5. Memphis dan Si Kapten

44 2 0
                                    

"Aku pernah mengatakan pada kalian sekilas bahwa aku adalah pelayan dari seorang tuan di Akhetaton. Aku sedikit berbohong. Sebenarnya aku adalah seorang budak yang ia beli karena aku tidak bisa melunasi semua hutang-hutangku kepadanya—aku bisa meyakinkanmu bahwa aku dijebak. Dari masa mudaku aku hidup sebagai budak di rumahnya. Dan akhirnya aku menikah dan memiliki anak—juga berstatus budak.

"Ketika kedua putriku seumuran kalian berdua, dua-duanya tiba-tiba sakit. Istriku mengatakan bahwa mereka terkena malaria. Tapi aku tetap saja curiga, dan menjadi yakin dalam diriku bahwa kedua anak gadisku tidak terkena malaria, karena mereka tidak hanya panas, tapi menangis tiap hari dan hampir tiap jam.

"Aku bertanya kepada putriku yang lebih tua, apa yang terjadi dengannya. Tapi dia hanya menjawab dengan tatapan yang kosong, tanpa sepatah katapun. Tapi aku mendapat jawaban dari anakku yang kedua. Ia menangis dan menjerit—itu jawabannya. Aku sudah tidak dapat menahan keingintahuanku. Aku bertanya pada istriku dan setelah lama berkilah, akhirnya ia menceritakan hal yang sebenarnya.

"Tuanku memiliki lima anak laki-laki. Setiap hari mereka melihat kedua putriku menimba air di sumur dan melayani di dalam rumah. Dan setelah tidak tahan melihat paras kedua anakku, mereka memperkosanya. Dan kejadian itu tidak hanya terjadi sekali. Tiap kali aku pergi ke ladang, dan tiap kali ayah mereka tidak berada di rumah, mereka akan melakukannya."

"Ketika aku mengetahui hal ini, aku tidak bisa lagi menahan amarahku. Mereka telah membeliku dan keluargaku sebagai budak bukan berarti mereka bisa merenggut kehormatan anak-anakku begitu saja. Aku memanggil anak tertua dari tuanku, dan membawa dia ke tengah ladang di samping sumur. Di sana aku membunuhnya, dan setelah memastikan bahwa dia sudah mati, aku memasukkannya ke dalam sumur dan menimbunnya dengan batu-batu besar dan dengan pasir.

"Tanpa berpamitan dengan keluargaku aku melarikan diri ke utara—hanya ke utara tanpa tujuan yang pasti. Hanya utara—menjauh dari Tuanku yang pasti sedang memburuku. Aku sebenarnya merasa aman dan nyaman berada di Goshen, jauh dari kemewahan Akhetaton yang menyesatkan. Lagipula, aku bertemu dengan kalian berdua ketika aku di Heliopolis, seolah kerinduanku akan kedua anakku terobati.

"Di menit aku melihat kalian, aku tidak melepaskan pandanganku sedikitpun dari kalian. Dan ada lagi yang harus aku akui kepadamu, sebenarnya aku tidak ditugaskan di Goshen..."

"Tapi di?"

"Akhetaton..., mustahil bagiku untuk kembali kesana, lagipula, itu berarti harus berpisah dengan kalian—yang dalam pandangan mataku seperti anakku sendiri. Tapi kini yang jelas yang kurasakan sekarang adalah, aku takut."

"Kurasa kau tidak perlu terlalu takut, Hapmose, karena tuanmu berada sangat jauh di selatan. Kecuali tuanmu adalah seseorang yang berpengaruh di Mesir..."

"Tuanku adalah Tuan Tefnakht, Panglima Pasukan Mesir. Dia bisa dimana saja saat ini, dan pasukannya bisa saja ada di sekitar kita. Dia tidak perlu mengumumkan pada seluruh masyarakat bahwa ia sedang mencariku. Pasukannya sendiri cukup untuk melacak keberadaanku. Dan ketika ia mendapati diriku, ia akan sekaligus mendapatkan nyawaku, dan nyawa keluargaku." Sifra hanya bisa diam kini. Hapmose memiliki cerita yang menyedihkan untuk diangkat.

"Meskipun ia adalah tuanmu, ia tidak berhak mencabut nyawa kalian! Itu bukan bagiannya!"

"Ia memandang dirinya sendiri sebagai dewa, karena memang dia memiliki darah para dewa yang mengalir dalam tubuhnya dan kelima anaknya. Kalau memang aku tertangkap, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Aku buronan yang kini menunjukkan diriku di salah satu kota besar..."

Bagaimana dengan TUHAN? Pikir Sifra. Ucapan Tuan Kohath memang benar. Banyak orang Mesir yang, tidak hanya kepada para budak tapi juga kepada sesama orang Mesir, menganggap diri mereka berhak mencabut nyawa manusia. Dan apakah aku harus menjadi sama seperti mereka?

The Crimson BraceletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang