Melepasmu

1.5K 48 3
                                    

Anna POV.

Aku terseret-seret berusaha menyejajarkan langkahku dengan mas Juna. Dia mencengkram pergelangan tanganku erat. Aku tahu dia marah sekali karena aku di perlakukan seperti itu. Aku menangis sepanjang jalan menuju basement tidak peduli orang-orang menatap kami penasaran menelisik ingin bertanya 'ada apa?' tapi mereka terlalu takut pada tatapan tajam mas Juna yang seolah sanggup merontokkan tembok sekarang juga.

"Masuk, An!" Tidak ada panggilan dek seperti biasa. Suara Mas Juna tegas sekali, tangannya membuka pintu mobil untukku agar cepat masuk. Baru kali ini dia menunjukkan kemarahannya padaku. Aku tahu Mas Juna sakit hati. Kalau aku yang sakit hati aku masih bisa menahannya, masih bisa memaafkan Aryan karena perasaan sayangku padanya. Tapi kalau keluargaku yang sudah terluka, aku harus bagaimana?

Situasi bertambah semakin runyam.

Aku menurut masuk dan duduk di samping mas Juna. Dia memukul setir setelah melihatku masih sesenggukan. Ada perasaan kecut saat melihat mas Juna seperti itu, dia memang sangat mengerikan kalau sudah murka. Apalagi menyangkut keluarganya. Dia tidak akan tinggal diam.

Aku jadi ingat dulu dia hampir mematahkan tangan teman laki-laki-ku karena dia mencoba melecehkanku sewaktu SMP, sampai dia masuk rumah sakit. Aku tidak melihatnya langsung. Baru tahu karena orang tua temanku itu datang ke rumah menuntut agar mas Juna bertanggung jawab. Semenjak itu ayah memasukkan dia ke pelatihan taekwondo agar emosinya yang tidak stabil bisa tersalurkan dengan positif.

Hatiku sesak. Air mataku masih terus mengalir.

Aryan.... sepertinya memang sudah tidak ada harapan lagi untuk kita menyemai rasa. Aku melepasmu pada Rani. Bisikku lirih dalam hati.

"Jangan pernah berhubungan dengan Aryan lagi atau Mas Akan mematahkan rahangnya!" Kata Mas Juna tangannya memegang setir erat. Aku diam tidak berkata apa-apa. Dia mulai membawa mobilnya dengan kecepatan sedang untuk pulang.

***
Aryan POV.
Di rumah sakit.
Pukul: 08.00 malam.

Aku terpekur memandangi Paman yang terbaring di ranjang pasien. Di tangannya terlilit selang infus, mulutnya terhubung dengan tabung oksigen. Keadaannya masih kritis.

Aku sadar, harusnya hari ini menjadi hari kebahagiaanku dan juga mereka karena aku baru saja menyelasaikan gelar sarjanaku. Tapi, bukannya kebahagiaan yang mereka terima aku malah menghancurkannya. Iya aku yang merusaknya bukan Anna atau siapapun. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa selain diriku sendiri. Aku hanya mencoba jujur dengan perasaanku, namun rupanya keputusanku saat itu sangat ceroboh dan tidak tahu kondisi. Aku bahkan tidak akan menyangka kalau pernyataan cintaku pada Anna sekaligus penolakkan pernikahanku dengan Rani akan berdampak buruk sampai sejauh ini, seakan lupa bahwa paman menderita penyakit jantung. Harusnya aku lebih berhati-hati dalam memutuskan.

Aku egois! Hanya mementingkan perasaanku saja.

Aku merutuki kebodohanku. Menarik napas berat menyenderkan punggungku pada kursi. Entah bagaimana keadaanku yang jelas aku terlihat sangat berantakkan. Kemejaku kusut, rambutku acak-acakkan, sedari tadi aku sibuk bolak-balik mengurusi administrasi rumah sakit. Belum lagi membujuk bibi dan Rani untuk makan tapi mereka menggeleng, bilang tidak selera. Aku tahu mereka masih kecewa padaku.

Rasanya aku ingin menyerah saja pada keadaan. Aku menyeringai miris dalam hati mengetahui hatiku mulai di uji. Siapa yang akan aku pilih sekarang? Keluargaku atau cintaku? Hanya itu yang tersisa. Apakah aku harus mengorbankan hatiku untuk keluargaku atau mengorbankan perasaan keluargaku untuk cintaku?

Aku meremas rambutku nyeri merasakan dadaku semakin sesak. Jika memang aku harus mengorbankan hatiku sendiri maka jelas keputusannya adalah aku harus menikahi Rani dalam waktu dekat ini seperti yang di inginkan oleh Paman dan Bibiku.

Mr. KulkasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang