14. Sungai Yang Berdarah

55 2 0
                                    

Tidak banyak yang bisa diceritakan mengenai kepergian Sifra ke Heliopolis, selain para mandor yang termangu melihat wanita yang selama ini mereka cambuk, naik di atas tandu dan dibawa ke Heliopolis. Sesampainya di Heliopolis, Sifra tidak banyak berbicara kepada orang disana. Imam Siptah memang tidak sejahat yang ia bayangkan. Ia memanggil mata keluarga Iuput—kakek Sifra—tapi hanya Sifra yang hadir. Ia maju dan mengambil harta warisan miliknya berupa sekantung penuh koin emas, dua pasang budak laki-laki dan perempuan, serta Surat Kepemilikan Tanah.

"Aku minta tanah di Goshen..." kata Sifra singkat ketika Imam Siptah hendak menandatangani sebidang lahan subur di sekitar On (atau Heliopolis; Imam Siptah menulis kota itu dengan nama 'On' bukannya 'Heliopolis' untuk menyatakan dukungannya terhadap dinasti lama).

"Oh... sayang sekali..." Imam Siptah keheranan, "mengapa begitu?"

"Disana tempatku, disanalah aku tinggal dan bersama para budaklah aku akan hidup sampai aku mati."

"Kau, keturunan baik dari orang terhormat—tidakkah kau ingin memberi penjelasan yang lebih logis, jika kau tidak keberatan? Yang aku sayangkan adalah, kekuasaanku memberi Surat Kepemilikan Tanah hanya dibatasi di dalam On dan radius beberapa lemparan batu ke empat penjuru mata angin. Goshen jelas diluar kekuasaanku."

"Kalau begitu kau boleh menyimpan surat itu untukmu sendiri," Sifra berdiri dan merapikan barang-barangnya. "aku hanya mengambil apa yang aku bisa ambil dan aku akan kembali ke Goshen; jika kau tidak keberatan..."

Empat budak dari Nubia yang ditugaskan khusus untuk membantu Sifra ikut tinggal bersamanya di rumah Hulda. Kepergiannya ke Heliopolis memberi beberapa dampak positif khususnya bagi Sifra di depan para mandor. Mereka tidak lagi menyuruh Sifra untuk bekerja sebagai budak. Sifra berkata kepada mandor bahwa ia membeli Hulda sebagai budaknya, sehingga Hulda tidak perlu lagi bekerja sebagai budak dalam pembangunan bersama budak-budak lain. Sifra membayar beberapa budak pekerja untuk memugar rumah Hulda. Ia membeli persediaan makanan dan beberapa perabot untuk mengisi rumah Hulda.

Ia membuka rumahnya untuk tempat beristirahat para budak yang tinggal di sekitarnya ketika malam tiba. Ia dan budak-budaknya menyediakan makanan bagi siapa saja yang datang.

"Nyonya," mulai Hulda sambil mengangkat piring kotor ke dapur, "aku melihat kebaikan hatimu. Tapi jika kau hanya mengandalkan sekantung koin emas untuk kau keluarkan dan menjamu para budak, pada akhirnya kau akan kehabisan uang dan kau tidak bisa lagi melakukan hal mulia ini..."

"Apa yang anda katakan itu benar. Mungkin aku akan membuka usaha—menjual papyri seperti yang ibuku lakukan dulu ketika aku masih kecil. Siapa yang tidak membutuhkan papyri?" senyum Sifra tersimpul tipis.

"Itu ide yang baik, Nyonya. Aku bisa membantu mencari papyri di tepian sungai dan rawa-rawa..."

"Kalau kau tidak keberatan..."

"Tentu saja tidak."

Tanpa Sifra duga, beberapa hari berlalu dan usaha mereka berjalan dengan cukup baik. Beberapa koin ia gunakan untuk membayar orang untuk membuat satu kedai berjualan segala produk papyri di depan rumah Hulda. Kanzhe, salah satu budak yang berasal dari Nubia, dengan senang hati membuat kertas dari papyri dan menjualnya juga di kedai itu, satu keterampilan yang marak di tempat asalnya. Sifra membuka keranjang lamanya dan melihat segulung Benang Kirmizi, pemberian yang dulu ia dan Puah pernah terima dari seorang budak. Ia memberikan gulungan benang itu kepada Hulda untuk dia rajut.

Malam itu ketika kedai sudah tutup dan para budak berkumpul untuk makan malam di rumah Hulda, seorang budak membawa kabar untuk mereka semua.

"Pergolakan besar di Memphis!" kata seorang budak bernama Ezer. Budak-budak yang lain riuh rendah dan memperhatikan lekat. Sifra yang mendengar ini dari ruang belakang, mengeringkan tangannya di apron di pinggangnya sambil berjalan ke ruang depan.

The Crimson BraceletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang