi, kumohon padamu, tetaplah tinggal," ucap laki-laki itu mulai gugup.

"Setahun kamu menghilang tanpa memberikan alasan apapun. Kamu meninggalkanku ketika rasa ini benar-benar dalam untukmu. Lalu, kamu masih berani meminta semua itu? Aku bukan wanita super yang memiliki hati sekuat baja. Aku sudah hancur-mati rasa. Sekali lagi, janganlah datang pada kehidupanku lagi. Aku hanya ingin hidup tanpa mengingat luka yang sudah kamu berikan. Terima kasih," jelasku.

Bergegas kuakhiri panggilan, melempar ponselku dan mendapatinya jatuh ke lantai dengan beberapa bagian terpisah. Walaupun begitu, rasa sakit yang ada dalam hatiku sudah terlalu mengerak. Aku sangat membenci laki-laki itu. Jikalau aku salah, tak apalah. Bahkan dia tak pernah menganggapku ada.
***
Kembali pada aktivitas yang kujalani. Pergi menuntut ilmu dari pagi hingga petang menjelang. Semua terasa kosong, aku tak punya hati lagi untuk merasa cinta kasih. Terlebih, setelah mendengar pertunangan Malik dengan wanita yang telah dipilih keluarganya. Apakah jatuh cinta sesakit ini? Luka yang lalu belum kering dan tergores lagi. Sudahlah, ini ending yang mengesankan, kan?

Oh ya, terakhir kali laki-laki itu meneleponku beberapa bulan lalu. Dia datang tanpa sebab musabab. Hilang lagi tanpa peduli. Ya, lagipula aku pun sudah penat. Menunggu? Itu sudah kulakukan untuk bersama dirinya. Namun, yang kudapat dulu hanya cacian serta keegoisan saja.

Awan kelabu datang menutupi langit senja. Tertinggal beberapa orang saja di gedung sebesar ini. Tentu karena jam pulang telah berderit dua jam lalu. Di sini, aku masih malas beranjak pulang. Hingga akhirnya rintik air hujan mulai membasahi bumi.
Keheningan hujan, aroma hujan, juga keteduhan hujan. Hanya itu saja yang kutahu. Sepi? Memang. Aku sangat menyukainya. Setidaknya, hujan menenangkan pertempuran logika serta rasaku yang terlanjur karut marut.

L D R(Lupa dengan Rindu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang