"Sudah dua minggu, tapi Tuan dan Nyonya belum pulang..." gumam seorang anak kecil, di perkampungan Goshen.
"Mereka pasti sedang mengurus perkara yang cukup penting." Kata ibunya.
"Aku rindu dengan Nyonya Puah, bu... apakah ia masih hidup?"
"Entahlah, sama sekali tidak ada kabar dari mereka..."
"Apakah Orang-orang Mesir itu akan mengganti tabib kita dengan tabib yang lebih jahat? Ibu, mereka sungguh baik, aku tidak ingin berpisah dari mereka..."
"Ibu juga tahu. Tapi kita hanya bisa berdoa kepada TUHAN, agar mereka selamat, dan bisa kembali ke sini. Ibu juga sangat merindukan mereka..." lalu sang ibu masuk ke dalam rumah, sementara si anak terus termangu memandang ke selatan. Ketika matahari mulai terbenam, ibu mendengar suara anaknya dari luar.
"Ibu! Ibu! Kemarilah!"
"Ahh!" ibunya memandang tak percaya; di ujung langit ia melihat dua sosok wanita yang berjalan lunglai. "Ini bukan mimpi! Nak, panggil ayahmu, katakan 'Nyonya Sifra dan Nyonya Puah sudah kembali!"
Tapi anak itu berteriak di sepanjang jalan. Dan semua orang keluar dari rumahnya, menyambut kedatangan Sifra dan Puah. Dua pria menggunakan kedua kuda yang telah tiba sehari sebelumnya dan berlari menyongsong kedua bidan itu. Mereka menjemputnya di tengah perjalanan, dan menyambutnya dengan begitu meriah ketika mereka memasuki Goshen.
Mereka turun dari kuda mereka dengan wajah yang sedih dan lesu, walaupun semua budak yang ada di sana bersorak gembira. Setelah beberapa saat berjalan masuk ke Goshen akhirnya mereka semua menyadari sesuatu.
"Dimana Tuan Hapmose?" Tanya seorang budak.
"Kami tidak bisa menjawabnya saat ini. Kami sangat butuh istirahat—"
"Dan mandi..." sambung Puah, yang merasa jijik karena ide Sifra untuk bersembunyi diantara tumpukan mayat budak, dan karena memang hanya itulah satu-satunya pilihan bagi mereka untuk melarikan diri dari Heliopolis.
"Apa yang harus kita katakan kepada mereka, Puah?"
"Entahlah—aku tidak tahu, Sifra. Rumah ini terasa begitu kosong tanpa Hapmose—" Puah menangis tersedu. Sifra duduk dan memeluknya, lalu mereka berdua bertangis-tangisan. Biasanya, ketika mereka menangis seperti ini, akan ada seseorang yang memegang pundak mereka berdua, dan mengatakan semua akan baik-baik saja, tapi kini, ia telah tiada—dengan cara keji bangsa Mesir.
Tidak ada lagi lelucon dari seorang pria tua yang menyegarkan jiwa kedua wanita muda itu. Tidak ada lagi sosok pria yang mereka pernah tahu membawakan air dari sungai Nil dan membetulkan pintu reyot ketika rumah itu masih berupa pondok. Tidak ada lagi seorang pria yang membantu mereka ketika mereka kelelahan mengurus persalinan di seluruh Goshen—dan mereka merasa sangat kehilangan.
Puah berjalan keluar, dan bertanya kepada para pria yang ikut membantu pembangunan rumah itu. Ia bertanya, dimana puing-puing sisa pondok mereka yang lama. Mereka menunjukkannya padanya. Puah mengangkat pintu pondok seorang diri, dan membawanya ke rumah. Di rumah, ia meletakkan pintu itu di atas petiduran—yang dulunya milik—Hapmose.
"Kau selamanya ada di hati kami..." Tangis Puah, dan Sifra.
"Ternyata memang sekejam ini bangsa kita, Puah. Tepat seperti yang pernah Tuan Kohath katakan kepadaku: mereka mengira diri mereka sendiri adalah Sang Pencipta sehingga mereka merasa berhak untuk mengambil nyawa siapa saja—termasuk dengan perbudakan yang selama ini terjadi..." kata Sifra dengan mata yang basah.
"Dan tidak mungkin bisa lebih buruk lagi dari ini—aku tidak bisa membayangkan apapun itu—"
"Sebenarnya..." mulai Sifra. "sebenarnya ada, Puah. Dan jauh lebih menakutkan daripada yang bisa kita bayangkan..."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crimson Bracelet
Historical FictionKisah yang belum pernah diangkat sebelumnya mengenai 2 wanita yang menyelamatkan hidup seorang bayi yang akan menjadi pemimpin besar. Telusuri kisah persahabatan dua gadis Mesir melewati perbudakan yang kejam, kisah cinta yang rumit, sampai konspi...