Don't Be A Fool(Part IV)

173 6 0
                                    

Jangan tanyakan perihal rasa padaku
Hatiku sudah beku juga mati rasa

-Bersya Neils-

***
Paraty, Brazil, Oct 23th 2014

"Bu?" ucapku lemah.

Wanita itu masih terdiam.

"Ibu?" ucapku lagi.

Kembali hanya keheningan yang menjawabku.

"Nyonya Reya Neils?" kataku jengah.

Dia menoleh pelan dengan tatapan kosong.

Aku menarik napas sepanjang yang kubisa, "Selama ini aku tidak pernah mengerti dirimu, Bu. Apa alasanmu selalu bersedih, Tidak bisakah Ibu menceritakan sedikit saja bebanmu padaku? Bukankah aku sudah remaja? Aku gadis 16 tahun yang bisa menjadi tempat ibu berbagi keluh kesah. Percayalah padaku,Bu."

Ibuku bangkit, menepuk bahuku perlahan, "Tidurlah."

Aku hanyalah patung, benda mati yang tak bernyawa baginya. Kehadiranku justru membuatnya terganggu, kan? Ya, aku tahu benar itu. Aku tidak berlebihan. Nyatanya, fakta memang lebih menyedihkan, Kawan! Sampai detik ini pikirannya kosong. Ibu hanya mencintai pekerjaannya saja. Sepatu heelsnya menggema saat hari mulai gelap. Menandakan kedatangannya setelah seharian bekerja. Dia? Ibuku itu, seorang model terkenal sebuah brand make up. Dan di sini, aku hanya bisa menjadi apa yang dia inginkan. Serasa hidup ini hanyalah tentang kelip lampu kamera yang terpancar. Aku mengikuti jejaknya, berhadapan dengan hiruk pikuk tubuh ideal dengan senyum yang harus merekah tiap harinya. Tak hanya itu, hidup semakin melelahkan menatap wajah tanpa harap ibuku. Dia? Entahlah, aku penat dengan semuanya.

***

"Nona Bersya, besok anda harus segera terbang ke Brasilia. Ada sesi pengambilan gambar untuk perusahaan yang mengontrak anda sebagai bintang iklan produk mereka minggu depan," katanya gamblang.

Aku mengedikkan bahu, "Minggu depan, kan? Kenapa harus terburu-buru?"

Mereka meminta Nona untuk stay sebelum hari H," ucap Titan dengan ekspresi datarnya.

"Nyonya sudah tahu?" tanyaku memastikan.

Dia menggeleng, "Nyonya Neils akan kembali lusa. Tetapi saya sudah mengirimkan e-mail pemberitahuan padanya."

"Ah, sekalipun Nyonya membacanya, aku yakin dia takkan berkata apa-apa. Bukankah dia tak pernah menghawatirkanku?" dengusku kesal.

"Itu tidak benar, Nona. Nyonya pasti sangat cemas karena Anda akan pergi cukup jauh," jawab Titan melirikku sesekali.

"Sudahlah. Ucapanmu saja tidak akan menjadi penenangku. Ok, vá!" timpalku makin kesal.

Aku sendirian, kesepian, tanpa teman. Duduk menatap ke luar jendela berharap seseorang dapat mengerti kegundahan yang kualami. Aku tak menginginkan apapun selain tatapan serta perlakuan hangat seorang ibu. Tidak Bersya, itu mustahil! Tapi, setidaknya aku dapat bercerita kesedihanku pada ayah yang telah menjadi bintang di angkasa. Dia bersama Tuhan di tempat yang lebih baik. Aku rindu ayah. Walaupun tak pernah melihat bagaimana parasnya sehingga ibu bisa jatuh hati. Ayah orang yang sangat baik. Ya, aku hanya mendengar itu dari ibu sekali ketika umurku menginjak 11 tahun. Ibu selalu dingin dan acuh. Apakah kematian ayah penyebab kegelisahan ibu? Aku pun tak tahu. Dan ya, aku pernah berpikir demikian. Mungkin, cinta ibu teramat dalam untuk ayahku. Tapi, sekiranya ibu tak melampiaskan kesedihannya padaku. Aku tau, Bu. Ibu sedih, aku pun sama.

***

Hari ini keberangkatanku menuju Brasilia. Aku harap ibu akan datang memelukku dengan kasihnya. Namun, lagi-lagi aku harus menggugurkan bayangan itu. Tidak ada yang bisa kuharapkan dari Nyonya Neils.

Ponselku berdering.
Memecahkan lamunanku sesaat.

"Hallo?" jawabku lemah.

"Ini Ibu. Jaga dirimu baik-baik di sana," timpalnya pasti.

Hatiku berdebar, napasku terengah, tak sengaja menyunggingkan sebuah senyuman.

"Iya, Bu. Aku... "

Tut-tut-tut. Panggilan terputus.

Yah, memang cuma sekedarnya. Kini aku tahu benar bahwa Ibu cemas terhadapku. Setidaknya, aku bahagia walau sebentar saja.

***

* Ok, vá: oke, pergilah


L D R(Lupa dengan Rindu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang