13 ~ Aku Mencintainya

2.1K 105 3
                                    

---

-Harapku tulus dari hati, ingin gadisku terima segala rasa yang membuncah ini-

***

    “Ya assyiqal musthofa, abshir bi nailil muna.”

Sepanjang perjalanan beriring dengan dentingan lagu sholawat, menyejukkan udara hangat sore hari ini. Sejauh mata memandang mulai berganti, dari gedung-gedung tinggi, menjadi hamparan sawah bak permadani, khas nuansa pedesaan. Kicau burung yang hendak kembali ke sarangnya menemani nyanyian sore ini.

Anaa mengawali nyanyian sore ini, menghibur teman-temannya, pun gambarkan suasana hati meliput kelegaan dalam diri. Selain itu, hal ini Anaa lakukan untuk menghindari Syifa yang terus-menerus menggodanya, dengan embel-embel Ryan yang tiba-tiba hadir dan memberinya bunga juga hadiah. Katanya, untuk ucapan selamat, tetapi bukan Syifa namanya kalau tidak mengacau Anaa.

Ya assyiqal musthofa, abshir bi nailil muna, qad-” nyanyian Anaa terhenti begitu saja. Teman-teman menoleh padanya, namun pandangannya tertuju pada Azzam yang terdiam sejak memasuki mini bus.

Merasa di perhatikan, Azzam menoleh. Pandangannya bertemu dengan Anaa.

Anaa tersentak, segera alihkan pandangan. “Astaghfirullah, maafkan Anaa ya Allah,” batin Anaa, sembari menutup mata.

“Kenapa, Naa?” tanya salah seorang anggota banjari.

“Eh, enggak kok. Gak apa-apa,” jawab Anaa tersenyum sungkan.

“Kenapa, Gus? Dari tadi diem aja,” ganti, tanya anggota banjari yang lain pada Azzam.

“Capek aja. Agak ngantuk juga,” singkat Azzam sembari menutup mata. Semua memandang heran, tak terkecuali Syifa, yang sedari tadi diam memandang Anaa dan Azzam.

Anaa terdiam dengar jawaban Azzam. Tidak biasanya Azzam demikian. Azzam merupakan sosok yang ramah dan senang bergaul dengan siapapun. Melihatnya diam, meski dengan alasan mengantuk, rasanya ada yang berbeda.

Sisa perjalanan diwarnai deru kendaraan saja. Tak ada canda ataupun nyanyian seperti sebelumnya. Beberapa mulai tertidur, dan yang masih terjaga hanya diam karena taka da teman bicara.

Setibanya di pesantren, hari sudah mulai gelap. Maghrib hanya menghitung menit. Masing-masing kembali ke kamar asrama, beristirahat sebentar, dan persiapan sholat maghrib.

Pesantren tampak lebih senggang dari sebelumnya. Sebagian santri sudah pulang ke rumah masing, dan ada pula yang memilih tinggal, tidak pulang di semester ini.

“Bi,” Azzam memanggil ayahnya. “Azzam mau bicara, nanti ba’da maghrib.” Azzam berlalu begitu saja. Bahkan ustadz Hamdhan sendiri heran perhatikan Azzam.

Anaa dan Syifa yang kebetulan masih mengambil barang di mini bus, mendengar percakapan keduanya.

“Mas Azzam kenapa?” tanya Syifa, menoleh pada Anaa.

Anaa menggeleng sebelum menjawab, “Anaa juga nggak tau.”

Syifa terdiam sejenak,”Anaa nggak sholat kan, tadi? Langsung ke kamar aja, Syifa nunggu di masjid buat jamaah, dari pada bolak-balik.” Anaa mengangguk sebagai jawaban. Anaa berjalan ke arah utara, tempat gedung asrama, kamar mereka. Sementara Syifa, duduk termenung memegang mukena di serambi masjid.

***

Selepas jamaah maghrib, Azzam duduk di serambi masjid, menunggu ayahnya selesai berdzikir. pikirannya menerawang kesana kemari. Semua kejadian hari terus berputar, enggan pergi dari kepalanya.

Tasbih Kerinduan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang