---
-Akankah aku disalahkan karena keegoisan? Sungguh, wanita mana yang rela sang pujaan mengharap kasih dari teman terdekatnya?-
***
“Ya habibal qalbi, ya khairal baraya ya, ya lijitabil haqqi Rasulal hidayah…Ya RasulAllah,” Syifa bersenandung sembari melipat mukena, usai berdoa pada sang pencipta, serta tuangkan kisah hatinya, harapkan Tuhan berikan yang terbaik untuk dirinya, serta dia yang tersebut dalam doa.
“Duluan, Syif,” sapa santriwati yang melewatinya. Syifa hanya mengangguk sebagai jawaban. Dengan masih bersenandung kecil, Syifa selesaikan berbenahnya.
“Loh kak Syifa, kok sendiri?” tanya seorang santriwati, yang merupakan adik kelasnya.
“Iya nih, Anaa lagi libur, hehe,” ujar Syifa tersenyum dengan menunjukkan sederet giginya. Perempuan tersebut ikut tersenyum sebelum kemudian berlalu, “ah, ternyata. Duluan ya, Kak,” ucapnya ramah.
Seusai melipat mukena, Syifa berjalan santai keluar dari masjid. Senandung kecil masih terdengar, mengiring perjalanan sepinya karena hanya seorang diri. Langkah kakinya terhenti tatkala pendengaran singkatnya menangkap suara yang membuatnya terkejut.
“Hati ini sungguh mengharapkannya, Bi. Azzam takut justru akan melupakan kewajiban dan kecintaan pada sang pencipta, kalau terus seperti ini. Azzam,-“ Syifa melihat Azzam dan ayahnya di teras masjid. Langkahnya terhenti, hatinya terkecat dengar kata yang terlontar dari bibir Azzam. Syifa melihat Azzam yang terdiam sebelum kembali lontarkan kata, “Azzam mencintainya, Bi.”
“Mencintai?” monolog Syifa lirih. Ia terdiam di tempatnya, dengan posisi Azzam dan ustadz Hamdhan yang membelakangi dirinya, hingga ia bisa mendengar segalanya dengan jelas, tanpa kedua laki-laki tersebut tahu.
“Dia cantik, baik, tatapannya lembut, akhlaknya baik, semuanya, semua yang ada pada dirinya indah. Sungguh, pria mana yang tidak menaruh hari pada gadis demikian.” Syifa memandang dirinya sejenak, berbagai macam pikiran buruknya mulai membaur menjadi satu. Hatinya meragu, akankah namanya yang akan disebut? Atau ia akan kembali berduka seperti sebelumnya?
Buliran air mata jatuh seketika tatkala ia dengar Azzam kembali bersuara, sebutkan nama, yang paling tidak ingin di dengarnya.
“Anaa, Bi. Azzam mencintai Anaa.”
Kakinya meluruh, menjatuhkan beban dalam diri, “Anaa?” Syifa membekap mulutnya, meredam tangis yang mulai tak mampu ditahannya.
“Anaa? Mengapa harus Anaa, Mas?” ungkapnya lirih.
Dengan rasa tak percaya, Syifa bangkit berdiri, berlari dari tempat ia berpijak saat ini. Ia tak sanggup mendengar lagi. Segala pujian, segala rasa, segenap hati telah tertanam, namun bukan untuk dirinya.
Dalam sepinya malam Syifa duduk termenung di taman pesantren seorang diri. Tangisnya terus mengalir basahi pipi dan hijabnya. Dingin angin malam tak mampu gerakkan ia untuk berpindah. Sakit hatinya tak terelakkan.
“Kenapa Anaa, Mas?” Syifa terisak ratapi malam dan kisahnya. “Kenapa harus seorang yang kujadikan sahabat dalam hidupku?” ratapnya pilu. Sungguh wanita mana yang tidak memendam sakit kala sang pujaan mendamba pada sahabatnya? Syifa tidak tau lagi harus berpikir bagaimana sekarang.
“Apa tidak cukup kak Ryan saja yang menyukai Anaa? Syifa sudah coba ikhlaskan masa lalu, kenapa harus ada lagi di masa ini?” Syifa memngingat segala raut wajah Ryan saat menatap Anaa, saat Ryan berikan bunga dan kado, serta ucapan berbangga akan keberhasilan Anaa dalam perlombaan, semuanya membuat Syifa mulai mampu mengikhlaskan, sekaligus lega, Ryan tak mengenalinya meski hal itu karena ia tak lagi sama dengan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Kerinduan √
Spiritual[Spiritual] -Memoriam masa silam bukan untuk menghambat laju masa depan., hadapi, dan semuanya akan kembali berlalu- --- Alfianaa ramadhani, santriwati manis dengan penuh keanggunan, idaman setiap ikhwan, dengan tasbih mungil yang tak lepas dari gen...