---
-Kesempatan pertama untuk hidup di dunia, yang kedua membahagiakan Bunda, sisanya untukmu, semua tentang kamu-
***
Menatap sebilah kenangan usang, di ujung pengharapan
Bawa ku larut dalam bayangan, indah, manisnya senyum yang terkenang
Cantikku…
Hari ini ku titip rindu lewat malaikatku
“Eh, kok arahnya jadi Anaa.” Ryan menggaruk tengkuknya. Pulpen yang tengah menari lukiskan rasa, ia letakkan di atas agenda. Niat awal ingin tuliskan kata sederhana untuk ayah dan adiknya. Dua baris pertama, tertuju pada ayah dan adiknya. Namun, pada dua baris setelahnya, imajinasinya teralih seketika, teringat pada Anaa.
“Bunda, Ryan butuh Bunda sekarang. Huh, aku sungguh tidak fokus.” Lagi-lagi Ryan menggerutu sendiri. Kesal akan pikiran dan hatinya yang tidak sejalan.
Tangannya kembali mengambil sebilah pena yang sempat ia letakkan. Mencoba menulis, meski hanya menghasilkan coretan abstrak. Menari-nari membuat pola tak beraturan di atas kertas. Meski demikian, dirinya masih setia duduk dekat jendela, melihat awan mulai cerah, dan burung yang hinggap di pohon rindang, di samping ayunan.
Pandangannya teralih pada pepohonan dengan tetesan embun yang masih tersisa. Ia buka jendela kaca. Menghirup segar udara pagi dengan angin sejuk menenangkan. Ryan melamun sekarang, “Anaa… Anaa.” Senyumnya menguar cerahkan hari.
“Cantik, sih. Tidak salah putra Bunda selalu terbayang.” Sesosok wanita paruh baya dengan senyum merekah, rangkulkan tangan di pundak Ryan.
Ryan tampak terkejut, tidak menyadari kehadiran ibunya. “Loh, Bunda? Kapan pulang? Katanya habis bazar mau nginep di rumah nenek tiga hari.”
Tanpa menanggapi pertanyaan Ryan, ibunya justru meraih agenda yang masih terbuka di atas meja. “Kamu membuat puisi?” tanya bunda heran. Pasalnya, anak lelakinya ini enggan sekali menulis puisi. Bunda tertawa ringan karenanya. “Sejak kapan Ryan mau nulis puisi lagi?” bunda masih terkekeh ringan.
Ryan berusaha mengambil agenda tersebut dari tangan bunda. “Bukan puisi Bun, ini cuma asal nulis kok,” bela Ryan pada diri sendiri. “Balikin dong, Bunda.”
Bunda membaca kalimat-kalimat yang ditulis Ryan dengan seksama, sebelum kemudian berkomentar, “kok nggak nyambung, Yan?”
Ryan mendengus. Sudah ia duga bunda akan mempertanyakan hal tersebut. “Ryan emang gak bisa bikin puisi, Bun. Dan ini bukan puisi, cuma asal nulis. Balikin, Bunda.” Rengek Ryan pada ibunya.
“Duduk dulu,” bunda tersenyum, menarik tangan Ryan untuk duduk di tepi ranjang. Tangan lembutnya terulur, rapikan anak rambut Ryan yang berantakan.
Ryan terdiam, perhatikan sang ibu.
“Putra Bunda sudah dewasa sekarang.” Antara sendu dan bahagia, bunda pandangi putra satu-satunya. Ada kesedihan, sekaligus kebahagian dalam sorot mata teduhnya.
Ryan menggenggam kedua tangan bunda, seolah menguatkan. “Ada yang salah, Bunda?” tanya Ryan hati-hati. “Bunda kenapa?”
Ryan melihat mata malaikatnya mulai berkaca-kaca, ia alihkan percakapan. “Eh, Ryan tadi emang nunggu Bunda, loh Bun. Mau nanya.” Senyum Ryan mengembang, pipinya sedikit merona, “emm, titipan Ryan, sudah sampai?” Ryan tersenyum menunjukkan sederet giginya.
“Sudah.” Bunda menatap anak lelakinya.
“Bunda titipkan siapa?” tanya Ryan penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbih Kerinduan √
Espiritual[Spiritual] -Memoriam masa silam bukan untuk menghambat laju masa depan., hadapi, dan semuanya akan kembali berlalu- --- Alfianaa ramadhani, santriwati manis dengan penuh keanggunan, idaman setiap ikhwan, dengan tasbih mungil yang tak lepas dari gen...