14. Obor di Lorong Gelap

894 19 0
                                    

Bu-beng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus sekali, kebijaksanaanmu itu sebaiknya ditingkatkan dengan tidak melakukan pembunuhan, Hwe-thian Mo-li. Biarpun ada yang bersalah kepadamu, sebaiknya engkau hanya memberi pelajaran kepadanya agar orang itu menyadari kesalahannya dan bertobat. Orang yang melakukan perbuatan jahat ada seorang yang sedang sakit, bukan jasmaninya melainkan sakit rohaninya. Penyakit itu dapat sembuh dan orang yang sehat pun sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit. Orang sesat mungkin saja bertobat dan menjadi baik, seperti kemungkinan orang baik-baik tergoda dan melakukan perbuatan jahat. Kita sama sekali tidak berhak membunuh orang."

"Akan tetapi, seperti sumpahku, Paman, aku tidak akan membunuh orang lagi kecuali yang seorang itu, musuh besarku Thian-te Mo-ong."

Kembali Bu-beng-cu menghela napas panjang. "Terserah kepadamu, engkau tentu memiliki alasan kuat untuk berkeras membunuhnya. Lanjutkan ceritamu."

"Aku selalu menentang kejahatan dan terhadap para penjahat itu aku tidak pernah memberi ampun dan bertindak tegas dan keras sehingga para kaum sesat di dunia kang-ouw memberi julukan Hwe-thian Mo-li kepadaku. Aku tidak peduli akan julukan Iblis Betina, karena aku memang ganas seperti iblis terhadap kaum sesat.

Pada suatu hari, aku jatuh pingsan di lereng Ban-hwa-san ini, aku ditangkap oleh Ketua Ban-hwa-pang dan dikeram dalam sebuah kamar dalam keadaan tertotok. Aku tidak berdaya dan pada malam harinya...... muncul...... Thian-te Mo-ong itu...... dia...... menghina aku yang sedang tak berdaya! Karena itulah aku mendendam kepadanya dan aku bersumpah untuk membalas membunuhnya!

"Setelah jahanam itu pergi dan aku terbebas dari totokan, aku lalu mengamuk. Kubunuh Ketua Ban-hwa-pang berikut semua anak buahnya dan aku menguasai Ban-hwa-pang. Kini akulah Ketua Ban-hwa-pang dan para anggautanya terdiri dari para wanita bekas anak buah Ban-hwa-pang lama. Aku bertemu dengan engkau yang berkali-kali telah menolongku dan melihat kelihaianmu, aku ingin belajar ilmu silat, memperdalam ilmuku agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas dendam kepada musuh besarku, dan juga untuk menghadapi Pek-lian-kauw yang jahat dan yang memiliki banyak orang pandai."

Siang Lan menghentikan ceritanya dan menatap wajah Bu-beng-cu. Ia merasa heran melihat wajah yang biasanya cerah itu kini tampak agak muram.

Melihat Bu-beng-cu kini diam saja sambil mengerutkan alis dan menundukkan mukanya, Siang Lan bertanya. "Paman, bagaimana dengan riwayatmu? Sekarang giliranmu untuk menceritakan riwayatmu kepadaku."

Bu-beng-cu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Apakah yang dapat kuceritakan? Tidak ada suatu yang menarik tentang diriku. Apa yang ingin kauketahui?"

Siang Lan maklum bahwa orang tentu hendak menyembunyikan keadaan dirinya, maka namanya pun sudah menunjukkan bahwa dia tidak ingin dikenal orang. Hal ini membuatnya penasaran.

"Paman, dengan menggunakan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) engkau seperti menyangkal dirimu sendiri. Aku ingin mengetahui apakah Paman mempunyai keluarga, isteri atau anak-anak?"

Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Hwe-thian Mo-li, aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup sebatang kara, hanya hidup berdua dengan bayanganku yang sering kali menggangguku."

Jawaban yang aneh itu membuat Siang Lan menjadi semakin penasaran. "Apakah Paman tidak pernah beristeri?"

"Tidak, sejak kecil aku merantau jauh ke barat dan selama ini aku hanya mempelajari ilmu silat."

"Akan tetapi sikap Paman lembut dan kata-kata Paman teratur seperti seorang sastrawan."

Senyum yang biasanya menghias mulut orang itu kini muncul sehingga hati Siang Lan merasa tenang. "Aku suka mempelajari sastra dan aku sudah membaca kitab-kitab suci dari tiga agama, yaitu Hud-kauw (Buddhism), To-kauw (Taosim), dan Khong-kauw (Confucianism)."

Serial Iblis & Bidadari - ASKPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang