16 ~ Hatimu Untuk Siapa?

2K 86 1
                                    

---

-Saat ditanya, hatimu untuk siapa? Harusnya aku menjawab: untuk Tuhan, pencipta alam semesta, harusnya-

***

Matahari mulai menyingsing hangatkan suasana pagi. Cahaya keemasan menerobos melalui celah-celah kecil. Suasana pesantren cukup tenang dengan dengungan alunan Al-Qur’an dari beberapa santri yang tetap tinggal. Masjid masih ramai, anak-anak kecil di sekitar pesantren belajar mengaji setiap paginya.

Azzam berjalan santai usai melaksanakan sholat dhuha, hendak keluar masjid, bersiap memulai hari. Tak sengaja ekor matanya menangkap sang ayah sedang perhatikan salah seorang santriwati. Azzam mendekat, mengamati sejenak, mengintip dari balik punggung abi, “Anna? Apa itu Anaa?” batinnya bersuara.

“Ekhm… Bi,” sapa Azzam pada ayahnya. “Liatin siapa?” tanyanya penasaran. Pasalnya, pesempuan yang menurutnya Anaa tersebut seperti menangis dengan menangkupkan kedua tangan untuk berdoa. Bahunya terlihat bergoncang walalu samar.

“Abi?” tanya Azzam lagi. “Apa itu, Anaa?” Azzam memandang kembali gadis tersebut.

Ustadz Hamdhan masih diam dalam pandangannya kea rah santriwati tersebut. “Kembalilah ke rumah, antarkan Umi ke toko kue,” ujar ustadz Hamdhan, menatap Azzam. Ustadz Hamdhan berlalu setelahnya, meninggalkan Azzam di tempat semula mereka berpijak. Azzam masih penasaran, namun ia urungkan untuk terus berdiri di tempatnya sekarang, enggan membuat uminya menunggu.

Dalam setiap langkahnya, pikiran Azzam masih tertuju pada santriwati tersebut. Berbagai pertanyaan memenuhi isi kepalanya. Mengapa abi memandangnya? Kenapa abi terdiam cukup lama? Apa dia Anaa? Perempuan itu mengenakan mukena masjid, hingga Azzam sulit mengenali.

“Ah, sudahlah. Mungkin Abi hanya memandang santri-santrinya seperti biasa, dan gadis itu, bisa juga dia khusyu’ dalam doanya karena rindu akan keluaga. Kenapa aku tidak berpikir kesana sejak tadi.” Azzam tertawa ringan, mengusir segala pikiran yang membuatnya kebingungan.

Sesampainya di dalam rumah, Azzam melihat uminya sedang berkemas, mengambil tas, dan memandang cermin untuk membenarkan jilbabnya.

“Eh, Le. Antar Umi ya, mau beli kue.” Ustadzah Ami berbicara sembari berjalan memasuki kamar, “sebentar Umi ambil uang dulu,” lanjutnya.

“Azzam tunggu di luar ya, Umi. Sekalian panasin motor.” Umi hanya mengangguk sebagai jawaban.

Azzam segera menyiapkan motornya, tak lupa ia nyalakan untuk memanaskan mesin sembari menunggu ibunya.

“Sudah, Umi?” tanya Azzam begitu melihat ibunya keluar dari rumah. Uminya mengangguk dan segera menaiki boncengan motor. Azzam melajukan motornya sedang, takut uminya tidak nyaman.

Semua pemandangan tersebut lak luput dari jangkauan ustadz Hamdhan. Ia memandang putra dan istrinya berlalu, dengan tatapan tak bisa diartikan.

Ustadz Hamdhan sengaja meminta ustadzah untuk mengajak putranya keluar arena pesantren. Ia hanya tidak ingin Azzam terlalu tergesa-gesa. Lagi pula, ia masih bimbang akan keputusan yang akan diambilnya.

“Nduk,” panggilnya pada dua santriwati yang kebetulan lewat disekitarnya.

Santriwati tersebut mendekat, merasa terpanggil. “Ustadz memanggil kami?”

“Kalian tau Alfianaa Ramadhani? Kelas 5A sebelumnya,” tanya ustadz Hamdhan pada mereka berdua. Keduanya berpandangan, sebelum salah satunya menjawab.

“Mbak Anaa yang qiroah itu ustadz?” tanya salah seorang di antaranya. Ustadz Hamdhan mengangguk sebagai jawaban.

“Panggilkan Ana. Saya tunggu di rumah.” Dua gadis tersebut mengangguk, mengucap salam dan segera berlalu.

Tasbih Kerinduan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang