Lamaran Mbak Anggi

1.2K 55 0
                                    

Anna POV.

Tiga hari lagi mbak Anggi akan melangsungkan pernikahannya dengan Mas Dimas.
Walaupun aku dan mbak Anggi lebih sering ribut ketimbang akurnya, tapi aku merasa sedih juga saat mbak Anggi akan menikah dan pergi dari rumah ini. Dia akan tinggal dengan mas Dimas. Belum lagi aku juga akan pergi ke kalimantan. Itu artinya dua kamar di rumah ini akan kosong. Tinggal Mas Juna, ayah dan bunda dirumah.

Aku sebenarnya tidak tega meninggalkan bunda. Pasti bunda akan kesepian karena tidak ada aku dan mbak Anggi dirumah. Rumah ini akan terasa sepi. Begitukah jika aku jadi orang tua nanti? Mengurus anak-anakku sedari kecil, merawatnya dengan penuh kasih sayang, memberikan tanggung jawab, biaya pendidikan, kemudian setelah mereka dewasa kita harus merelakannya pergi dan tinggal bersama orang lain yang di cintainya. Hmm tapi bagaimanalah, itu sudah siklus hidup yang harus kita jalani.
Rasanya aku ingin di rumah ini saja tidak mau meninggalkan ayah dan bunda. Aku ingin mengurus mereka sampai mereka kakek nenek.
Apakah Aryan akan bersedia tinggal di rumah ini jika aku dan dia benar-benar menikah suatu saat nanti?
Pikiranku malah jauh menerawang ke pernikahanku dan Aryan.Padahal aku sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi setelah dua tahun nanti. Apakah perasaan kami akan tetap sama atau tidak, entahlah.

Aku jadi ingat bagaimana waktu mbak Anggi di lamar mas Dimas. Tiba-tiba pagi itu sekitar jam sepuluh, mbak Anggi datang ke kamarku menangis tersedu-sedu. Dia menelungkupkan badannya di kasurku, meraih bantal dan memeluknya. Aku yang sedang asyik menonton drama korea terheran-heran melihat sikapnya yang aneh. Ketika ku tanya ada apa, ternyata itu perihal mas Dimas. waktu itu aku tertawa mendengar ceritanya.

"Mbak, kenapa nangis?" Aku yang simpati pada mbak Anggi  mengusap punggungnya, ingin mendengarkan keluh kesahnya. Tentu saja, walaupun aku dan mbak Anggi sering tidak akur,  tapi batin kita sangat dekat karena kita adalah saudara kandung, satu pabrik buatan ayah dan bunda. Ayah bilang keluarga bagaikan satu anggota tubuh. Jika salah satu tubuh sakit maka anggota tubuh yang lain juga akan merasakan sakit. Kita adalah keluarga Ayah Widodo dan Bunda Widya Kusuma Wijaya Diningrat yang tidak ningrat-ningrat amat tapi sangat menjunjung keharmonisan dan kerukunan keluarga. Itulah kenapa aku dan mbak Anggi sewaktu kecil dulu sering kena jewer bunda kalau kita sering  berantem. Kalau sekarang tidak di jewer tapi si biru bisa disita bunda. Dan pokoknya Hidup Widodo is the best! Best! Best! Karena ayah selalu menjadi pengacaraku kalau bunda atau mbak Anggi sudah mulai mengomel.

"Dimas, dek! Hiks!" Kata Mba Anggi dengan matanya yang sembab masih menangis.

"Kenapa, mas Dimas? Mbak di putusin?" Aku tanpa dosa dengan santainya berkata demikian. Mbak Anggi melotot menimpuk bantal yang dia pegang ke arahku. Jujur saja, aku tidak terlalu tahu hubungan mbak Anggi dan mas Dimas.

"Hush! Bukan itu!" Katanya. Aku mendekat semakin penasaran.

"Terus apa dong!" Aku ingin tertawa sekaligus kasihan  melihat tampang mbak Anggi yang kusut sekarang. Dia tampak seperti gadis yang menderita seperti di film drama Korea yang sering ku tonton.

"Dia sama keluarganya ke sini ngelamar, Mbak. Tuh orangnya ada di bawah!" Kata Mbak Anggi menunjuk pintu. Tangisnya masih berkelanjutan.

Aku menutup mulut kaget dan menatapnya tidak percaya. Bagaimana bisa Mas Dimas yang kata mba Anggi tukang PHP dan  cuek banget, dan juga lebih senang ngobrol sama komputernya ketimbang dengan mbak Anggi tiba-tiba datang melamar?

Saat itu antara percaya atau tidak ku putuskan untuk memastikannya dengan mata kepalaku sendiri. Ku buka handle pintu kamarku, lalu melongkok ke lantai bawah dan ternyata itu benar! Mas Dimas beserta beberapa keluarganya datang ke rumah. Mereka sedang ngobrol dengan ayah dan bunda. Mas Juna juga ikut duduk disitu. Ketika aku balik ke kamar, mbak Anggi masih nangis sesenggukan. Aku malah heran. Di lamar kok malah nangis bombay?

"Jadi sebenernya Mbak seneng apa engga sih, Mas Dimas datang  melamar?" Kataku.

"Ya senang lah, pertanyaan kamu itu kok!" Katanya membuang ingus di tisu.

Pffttt!

"Ya terus kenapa nangis bawang coba?" Kataku memutar bola mataku.

"Perempuan kalo mau nikah emang gini, dek. Pasti nangis." Katanya. Aku jadi berpikir, pantas saja mbak Anggi sering uring-uringan akhir-akhir ini. Ternyata selama ini dia minta di kawinin.

"Terus? Bagus dong. Mas Dimas bukan tukang PHP berarti. Tuh buktinya dia dateng melamar, mbak. Artinya dia nggak main-main sama perasaanya." Aku menyilangkan tanganku sok dewasa. Padahal aku sendiri belum mengerti bagaimana hakikat pernikahan itu sendiri. Apa akan serepot ini? Seperti mbak Anggi?

"Yaiya sih, dek. Tapi nggak dadakan juga dong. Kamu bayangin! Waktu Dimas dan orang tuanya datang, Mbak nggak prepare sama sekali. Belum mandi coba, abis ngulek sambel terasi lagi. Masih pake baju tidur gini. Sedangkan dianya rapih banget pake jas gitu. Gimana Mbak nggak lari ke kamar kamu coba! Kan malu di lihat camer! Huaa! hiks.. hikss!" Tangis mbak Anggi semakin pecah. Aku khawatir tangisannya yang lebih mirip kaya suara kucing kawin akan mengganggu obrolan para orang tua di bawah. Akhirnya aku berusaha menenangkannya. Kuambil air putih yang ada di atas meja belajarku  yang tinggal setengah, lalu ku berikan padanya. Mbak Anggi menerima saja, padahal kalau dia tau itu bekasku dia pasti tidak akan mau meminumnya. Hahaha! Biarkan saja, mumpung dia sedang menangis bahagia.

"Mbak, sshhh tenang, ih! Nih minum dulu!" Aku mengusap-usap punggungnya sambil tertawa. Dia meminumnya sampai habis mirip ikan mujair terdampar kurang air.

"Gila ya, mas Dimas maen sikat aja anak orang hahaha udah kebelet kawin apa gimana hahaha!" Aku tertawa geli lalu mbak Anggi mencubit lenganku keras.

"Nggak sopan! Itu calon kaka Iparmu!" Katanya melotot.

"Aw! Lah, ya terus kenapa Mbak Anggi malah lari kesini? Bukannya mandi." Sakit sekali cubitanya, aku sampai meringis.

"Aku terharu juga, dek. Ternyata Dimas itu diem-diem berani juga ngelamar, mbak. Mbak nggak nyangka tau." Mbak Anggi menghapus air matanya perlahan. Tangisannya mulai reda.

"Emang mas Dimas ngga bilang dulu sama Mbak Anggi kalau dia  mau dateng melamar? Kok mendadak? Untung lagi pada ada dirumah. Kalau ayah lagi ngga di rumah gimana coba." Kataku berseloroh. Mbak Anggi diam menatapku, lalu membetulkan posisi duduknya. Kami saling berhadapan.

"Gini, dek. Jadi dulu nih ya  waktu mbak belum lulus, Dimas  pernah menyatakan cintanya sama Mbak. Terus, karena mbak pikir mbak juga lagi sibuk skripsi, mbak dengan gayanya langsung bilang aja ke dia kalau emang dia serius dan niat sama mbak, dateng aja kerumah temuin ayah. sebenarnya itu cuma alasan mbak doang yang menolak perasaanya secara halus. Mbak yakin dia nggak bakal berani. Setelah itu dia nggak pernah muncul lagi atau ngabarin Mbak. Dan mbaknya yang malah jadi sering kepikiran sama dia setelah lulus dan masih jomblo juga. Dan ehh, sekarang kaya jalangkung tiba-tiba dia  kesini sama keluarganya ngelamar mbak nggak pake bilang-bilang coba! Kan mbak sebel! Kalau dia bilang kan, mbak bisa dandan dulu biar cantik gitu. Kan, enak di pandang calon mertua, dek!" Mbak Anggi memukul-mukul bantal guling antara kesal atau senang tidak jelas.
hah! entahlah aku belum pernah di lamar jadi tidak begitu tahu persis bagaimana perasaanya.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba suara ketukan pintu menghentikan obrolan kami. Bunda menyuruh mbak Anggi mandi terus dandan yang rapih dan turun untuk menemui keluarga Mas Dimas.
Bundaku pengertian sekali, dia pasti sudah paham bagaimana perasaan mbak Anggi. Lamarannya pasti berjalan lancar. Tidak mungkin rasanya mereka menolak lamaran mas Dimas, karena bunda juga sudah tahu perasaan mbak Anggi pada  mas Dimas. Mbak Anggi kan tipikal orang yang senang curhat. Apalagi sama bunda.
Ahh aku cinta orang tuaku yang membebaskan anak-anaknya untuk menentukan pasangannya masing-masing. Aku lega karena tidak akan ada di kamusku, aku di jodohkan dengan datuk meringkik seperti siti Nurbaya.
Ayah bilang yang penting calon suami kita mengerti agama, anaknya baik, sopan, dan  bertanggung jawab. Ayah orangnya tidak neko-neko. Dia percaya akan pilihan anaknya. Ah, aku jadi berat akan pergi meninggalkan mereka ke kalimantan.

Aku ingin dua tahun ini cepat berlalu, ayah, bunda, mbak Anggi, mas Juna, Aryan...

Bertambah satu orang lagi menjadi bagian yang penting dalam hidupku.

Tbc, dont forget to vote and comment. 😃

Mr. KulkasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang