---
-Aku ingin memiliki, bukan sekedar tambatan hati penghibur diri, namun bidadari, sampai di akhiratku nanti-
***
“Naa, Syifanya mana? Dipanggil gih, kita sarapan dulu.” Umi menyiapkan segala keperluan untuk sarapan. Terhitung sudah sepuluh hari Anaa di rumah, itu artinya sudah sepuluh hari pula Syifa menginap di rumah Anaa.
“Tadi pas Anaa cari masih mandi, Umi.” Anaa membantu uminya, Umi Hanifah, mempersiapkan makanan di meja, mengambil sayur, serta mengelap piring-piring yang akan mereka gunakan untuk makan pagi.
“Wih, enak nih.” Adik laki-laki Anaa, Fahmi, menatap makanan yang sudah tersaji di meja. “Mbak Syif, yang lama aja disini, biar banyak makanan terus.” Syifa yang baru memasuki ruang makan agak kebingungan menyahut candaan Fahmi, sedang Fahmi tergelak menggoda kakak dan ibunya.
Anaa adalah anak pertama dari dua bersaudara, memiliki seorang adik laki-laki dengan jarak umur sekitar 2,5 tahun dari Anaa. Muhammad Fahmi Alfariz.
“Fahmi!” tegur umi.
“Iya Ibundanya Fahmi tersayang.” Fahmi memandang wajah di imut-imutkan.
Anaa memandang Fahmi dengan tatapan datar, “Fahmi panggil Abi sana,” pinta Anaa pada adiknya.
Fahmi tersenyum menggoda, “bilangnya yang manis dong, Mbak. Gini-gini aku contohin, ‘Fahmi ganteng, panggil Abi, ya?’ gitu Mbak.” Lagi-lagi Fahmi tergelak karena candaannya sendiri. Anaa hanya menatap adiknya tanpa bersuara, umi dan Syifa tersenyummenatap kakak-adik tersebut.
“Aduh, mbak Anaa nggak bisa diajak becanda. Umi, mbak Anaa di tukerin sama mbak Syifa aja deh, biar Fahmi nggak bosen,” ejek Fahmi pada Anaa.
“Mbak galak loh, Mi,” Syifa menggoda Fahmi.
Kegiatan saling melempar candaan berlanjut, dengan Fahmi yang selalu mencari topik utamanya, sampai lupa bahwa ia harus memanggil sang ayah untuk segera makan bersama.
“Asik banget becandanya,” sapa pria paruh paya yang baru memasuki ruangan.
“Mbak Anaa galak, Bi.” Fahmi terus-terusan menggoda Anaa, hingga Anaa kesal karenanya. Ayahnya, Ahmad Ayyub, tersenyum melihat putra-putrinya.
Umi datang membawa teko minum, “udah mending sekarang kita makan, jangan becanda terus.”
Syifa dan keluarga Anaa duduk di kursi masing-masing, menyantap makanan dengan tenang dengan sesekali membahas sekolah Anaa maupun Fahmi. Syifa turut meramaikan suasana dengan cerita-ceritanya selama bersahabat dengan Anaa di pesantren.
“Naa, bantu Umi cuci piring, ya?” umi membereskan beberapa peralatan makan dari meja. Anaa yang masih meminum airnya tidak terlalu mendengar perkataan umi.
“Biar Syifa sama Anaa aja, Umi.” Syifa tersenyum, mengambil alih beberapa piring yang sudah umi pegang. Anaa tersenyum memandang, sembari mengangguk pada ibunya.
“Yaudah, Umi tinggal siram-siram du-” ucapan Umi Hanifah terhenti karena teriakan Fahmi.
“Bunda sayang, ada tamu,” teriak Fahmi dari dalam kamar. Tak lama ikut terdengar bunyi ketukan pintu depan.
“Anak itu ya, kalau ada tamu bukannya bukain pintu malah teriak.” Umi menggeleng-gelengkan kepalanya, heran menghadapi kelakukan putra bungsunya. “Kamu lanjutkan ya, Umi ke depan dulu.”
“Ayok, Naa,” Syifa mendahului ke belakang dengan membawa tumpukan piring kotor dengan beberapa gelas di atasnya. Anaa menghampiri Syifa dengan membawa sisanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Kerinduan √
Spiritual[Spiritual] -Memoriam masa silam bukan untuk menghambat laju masa depan., hadapi, dan semuanya akan kembali berlalu- --- Alfianaa ramadhani, santriwati manis dengan penuh keanggunan, idaman setiap ikhwan, dengan tasbih mungil yang tak lepas dari gen...