Malaikat Kedua

728 19 0
                                    

Aku masih termenung di tempat yang sama. Sebuah pantai menawan yang berdekatan dengan rumah orang tuaku. Setiap senja datang, aku selalu menemaninya. Menatap indahnya langit, menikmati sepoi angin yang menghempaskan bebas semua kegundahan. Warna merah saga selalu membius jiwaku. Menceritakan segala hal, memukau yang tak pernah kutemui. Ombak melantuntan lagu begitu apik. Damai sekali.

Ayah?Sungguh kurindukan. Langit menggelap. Menutupi seluruh keindahan senja. Hitam pekat yang terlihat. Aku tak ingin beranjak. Bayangan itu muncul lagi. Tahun yang begitu menyeramkan. Saat aku kehilangan sosok laki-laki itu. Malaikat penjaga yang senantiasa bersamaku. Mengapa semua kembali? Ingatan dua tahun lalu. Saat penantian terasa begitu sia-sia. Menunggu di jendela kamar. Menelisik setiap gerak-gerik dari pohon kelapa yang berdiri gagahnya. Ayah pulang, aku terisak. Bukankah menyenangkan menyambut orang yang kau rindu datang? Memang, aku pun demikian. Tapi, ayah hanya terdiam, menutup kedua matanya. Tangan hangat itu mendingin, tubuhnya terbujur kaku. Aku sadari sekarang, Tuhan mengambil milikku yang paling berharga.

Kubuka mata perlahan. Berdiri tegap menatap apapun yang ada dalam pandanganku. Semua semu. Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya begitu kuat. Pantai? Tempatku menuangkan semuanya. Berbagi cerita dengan ayah. Tersenyum, bercanda tawa, menangis dengan sangat kalut di sini. Benar, badai itu merenggut ayahku. Ombak ini menghempasnya begitu kuat. Sedang, langit hanya terdiam dan ikut bergabung dengan kawannya. Demikianlah, hidup itu nyata. Aku tak bisa membenci hanya untuk kesedihan ini.

"Tuhan, aku sangat mencintaimu!" teriakku keras-keras.

Rintik gerimis berjatuhan, kilat menyapu kegelapan malam. Aku bergegas. Mengayuh sepeda dengan beberapa bungkus ikan asin di keranjang. Ibu pasti telah menungguku dirumah. Abdullah, adik kecilku itu mungkin bersama ibu saat ini. Duduk di teras seperti biasa sembari menyulam syall.

Aku terhenti di depan halte bus. Menyadari bahwa seseorang berdiri di sana. Sesekali ia menatap arloji dengan raut kelelahan. Aku pikir, usianya tak jauh beda denganku. Berkisar empat sampai lima tahun di atas umurku. Pemuda itu mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan rambut setengah basah karena hujan. Perlahan aku menghampirinya, dan ya dia menyadari kehadiranku.

"Selamat malam,Tuan. Apakah anda tengah menunggu bus?" tanyaku mencari tahu.

Dia mengangguk, tersenyum ramah, "Benar,Nona. Tidak adakah yang lewat? Aku harus ke pelabuhan secepat mungkin,"

"Semua transportasi akan berhenti beroprasi setelah jam 5 sore,Tuan," sahutku menjelaskan.

Laki-laki itu terlihat sangat kecewa, duduk di bangku panjang dengan menghela napas dalam-dalam. Siapa orang ini? batinku dalam hati. Tak sengaja aku menatapnya tadi, matanya berwarna abu-abu kehitaman. Tatapannya menenangkan seperti langit di pagi hari. Bangunlah Farida! Apa kau ingin memujinya terus semalaman?

"O-ya,Nona. Siapa namamu?" serunya memecah keheningan.

"A-aku Farida Haq,"

"Muhammad Farrukh. Kamu boleh memanggilku Rukhi," ucapnya dengan senyum kecil, "Jangan panggil aku tuan. Lagipula, usia kita tak terpaut jauh sepertinya," sambungnya kembali.

"Genap 17 tahun ini," timpalku.

"Binggo. Genap 22 tahun ini. Jadi, anggaplah aku seperti kakakmu," katanya.

Kami saling bertatap, menerawang isi pikiran satu sama lain. Suara petir bergemuruh selaras dengan murka sang langit. Hujan kian lebat. Badai akan benar-benar terjadi. Badai? Ayah? Dia menewaskan ayahku. Beberapa tahun silam, saat ombak memecah lautan. Ayah berada di sana. Orang-orang masih bersamanya. Kapal itu terombang-ambing. Pada akhirnya, semua selesai. Ayah binasa. Aku merasakan sesuatu mulai membasahi pipiku. Air mata? Benarkah? Sejak dua tahun lalu aku berjanji pada ayah. Senyumanku takkan pernah terganti dengan tangisan lagi.

L D R(Lupa dengan Rindu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang