7 ~ Sepucuk Surat

3.2K 144 13
                                    

---

-Aku ingin menyapa, sekejap saja… lewat kata ku ungkap cinta di dalamnya-

***

Bintang gemintang bertabur hiaskan langit malam. Bulan seakan terbelah sebilah awan. Menutup sebagian kecil kilauan terang namun khas nuansa penuh ketenangan. Gesekan dedaunan oleh sang angin bak melodi sederhana penuntun malam yang semakin temaram.

Masih terdengar sayup-sayup alunan nada penyejuk hati, dari beberapa santri. Sebagian kecil membaca dengan suara lantang, namun penuh penghayatan. Beberapa lainnya, hanya merapal, untuk dihafalkan.

"Wa huwal –'aliyyul –'azhiim."

"MasyaAllah," suara lembut dari dalam masjid menginstrupsi kegiatan mengajinya.

"Shodaqqa Allah hul –'azhiim. Alhamdulillah," ucap gadis cantik tersebut sembari mencium sayang Al-Qur'an-nya.

"Maaf ya, Kakak ganggu. Suara Adek indah sekali." Dengan senyum sederhana namun begitu mempesona Azzam lontarkan kekagumannya.

"Eee, tidak Kak. Justru Anaa yang minta maaf, maaf kalo suara Anaa terlalu keras dan mengganggu Kakak," jawabnya dengan menunduk.

"Anaa, Anaa. Kamu ini. Masa iya orang ngaji di bilang ganggu," jawab Azzam, masih dengan senyuman. Sedang Anaa sendiri bingung akan bagaimana tanggapannya, hingga ia hanya menampilkan senyum dibalik wajahnya yang terus menunduk.

"Emm, oh iya, Abi minta Kakak nyimak bacaan Adek mulai besok. Hari ini sampai beberapa waktu ke depan, Abi cukup sibuk. Banyak tamu dan ada beberapa kunjungan dari pesantren lain. Emm... lombanya dua minggu lagi, kan? Kaya nya Adek juga udah siap."

"Aa… ee… iya Kak. InsyaAllah, Anaa mohon doanya," jawab Anaa gugup. Bukan karna suka ataupun apa. Tapi lebih pada rasa takutnya, takut dikira ber-khalwat. Apalagi dengan putra kyai-nya sendiri.

"Gus! Gus Azzam!" teriak seseorang dari jauh, "dipanggil Ustadzah tuh." Tambah seseorang tersebut.

"Hehh… di mana-mana baru dateng itu salam dulu," jawab Azzam menasehati.

"Duhh, maap. Khilaf, hehehe... Assalamu'alaikum."

"Hmm… Wa'alaikumusslam Warahmatullah. Tumben jam segini Umi manggil. Ada apa?"

"Ustadzah cuma bilang, 'Le, panggilkan Azzam ya.' Yaudah saya jawab 'siap, ustadzah'," ucapnya sambil menirukan gaya bicara ustadzah Ami, yang tak lain adalah bunda Azzam sendiri.

"Iya, iya. Saya kesana. Makasih, ya," jawab Azzam. Sedang pria utusan bundanya hanya mengangguk dan pergi begitu saja.

"Hadeehh, baru dibilangin. Udah lupa lagi. Hmm," ucap Azzam geleng-geleng, karena lagi-lagi seseorang tadi tidak mengucap salam.

"Dek, Kakak ke Umi dulu ya. Besok dan seterusnya, disini ba'da maghrib, ya."

Anaa hanya menangguk mendengar penuturan Azzam. Sedari datangnya seseorang yang memanggil Azzam tadi, dirinya tidak lagi fokus akan pembicaraan dengan Azzam. Baik yang dengan dirinya, maupun laki-laki pemanggil tersebut.

Matanya tertuju pada langit. Hatinya berdesir melihat taburan bintang, yang begitu penuh di angkasa. Ia masukkan tangannya di saku gamis yang ia kenakan. Mengambil benda kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Ya, tasbih.

Dipandanginya tasbih tersebut. Bergantian sembari menatap bintang.

"Kakak masih inget Anaa, kan?" monolog Anaa.

"Kakak sebenernya kemana sih, Anaa kangen sama Kakak. Dosa juga sih ngangenin lawan jenis kek gini. Tapi kan, Kakak sih. Makanya Kakak temuin Anaa. Biar Anaa gak kangen, biar Anaa nggak dosa juga," kata Anaa masih dengan monolognya yang lebih panjang.

Tasbih Kerinduan √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang