Don't Be A Fool(Part IX)

153 6 0
                                    

Pov ketiga

Nasi sudah menjadi bubur. Begitukah pepatah yang sangat sesuai untuk menggambarkan kekacauan ini. Cinta berubah menjadi tombak tajam yang telah menikam para pemiliknya. Binasa. Tidak. Lebih tepatnya membinasakan. Apakah mereka menginginkan akhir seperti sekarang? Jawabannya tentu tidak. Ya, mau bagaimana lagi jika semesta sudah memulai sandiwaranya lagi. Apalah daya jika takdir sudah membolak-balikan hati.

Jack bernapas dengan kekosongan. Genap sepekan dia tak mau bicara. Bersya? Gadis itu bahkan mengurung diri di kamar. Sedang Reya masih menata kepingan hatinya yang berserakan. Semua terjadi begitu saja. Dalam kedipan mata perubahan mencengankan sekali. Tidak ada lagi kata hati. Akal pun perlahan mati. Mereka sudah terjerat buaian cinta. Racun itu yang paling mematikan. Memang tak membunuh seseorang dalam hitungan detik. Parahnya, perlahan namun pasti. Tidakkah lebih mengerikan?

Untuk pertama kalinya Bersya mau angkat bicara, menangis hebat dalam dekapan Titan, kakak satu-satunya karena dalam hatinya Jack masihlah cinta pertamanya. Entah mengapa, gadis berusia dua puluh tahunan itu nampak lebih hangat hari ini. Pelan, dia membelai rambut adiknya. Berkata jikalau semua akan baik-baik saja.

Titan masih di sana. Mendengarkan segala yang sudah diketahuinya. Bersya pun masih sama. Berderai air mata tak kunjung reda. Di bawah langit biru yang menjadi saksi bisu, Bersya mengutuk cinta.

"Lalu, apa dengan bersikap seperti ini semua akan berubah seperti keinginanmu?" sahut Titan.

Bersya naik pitam, "Apa maksudmu!"

Kakanya membalas, "Bersya, cobalah mengerti. Bersikaplah lebih dewasa. Sampai kapan kamu ingin membenci mereka?"

Adiknya menautkan alis, matanya membola pelan, "Ibu  mencampakanku, Ayah membuangku, dan untuk Jack, aku bahkan tak bisa merindu layaknya kekasih. Dia kakakku juga, kan?"

"Aku tahu sulit memang menyadari realita yang ada. Tapi, apakah kamu ingin membohongi dirimu sendiri dengan bersikap seolah-olah tak peduli?" tutur Titan setelah helaan napas panjang.

"Rasanya begitu sesak hingga aku tak bisa bernapas bebas. Sungguh menyakitkan, Titan," Bersya kembali terisak.

Lawan bicaranya terdiam sejenak. Bersya menatap Titan lekat-lekat. Sebuah keajaiban muncul. Wajah dingin kakaknya tersenyum tipis. Ini yang pertama setelah Bersya tumbuh menjadi gadis remaja.

Senyum itu kian mengembang, "Kamu tahu mengapa aku tersenyum?"

Bersya menggeleng.

"Karena ada kalanya tersenyum akan membasuh sedikit luka yang masih menganga. Biarkan saja semua berlalu seiring berjalannya waktu. Hanya saja, setidaknya maafkan Jack. Ini juga tidak adil baginya, kan? Dia pun tidak tahu dengan semua ini. Dia sama rapuhnya seperti dirimu. Bahkan, sama hancurnya. Jadi, maafkanlah kakakmu itu. Tidak sepatutnya kita memperkeruh keadaan kan, Bersya?" jelas Titan penuh kepastian.

Bersya mengerti. Sangat mengerti. Dia menyeka air matanya, kembali memeluk Titan erat.

***

"Mau ke mana?" cegah wanita itu dengan raut muka lelah.

"Pergi. Aku akan tetap mengejar cinta pertamaku!" sahut laki-laki itu tak mau kalah.

"Dia adikmu!" pekik lawan bicara sang laki-laki.

"Peduli apa, Bu? Harusnya kalian memberitahuku sejak aku mulai menyukai dirinya beberapa tahun lalu," balas Jack kesal.

"Kami pun tak tau, Nak," kata ibunya.

"Tidak tau? Tentu, tentu karena kalian tidak mencari tau keberadaannya. Aku memang sangat kesal dengan wanita itu. Dia sudah membuat ibuku menangis. Tapi, aku pun tak bisa terima jika Ayah mencampakan anaknya seperti itu! Dia bagai memutuskan hubungan sepihak dengan Bersya. Apa salah gadis itu, Bu? Jika ayah saja bisa tak memedulikan hubungan mereka, untuk apa aku peduli hubungan kami yang sesungguhnya? Ibu harus memakluminya juga, kan? Bersikaplah adil padaku juga," Jack mulai berjalan menjauh.

"Kami tidak tau jika dia mengandung, Nak. Sungguh. Dia pun tak pernah mengatakkan apapun ataupun menuntut hak atas anaknya," wanita itu menjelaskan lagi.

Jack menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan, "Ya, Bu. Alasan dari itu adalah rasa sakit yang membekas di hatinya. Seharusnya Ayah pun bisa bersikap sewajarnya. Apakah ibu tau betapa menderitanya gadisku itu? Dia bahkan tak pernah merasakan kehangatan kasih sayang ibunya sendiri. Ibu tau mengapa? Karena ibunya sudah mati rasa. Bersya dan aku lagi-lagi menjadi korban atas kejadian ini. Jadi, biarlah kami yang memutuskan," Jack berlari kencang. Suara sepatunya bersahutan hingga ke pintu utama.
***

"Pikirannya sedang kacau sepertimu. Lebih baik, kalian bertemu lain waktu," Titan meninggalkannya di balik pintu.

"Tidak ada waktu. Cukup sudah semua karut-marut yang terjadi. Biarkan aku melakukan apa yang semestinya aku lakukan sebagai laki-laki. Aku akan menghentikan lara hatinya. Aku yang bertanggung jawab penuh atas setiap air mata yang membasahi pipinya," dengus Jack.

Titan tetap berjalan memunggungi laki-laki itu. Dia menghela napas. Mencoba memahami situasi yang rumit ini, "Kamu dan dirinya tak bisa memiliki hubungan seperti itu lagi. Dia adikmu."

"Persetan dengan hubungan itu. Lagi pula, Ayah tak mengakui dirinya. Lalu, apakah aku harus peduli?"

-Plak-

Tamparan menghantam pipi laki-laki itu. Bekasnya sangat ketara. Jack tersenyum kecut.

"Tampar saja aku sebanyak yang kamu mau. Tapi, izinkan aku melakukan hal yang seharusnya aku lakukan," Jack memulai lagi.

"Kamu tak bisa mencintainya seperti itu lagi, Jack," sahut gadis itu dengan nada meninggi.

"Berikan Bersya dan aku kesempatan untuk memilih. Oke?" pinta Jack.

"Dia ada di balkon belakang," jawab Titan berlalu begitu saja.

Dengan langkah penuh ketakutan, Jack menghampiri Bersya. Samar-samar terdengar isakan tangis seseorang. Angin menerpa pelan. Jack melihat punggung gadis pujaannya.

"Bolehkah aku duduk?" tanyanya pada Bersya.

Mata Bersya membelalak, "Untuk apa kamu..."

Jack menyela, "Menemui dirimu. Aku sudah tak sanggup lagi menahan rindu. Ya, tak melihatmu sepekan ini membuatku sakit."

Bersya memicingkan matanya, "Jangan bersikap seperti ini."

"Bersikap seperti apa? Apa aku salah mengungkapkan isi pikiranku? Aku tak berbohong padamu, Bersya, " sahut Jack dengan tawa kecil.

"Jangan berperilaku seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa!" pekik Bersya.

Jack meraih tangan gadisnya, menggenggamnya sangat erat, "Apa kamu pikir aku akan melepaskan dirimu, Bersya? Tidak akan pernah!"

Napas Bersya tercekat seketika, "Uhuk! Uhuk! Berhentilah bersikap egois. Kita tidak akan pernah bisa bersatu. Kamu adalah kakakku dan aku adalah adikmu."

Jack mengulas senyum masam, "Aku hanya butuh waktu seminggu saja. Beri aku seminggu untuk mencari tahu suatu hal yang membuatku ragu."

Jack lebih mendekat, dia menyeka air mata Bersya, "Jangan pernah menangis. Aku akan menghukum siapa saja yang membuatmu menangis."

Tak disangka, Bersya memeluknya begitu erat. Dekapan yang tiba-tiba saja membuat hatinya tenang. Yang seketika membuat badai di hatinya perlahan berhenti.

"Aku harap semua baik-baik saja," tutur Bersya.

"Tentu," kata lawan bicaranya penuh kepastian.

***

Haiiii jumpa lagi yaww. Berhubung nggak update lama. Jadi part sebelumnya dan part ini diupdate secepat kilat deh. Hehehe

Oh yaa di next part bakalan ada sebuah rahasia yang akhirnya kebongkar. Mau tau apa?? Ikuti terus yaa. Dan next part bakalan jadi ending dari kisahnya Jack dan Bersya.... Seeyaahhhh....

Happy reading😍💞

L D R(Lupa dengan Rindu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang