---
-Tak perlu menahun awalkan rasa, toh dalam sekejap, hati ini mampu terpesona-
***
Awan mulai menyingsing di ufuk barat, bertemankan sepoi angin yang semakin merasuk menusuk tulang, memeluk langit yang mulai menghitam. Burung-burung beterbangan, bak lukisan yang hanya tampak hitam dari kejauhan, menghias awan yang masih berbalut cahaya kemerahan di sudut pegunungan.
Hatinya kembali menghangat. Pemandangan indah dihadapan membawa ingatan menuju kenangan.
"Haahh, sungguh, gadis kecil yang teramat cantik. Senyumnya." Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia bergumam. Masih dengan senyum yang senantiasa melekat di pipinya.
Senandung kecil bak iringan merdu menyusuri jalan. Malaikatnya sudah menunggu di istana sederhana, dari keringatnya sendiri. Senang rasanya, meskipun usianya masih terbilang sangat muda, ia bisa memberikan kecukupan layaknya seorang ayah pada bunda tercintanya.
"Bunda, Ian pulang."
Masih dengan senyum manisnya Ryan berjalan. Dengan langkah santai penuh kebahagiaan ia mencari bundanya kesekeliling rumah.
Ian adalah nama panggilan kesayangan dari adiknya dahulu. Dahulu? Ya, Namun sayang, takdir Tuhan memang tiada yang tahu. Tampaknya Tuhan memang begitu menyayangi adik dan ayahnya. Sebuah kecelakaan maut menggambil nyawa kedua orang yang sangat berharga dalam hidupnya.
Sebuah foto berbingkai pigora kecil nan cantik bermotif naga menghiasi meja kamarnya. Satu dari beberapa kenangan dari orang-orang tercintanya. Tangannya terulur mengambil, memandang lebih dekat gambar yang terpajang. Sebuah senyum bahagia tampak dalam foto tersebut.
Entah sejak kapan matanya mulai memanas. Hangat, basahi pipi. Pikiranya kembali menerawang. Menyusuri jejak-jejak, memoriam masa lalunya. Tatkala yang tengah dipandang sekarang, masih tersenyum dalam kehidupan nyata. Fatamorgana seakan muncul didepan matanya. Seorang gadis cantik yang dulu begitu manja terhadap dirinya, sekarang hanya dapat terkenang dipandang mata dalam bingkai foto sederhana.
"Ayah, Adek, kalian mau denger cerita Abang?" masih enggan rasanya untuk berhenti, buliran bening dari kelopak mata indahnya mengalir tanpa perintah.
"Yah, tadi Ryan gak sengaja nabrak bidadari. Cantik banget, Yah. Bahkan lebih cantik dari Adek." Getir senyumnya melambangkan apa yang Ryan rasakan sekarang.
"Adek pasti marah kan? Inget gak sih Dek, dulu Adek selalu marah kalau Abang bilang ada yang lebih cantik dari Adek. Marahin Abang sekarang, sayang." Semakin kalut rasa hati ungkapkan kesedihan. Rasa rindu semakin membuncah dalam dada. Seakan berdesakan, berontak ingin keluar.
"Ayah sama Adek tunggu, ya. Abang janji kenalin bidadarinya Abang ke kalian." Satu tangannya terangkat mengusap pipi. Sudah terlampau basah rasanya untuk terus dibiarkan.
Tangan yang lain, terulur letakkan pigora. Hancur hatinya seakan tak dapat terobati. Bahkan, sekedar memandang foto pelepas rindu pun, bagai menyayat kembali luka lama yang telah kering. Terlampau perih yang Ryan rasakan.
Baru selangkah Ryan berjalan, telapak tangan selembut sutra merajut jemarinya. Badannya berbalik secara otomatis. Matanya masih sembab, tampak penuh kepedihan. Melihat sang malaikat berdiri dihadapannya, hatinya tergerak merengkuh tubuh rapuhnya. Secara tersirat, berbagi rasa dalam hatinya. Berbagi rindu dalam dadanya.
"Ryan, Bunda sayang banget sama Ryan. Saat Ryan sedih, Bunda juga sedih." Terdengar isakan kecil yang begitu pilu, menggores luka baru dalam hatinya. Luka lama belum terobati, luka baru muncul lagi. Terasa kejam dunia untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Kerinduan √
Spiritual[Spiritual] -Memoriam masa silam bukan untuk menghambat laju masa depan., hadapi, dan semuanya akan kembali berlalu- --- Alfianaa ramadhani, santriwati manis dengan penuh keanggunan, idaman setiap ikhwan, dengan tasbih mungil yang tak lepas dari gen...