"Apa...? Ada apa?" Puah juga melihat ke belakang. "Sial!" Ia merangkul Sifra lebih erat, dan mulai berlari.
"Hei kalian!" kata suara di belakang mereka. "Jangan berlari lebih jauh! Hei!" Puah memicingkan matanya dan menyadari bahwa itu adalah si prajurit. "Biarkan aku mengawal kalian sampai ke tempat kalian. Padang pasir bukanlah tempat yang baik bagi dua wanita yang kelelahan, dan terluka. Di mana rumah kalian?"
"Kami tidak punya rumah..." jawab Puah.
"Baiklah..., di mana selama ini kalian tinggal?"
"Di Goshen..."
"Ijinkan aku mengawal kalian sampai ke sana."
Tanpa menunggu jawaban Sifra dan Puah, prajurit itu memimpin jalan. Ia berjalan beberapa langkah di depan para wanita dengan tombak di tangan kanannya. Puah memperhatikan betapa tegapnya prajurit itu. Ia memperhatikan jejak yang dibuat si prajurit di atas pasir tandus yang berdebu dan mencoba mengikutinya, sampai ia berjalan seirama dengan si prajurit, meski tidak bergandengan tangan dengannya.
Sore itu, angin mulai menghantam dari sebelah kanan mereka. Sifra dan Puah menutupi mulut dan hidung mereka dengan kain yang tadinya digunakan oleh si prajurit untuk menutupi kepalanya. Ia memotongnya dengan belati dan membaginya menjadi dua, lalu memberikannya kepada Sifra dan Puah.
"Tidakkah sebaiknya kita berlindung dulu?!" Tanya Puah.
"Tidak ada tempat untuk berlindung, Nyonya! Tidak ada satupun batu yang menyembul untuk kita berteduh dari angin gurun ini! Tapi, kecepatan angin ini masih terbilang rendah! Kita masih bisa berjalan melewati angin ini!" si prajurit harus berbicara lebih keras supaya Puah bisa mendengarnya.
Si prajurit berjalan di depan mereka, dan mengangkat tongkatnya. Dan di tengah angin yang kencang, ia memicingkan matanya ke segala arah untuk memastikan mereka tidak melewatkan tempat yang mungkin bisa dijadikan perteduhan. Puah dan Sifra mengikutinya perlahan menaiki bukit pasir, yang membutakan mereka dengan ratusan debu yang menyerang mata mereka bersamaan.
"Goshen ada di sebelah utara! Kita masih bisa melanjutkan perjalanan tanpa tersesat selama matahari berada di sebelah kiri kita! Dan aku yakinkan, kita bisa—"
"Siapa namamu, prajurit terhormat?" Tanya Sifra ketika si prajurit menunjuk-nunjuk arah mata angin.
"Aku?! Osorkor, Nyonya! Namaku Prajurit Osorkor! Ada apa, Nyonya?"
"Tidak apa. Aku hanya ingin berterima kasih."
"Bukan apa-apa, Nyonya. Aku hanya melaksanakan tugasku, sebagai bukti kesetiaanku kepada Sang Dewa Sempurna..." Jawab Prajurit Osorkor pelan sambil memalingkan wajahnya ke utara.
Semakin lama, angin bertiup semakin kencang. Dan tetap mereka tidak menemukan tempat untuk berteduh dari badai pasir itu. Prajurit Osorkor melepas jubahnya dan menudungi kedua wanita dengannya. Ia terus memicingkan mata menembus jutaan butir pasir yang terbang di hadapannya.
"Tidakkah pasir-pasir itu menembus ke matamu, wahai prajurit?!" Tanya Puah.
"Bukan bermaksud untuk membanggakan diriku di hadapanmu, Nyonya, tapi aku sama sekali sudah terbiasa dengan semua ini! Dengan inilah kami sebagai prajurit dilatih, dan syukur kepada para dewa, aku merupakan salah satu dari yang terbaik!"
Mereka terus berjalan ke utara, dengan Prajurit Osorkor yang memimpin. Pasir di kaki mereka seperti enggan melepas mereka. Kaki mereka terbenam sampai ke betis, dan terkubur lebih dalam oleh pasir jika mereka berhenti berjalan. Bagi Sifra, tempat itu seperti neraka panas yang berdebu: sama sekali menyiksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Crimson Bracelet
Historical FictionKisah yang belum pernah diangkat sebelumnya mengenai 2 wanita yang menyelamatkan hidup seorang bayi yang akan menjadi pemimpin besar. Telusuri kisah persahabatan dua gadis Mesir melewati perbudakan yang kejam, kisah cinta yang rumit, sampai konspi...