Prolog

14.1K 387 7
                                    

---

Kicauan burung disertai sisa-sisa rintik hujan bertemankan setitik kilauan sang raja siang menambah sejuk udara pagi. Masih tampak air menggenang di sana-sini, sebagai bukti turunnya berkah Ilahi tadi malam. Di seberang jalan, sebuah papan berukuran sedang, bertuliskan "PONPES BAITUL HIKMAH" jua tak luput dari tetesan air hujan. Namun demikian, tak menyurutkan niat ribuan santriwan dan santriwati menuntut ilmu. Mencari dengan sebanyak-banyaknya, yang dapat mereka ambil dari pondok pesantren ini. Dengan langkah hati-hati, sosok santriwati disini tampak bak bidadari-bidadari surga, berjalan dengan anggunnya. Menyusuri lorong demi lorong pesantren ini. Senyum merekah diwajah mereka. Seakan tanpa beban. Yang tampak hanya canda tawa, penuh dengan kebahagiaan khas seorang santri.

Keluar dari hal tersebut, santriwati tetaplah santriwati. Seorang perempuan yang punya kesamaan dengan perempuan lain. Ada yang dengan rajinnya memolak-balikkan lembaran demi lembaran kitab tebal. Ada pula yang sibuk mencuri pandang atau bahkan secara terang-terangan memandang santri putra.

Di sudut pesantren, tampak seorang laki-laki berkalung sorban, dengan rambut yang mulai beruban di makan usia, tengah tersenyum melihat santri-santrinya. Ia mengerti berbagai karakter santri-santrinya. Hal tersebut merupakan pemandangan penyejuk mata setiap pagi. Santriwan maupun santriwatinya adalah kado terindah dari sang Ilahi Rabbi. Di usianya yang hampir memasuki kepala tujuh ini, tak banyak yang dapat ia lakukan. Selain membagikan berbagai macam ilmu yang ia dapat, untuk santri-santrinya.

Mata elangnya beralih menatap sosok santriwati yang anggun di sudut utara pesantren. Gadis lugu, periang, dan sopan tersebut selalu menggungah hatinya. Tak hanya itu, Anaa, gadis tersebut telah menorehkan berbagai macam prestasi untuk pesantren ini. khususnya bidang qiro'ah. Ingin rasa hatinya menjadikan Anaa sebagai putrinya. Putri yang akan selalu ia sayang dan ia banggakan. Putri untuk bersanding dengan putranya.

Matanya masih lekat memandang Anaa. Hingga tak sadar, sang empunya telah mendekat menghampiri. Dengan senyum merekah Anaa berjalan begitu anggun, menuju sosok yang sedari tadi memandangnya.

"Assalamu'alaikum, Abah," ucap Anaa dibarengi dengan senyuman indahnya. Tak lupa pula ia mencium punggung tangan ustadz Hamdhan. Anaa sudah menganggap ustadz Hamdhan sebagai ayahnya sendiri. Sosok yang senantiasa membimbingnya, dari awal ia masuk ke pesantren, sampai ia yang sekarang.

"Bagaimana dengan maqra' yang kemarin?" tanya ustadz Hamdhan masih dengan senyuman. Anaa akan kembali mewakili pesantren untuk mengikuti lomba Qiro'ah tinggat Nasional. Suara emasnya sudah tidak diragukan lagi. Di usia menginjak 17 tahun ini, berbagai macam prestasi telah ditorehkannya untuk pesantren tercinta.

"Alhamdulillah Abah, Anaa sudah mempelajarinya sejak tadi malam. Nanti malam, kalau Abah ada waktu, Anaa akan memperdengarkannya. Mungkin masih ada yang perlu Anaa perbaiki," ucap Anaa santun.

"Ba'da isya', tinggallah di masjid. Abah akan mendengarnya." Rasa hati membuncah merasakan bahagianya. Katakanlah Anaa berlebihan. Tapi bagi Anaa, ketika abah mendengar suaranya, akan ada ilmu baru lagi yang ia dapat. Abah tak segan membagikan ilmunya. Memberi masukan, menambah pengetahuannya. Semakin ia belajar kepada abah, semakin ia mengerti bahwa masih terlalu sedikit ilmu yang ia miliki sekarang. Abah selalu menanamkan rasa kurang dan kurang untuk ilmu pengetahuan.

"Terimakasih Abah, Anaa pasti akan tinggal." Abah dan Anaa sama-sama tersenyum.

"Anaa, bagaimana persiapanmu?" tampak ustadzah Ami di ujung pintu. Dengan langkah tak kalah anggun, ia menghampiri Anaa dan suaminya.

"Alhamdulillah Bu, do'akan Anaa ya, Bu," jawaban tulus Anaa di balas dengan senyum manis bu Kyai, ustadzah Ami. Sekilas, hal tersebut sangat mirip dengan uminya. Rasa rindu akan rumah semakin menjadi dalam diri Anaa. Sudah satu semester lebih ia tak pulang. Perlombaan demi perlombaan sangat menyita waktu dan pikirannya. Setiap hari libur di pondok, ia gunakan untuk belajar bersama ustadz Hamdhan. Sempat ustadz Hamdhan bertanya pada Anaa, apakah ia tidak ingin pulang. Tetapi, jawaban gadis mungil itu begitu sederhana. “Abah, Anaa akan pulang dengan ilmu dan prestasi. Sebelum itu, Anaa akan tetap disini. belajar bersama Abah.”

Kesederhanaan, keluguan, serta sopan santun Anaa lah yang membuat setiap orang di sekitarnya terkagum-kagum padanya. Meskipun begitu, tak jarang Anaa berbagi canda, bahkan terkadang jahil terhadap teman-temannya. Selain sikap anggunnya, ia dikenal sebagai sosok yang begitu ramah.

"Naa, tadi Umi telfon. Beliau merindukanmu, Nak. Datanglah ke tempat pengurus, telfon Umimu," kata ustadzah dengan tenang.

Tanpa Anaa sadari, buliran bening jatuh begitu saja dari pelupuk mata indahnya. Seketika ia usap kristal tersebut. Ia tak ingin tampak sedih. Seulas senyum tampak menutupi kesedihannya. abah dan ibu yang melihatnya pun hanya tersenyum iba. Perjuangan serta kegigihannya begitu luar biasa. Dibalik rasa rindu yang mendalam terhadap keluarga tercinta, Anaa masih sanggup menahan, demi membanggakan kedua malaikatnya.

"Tentu, Bu. Anaa akan ketempat pengurus sekarang. Terima kasih, Bu. Anaa permisi, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

---

Boleh jadi, yang terpandang mata adalah kebaikan, meski sesaat saja,

Harap hati mampu menutup segala ruang, memacu segala rasa, bersama manisnya surga impian..

Nanti, bersama Tuhan semesta alam pencipta manusia..

-------------------------------------------------------

Assalamu'alaikum semua.. Alhamdulillah sebelum Agustus cerita ini bisa update lagi...

Aku udah revisi ini, andaikata masih ada kesalahan kata atau penulisan, bisa kasih tau ya😉

Kritik dan saran sangat di butuhkan.. 😙😙😗

Terima kasih yang sudah berkenan membaca😇

Ponorogo, 25 Juli 2019
16.45 WIB

- Arum Fitriani

Tasbih Kerinduan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang