19 ~ Dia, Anaa-ku

2K 93 2
                                    

---

-Masih ingat langit itu? Jangan lupa, ada bintang hiaskannya, lalu, lihat lagi… aku salah satunya, masih memandangmu-

***

Ustadz Hamdhan terpaku di tempatnya. Azzam telah membawa ibunya masuk ke dalam. Entah apa yang terjadi, hingga membuat ibunya tampak begitu shock.

“Anaa,” lirih pemuda tersebut, terus memanggil Anaa. “Apa tidak ada kesempatan untukku? Aku bahkan melanggar peraturan dari orang-orang di sekelilingku untuk menemuimu.” Air matanya kembali menetes, ia tampak begitu lemah.

Anaa masih diam di tempatnya, berhadapan langsung dengan pemuda tersebut. Wajahnya cukup familiar meski tampak begitu dewasa sekarang. Syifa telah bersama sang ayah di dalam rumah. Di belakang Anaa masih ada ustadz Hamdhan, Ryan, dan ayah Anaa. Ayah Anaa ingin mendekat, namun ustadz Hamdhan menggeleng, semuanya hanya terdiam di tempat mereka berpijak sekarang.

Pemuda tersebut tampak putus asa. “Masih ingat langit itu, Anaa?” ia memandang langit di atasnya. “Saat matahari telah berganti dengan cahaya remang rembulan, jangan lupa, ada bintang hiaskannya, lalu lihat lagi,” ia perhatikan ekspresi Anaa, “aku salah satunya, masih memandangmu,” lirihnya.

“Kamu ingat Kakak, Anaa?” ia terus mencoba mengingatkan Anaa akan sosok dirinya.

“Arfan!” teriak wanita paruh baya dan seorang lelaki seumuran di belakangnya. Namun, pemuda yang di panggilnya Arfan tersebut masih terdiam. Matanya hanya menyorot satu titik. Titik di mana Anaa berpijak sekarang.

“Kita pulang, sayang. Arfan sudah janji sama Mama, kan?” ibunya memeluk Arfan dari samping. “Ayo sayang.” Sang ibu menarik Arfan untuk melangkah.

“Ma,” Arfan enggan beranjak sedikit pun. “Dia Anaa-ku.” Lelehan air mata kembali mengalir di pipinya. Sang ibu mengusap air mata Arfan dengan sayang. Arfan yang berdiri di hadapan Anaa sekarang ini adalah Arfan yang tampak begitu rapuh, dan penuh ke putus asa-an.

Ryan memandang pemuda yang di panggil Arfan tersebut dengan berbagai macam ekspresi. Perhatiannya tertuju pada Anaa yang hanya terdiam. Enggan beranjak, namun juga enggan untuk menjawab. Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya sekarang.

“Arfan,” lirih ibunya, ikut menangis melihat keadaan sang putra.

“Fan, kasihan Mama, Nak. Ayo pergi.” Ayahnya beruasaha menarik Arfan.

“Anaa-ku kebingungan, Pa.” sorot matanya tak pernah lepas dari Anaa. “Katakanlah sesuatu, cantiknya Kakak,” Arfan bergumam dengan begitu memohon.

Anaa memandang sejenak, antara percaya atau tidak, antara sedih dan bahagia, dengan selimut kebimbangan di antaranya. Matanya menunduk mengambil tasbihnya yang terjatuh, menciumnya, dan kembali memandang ke depan.

Pria tersebut menunduk dalam isak keputus asa-an yang begitu tampak. Bahunya berguncang dengan dua orang di sisi kanan dan kirinya yang berusaha menenangkan seta mengajaknya berlalu dari tempat mereka berada sekarang.

“Kakak bintang kecilmu, Anaa,” ujarnya menunduk tanpa memandang Anaa.

Anaa menitikkan air mata seketika. Kata yang ia tunggu-tunggu terucap dengan jelas, tanpa keraguan di dalamnya. Ia memeluk erat tasbihnya dalam tangis yang semakin deras. “Kakak,” lirihnya dalam peluk tangis.

Arfan menatap Anaa terperangah, “Anaa… ingat?” Arfan takut-takut mengatakan. Antara takut ia salah dengar, dan takut kakak yang di maksud bukanlah dirinya. Ada Azzam dan satu pemuda yang tak ia ketahui namanya di belakang Anaa. Berdiri mematung, memandang Anaa dan dirinya penuh pertanyaan.

Tasbih Kerinduan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang