24 ~ Aku Akan Mundur

2.3K 87 4
                                    

---

-Jika melepas adalah pilihan, tentu bukan itu yang ingin ku pilih. Jika rindu adalah bayangan, itu pun bukan yang ku pilih. Jika senyum adalah impian, itulah yang kulakukan, untukmu-

***

Terik matahari mulai naik, hangatkan suasanya penuh orang-orang sibuk di rumah sakit. Beberapa lansia tampak duduk-duduk santai di pinggir taman, menikmati matahari pagi menjelang siang. Beberapa di antaranya berpakaian baju rumah sakit, tampak seperti orang sehat, namun nyatanya adalah seorang pasien.

Mungkin itulah penggambaran hati Ryan sekarang. Tampak seperti orang sehat, namun nyatanya ia cukup pantas disebut sebagai seorang pasien akan penantian hati yang belum jua menemukan ujungnya.

Ryan memandang lansia tersebut, menghampiri dengan senyum tak kalah hangat dari sang mentari. “Apa kabar Nenek?” ujarnya penuh senyuman, merendahkan diri agar tingginya setara dengan lansia yang tengah duduk di kursi roda.

Nenek tersebut tersenyum tak kalah hangat, “anak tampan. Nenek sudah merasa sangat sehat,” ujar sang nenek menyentuh pipi Ryan. “Kamu seorang dokter, atau perawat?” tanyanya lagi.

Ryan terkekeh kecil, “tidak, Nenek. Saya Ryan, saya ke sini untuk menjenguk teman, dan kebetulan melihat Nenek, saya jadi rindu Nenek saya.” Ryan kembali terkekeh sembari menghibur nenek tersebut.

“Temanmu, apa dia seorang wanita?”

Ryan tak bisa lepaskan senyumnya. Pikirnya, apa semudah itu wajahnya di baca? Memang niat Ryan setengah-setengah, ingin mengunjungi Azzam, tetapi hatinya lebih ingin melihat Anaa.

“Apa Ryan semudah itu untuk di baca?”

Bukannya menjawab, nenek tersebut justru mengatakan sesuatu yang lain, “dia akan jadi wanita paling bahagia di kunjungi olehmu.”

Ryan hanya tersenyum balaskan kata untuk nenek tersebut. ia mengambil sesuatu dari sakunya, sejumlah uang ia genggamkan pada tangan nenek tersebut.

“Mohon diterima, Nek. Ryan tak bisa membantu apapun, hanya ini. Ryan doakan nenek segera pulih, bisa berkumpul kembali bersama keluarga besar Nenek.” Ryan menatap nenek penuh harap. Hatinya langsung merasa tak tega perhatikan wanita tua duduk di taman tanpa di temani keluarganya.

Nenek tersebut menitikkan air matanya, “kamu bahkan tidak mengenal Nenek. Nenek pun mendoakanmu, semoga bahagia selalu bersamamu.” Ryan mengusap pipi nenek tersebut, berpamitan, dan berlalu dari hadapan.

Langkahnya kembali pada tujuan awal, sejenak ingatan pun berputar pada percakapan Anaa dan ayahnya di kantin. Segera Ryan enyahkan, ia harus berusaha. Sebelum Anaa berikan jawaban, Ryan tidak boleh mundur. Penyemangat terbaik adalah dirinya sendiri sekarang.

Langkahnya terhenti melihat beberapa perawat dengan pasien yang berbaring di brankar, berlarian dengan suara isak tangis menyertainya. Terlihat pula darah yang ditekan salah seorang perawat. Namun yang membuatnya terhenti bukan itu, dua gadis di belakangnya, itu adalah Anaa dan Syifa. Sejenak ia perhatikan lagi, bahwa yang berada dalam brankar tersebut adalah Arfan.

Ryan segera berlari menghampiri mereka, membantu mendorong brankar bersama perawat yang ia yakini tujuannya adalah unit gawat darurat. Sesampainya di UGD, Ryan segera menghampiri dua gadis tersebut, dengan Anaa yang menangis pilu. Ryan merasa tersayat sekarang. Lagi, gadisnya menangis untuk pria lain.

“Ada apa ini?” tanya Ryan memandang Anaa dan Syifa.

“Kak Arfan melukai tangannya,” Syifa menjawab sembari menenangkan Anaa. “Tidak. Alex, Alex yang melakukannya,” ralat Syifa.

Tasbih Kerinduan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang