9. Neter Nefer

55 2 0
                                    

"Apa yang harus kita katakan?" Tanya Puah putus asa ketika mereka mulai berjalan melewati Aula Pilar yang sangat megah. Tapi kemegahan itu—bisa terasa untuk mereka berdua—sangat mematikan, setidaknya bagi para budak. Pilar yang terbuat dari marmer dengan warna mencolok dan tugu-tugu dari batu gamping dengan tulisan-tulisan hiroglif yang diwarnai terang. Pot-pot bunga lili dan ratusan jenis bunga lain—sehingga lebih terasa berada di tepi sungai Nil, dari pada berada di istana dari kerajaan terbesar—sekaligus terkejam—di seluruh dunia, berhadapan dengan orang yang disebut sebagai Sang Dewa yang Sempurna: Neter Nefer, Firaun itu sendiri.

"Entahlah..."

"Bagaimana kau bisa—kau berkata bahwa TUHAN akan membantu kita—dan sekarang kau tidak tahu apa yang harus kita katakan?"

"Aku minta maaf, Puah..., aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya berharap, kematian yang akan menjemput kita datang dengan cepat, dan tidak terlalu menyakitkan..." jawab Sifra lemah dengan kepala tertunduk. Di kepalanya berkecamuk sejuta kemungkinan kematian yang lebih menyakitkan dari yang ia tahu menimpa keluarga Hapmose.

Puah menyadari betapa Sifra telah patah.

"Tidak—kita tidak akan mati..." katanya dengan berbisik.

"Ya—dan Firaun tidak ada di istananya..." kata Sifra pelan dengan nada mengejek.

"Kau tidak boleh berbicara seperti itu! Aku yakin apa yang kau katakan bisa saja terjadi..." Puah berusaha menyemangati Sifra.

"Kita lihat saja..."

Pintu Aula Pertemuan dibuka. Aroma rempah-rempah yang dibakar langsung menggelitik hidung kedua bidan para budak itu. Mereka dibawa lebih masuk untuk mendekat ke hadapan Firaun. Mereka berdiri di hadapan Firaun, tapi kedua prajurit yang membawa mereka menendang bagian belakang kedua lutut mereka sehingga mereka jatuh bersimpuh.

"Mengapakah kamu berbuat demikian membiarkan hidup bayi-bayi itu?" Tanya Firaun langsung. Kelihatannya ia tidak begitu peduli dengan perlakuan kasar yang baru saja terjadi di hadapannya. Perhiasan di kepalanya menjulang tinggi, dengan ukiran ular tepat di depan dahinya. Ratusan lencana dan perhiasan yang dipahat dan ditatahkan pada jubah kebesarannya. Tongkat melengkung ia pegang di tangannya. Ia menanti jawaban dari kedua bidan ini. Matanya terangkat sombong memandang kepada kedua bidan. Cincin-cincin bertatahkan batu-batu termulia dari seluruh dunia berkumpul di jari-jarinya, melambangkan kekuasaannya yang tertinggi atas semua kerajaan di bumi. Melihat ini semua, Puah tidak tahu—memang dari awalnya dia tidak tahu—apa yang harus dia katakan. Dia hanya bidan, yang mencoba melawan penguasa tertinggi di seluruh dunia.

"Apa yang Yang Mulia maksud?" jawab Puah terbata-bata.

"Jangan membuat mulut sucinya mengucapkan kata-kata lagi! Kau sudah mendengarnya! Jawab!" umpat Kapten Shosenq. "Kami sudah mengikuti kalian dan kami menyaksikan semuanya! Meskipun Yang Mulia Firaun sudah memerintahkan kalian untuk membunuh semua bayi laki-laki, kalian masih membantu persalinan para budak, dan membiarkan semua bayi laki-laki mereka hidup! Kalian tidak bisa menyembunyikan apa-apa lagi! Pemberontakan kalian berhenti disini!" ungkap Kapten Shosenq puas dan angkuh.

"Yang Mulia—Raja Diraja Mesir dan seluruh bumi, yang kemuliaannya disaksikan oleh segenap budak dan rakyatmu, dan kejayaannya tak pernah habis—kekallah hidupmu..." Puah memutar-mutar katanya seraya mencari lanjutan yang tepat untuk mengatakan sesuatu kepada Raja Terbesar yang tampaknya sudah tidak sabar lagi menunggu kata-kata dari mulut kedua bidan.

"Terima kasih atas pembukaanmu itu. Sekarang, jawab pertanyaan Paduka ..." kata seseorang yang berpakaian tentara lengkap, dan Puah tahu pangkatnya lebih tinggi dari Kapten Shosenq, sehingga ia berasumsi kalau inilah yang bernama Panglima Besar Tefnakht.

The Crimson BraceletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang