23 ~ Antara Azzam, Ryan, dan Arfan

2.2K 83 2
                                    

---

-Kamu gadis itu, yang ku tunggu dalam setiap langkah raguku-

***

“Kak, kenapa harus seperti ini, bangunlah.” Anaa menatap Azzam jendela kaca ruang ICU. Azzam masih terbaring dengan selang-selang penopang hidupnya. Tanda-tanda akan kesadarannya belum juga tampak, meski waktu telah berputar hampir 3 hari lamanya.

“Anaa.” Suara berat terdengar dari belakang Anaa. Buru-buru Anaa menetralkan raut mukanya.

“Abi? Kok di sini?” Anaa terkejut mendapati ayahnya telah berdiri di belakangnya. Seingatnya, ia berangkat sendiri tadi, entah bagaimana ayahnya sudah ada di belakangnya.

“Kita perlu bicara, Nak.” Ayyub menghela nafas, memandang takdir yang akan membawa putrinya turut serta.

Anaa mengikuti langkah kaki ayahnya. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit, dengan berbagai macam manusia berlalu lalang. Beberapa merupakan seorang perawat dengan pasien, dokter dengan alat-alat medisnya, maupun wanita dan pria paruh baya, yang Anaa simpulkan sebagai keluarga dari pasien rawat inap.

Kantin rumah sakit cukup lenggang, mengingat ini masih jam pagi, tetapi telah melewati masa sarapan. Anaa dan ayahnya mengambil posisi duduk di pojok, dekat jendela, dengan pemandangan taman rumah sakit serta masjid di ujungnya.

“Ada apa, Bi? Kenapa tidak bicara di rumah?”

Lagi-lagi Ayyub menghela nafas, “Abi ingin bicara empat mata denganmu, Nduk.”

Lanjutnya, “ini tentang pria yang telah melamarmu.”

Anaa terdiam karenanya. Entah mengapa, rasanya Anaa belum ingin membahasnya sekarang. Suasana sedang tidak mendukung, hatinya pun tengah dilanda kebimbangan. Bukan Anaa berusaha menunda-nunda, tapi apa yang ia ketahui saat ini, jelas berbeda dengan yang ia ketahui sebelumnya. Adaa sosok yang Anaa rindukan, ada pula yang Anaa harapkan, begitupun dengan segala pertimbangan, jujur Anaa belum mampu memutuskan.

“Abi tidak bermaksud menekanmu, apalagi memaksamu.” Ayyub menatap Anaa sendu, “Abi takut, semakin lama kamu berdiam diri, semakin banyak hati yang tersakiti.”

Anaa masih terdiam menunduk, berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepala kecilnya. Ia masih bimbang. Dan ia tak ingin, mengambil keputusan dalam ke ragu-raguan.

“Kak Azzam belum sadar, Bi. Anaa… Anaa-” Anaa menghentikan kalimatnya. Takut apa yang akan ia katakan tidak pas dengan situasi sekarang.

“Abi tau, Naa. Abi memintamu untuk tidak menganggantungkan perasaan. Lagi pula, kamu sudah berjanji memberikan jawaban untuk Febryan hari itu, dan sampai seakarang? Kamu belum menjawabnya,” tutur Abi panjang lebar.

“Anaa, Abi hanya mau kamu memberikan jawabmu, apapun itu. Abi tidak menyuruhmu menerima, tidak juga menolaknya, semuanya Abi kembalikan padamu.” Abi menatap Anaa serius, “Laki-laki juga bisa patah hati, Nduk. Jangan biarkan hati yang telah patah, menjadi semakin patah, hingga tak mampu diperbaiki.”

Anaa berkaca-kaca mendengar petuah Ayahnya. Dalam tiga hari ini tak pernah absen ia menitikkan air mata. Ia merasa hanya mementingkan perasaannya sekarang, hanya mengandalkan egonya, dengan dalih kebimbangan akan pilihan yang akan ia tentukan.

“Kamu sebenarnya sudah punya jawaban, bukan?” terka ayah Anaa. “Lalu kenapa kamu diam?”

“Abi, bukan maksud Anaa demikian. Ini semua diluar kendali Anaa, Abi. Anaa tidak menyangka akan jadi seperti ini.” Anaa kembali menitikkan air matanya.

“Nduk, mau kamu jawab sekarang, ataupun nanti, semuanya akan tetap menyakitkan, untuk mereka yang tak berkesempatan menyatukan hati.”

“Anaa harus apa, Bi? Dengan kak Ryan yang mengharap sepenuh hati? Kak Azzam yang begitu mencintai dan sampai sekarang masih belum jua sadarkan diri? Atau kak Arfan dengan segudang rindu selama ini? Bukankah terlalu tega jika Anaa katakan sekarang?” Anaa menatap nanar ayahnya.

Tasbih Kerinduan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang