10. Kemerdekaan

45 2 0
                                    

Sifra dan Puah hampir tidak mempercayai ini. Seonggok tubuh manusia yang lemah berbaring di sudut penjara yang suram di lantai yang kotor dan dingin. Dan di sekitarnya, mereka bisa merasakan dengan kaki telanjang mereka, makanan yang selama berminggu-minggu dilemparkan ke Hapmose telah menjadi lendir busuk yang berjamur; itulah sumber kabut bau busuk di ruangan sel itu.

"Hapmose, kenapa bisa seperti ini...?" isak Puah.

"Aku hanya budak..." Hapmose mengasihani dirinya sendiri. Sifra menggapai Hapmose dan memeluknya. Ia tidak peduli dengan semua bau busuk, dan lendir yang menempel di tubuhnya. Puah pun berbuat demikian. "Aku hanya budak yang layak mendapat hukuman dari tuannya..."

"Tidak sejauh ini..." kata Puah, "tidak harus sejauh ini..." Puah ikut terisak.

"Kalian belum tahu semua..." lanjut Hapmose.

"Apa lagi yang bisa lebih buruk dari semua ini?" Tanya Sifra.

"Seorang pejabat Mesir. Mereka mengatakan bahwa kakinya terluka karena serpihan asbes di sebuah proyek pembangunan besar. Kakinya mengeluarkan nanah begitu parah dan akhirnya ia harus diamputasi. Kepala penjara yang jahat—yang menjilat Firaun dan Panglima Besar agar mendapat kenaikan pangkat—mengemukakan pada mereka bahwa di penjara Firaun terdapat seorang budak penjara yang buta dan tidak bisa berbuat apa-apa selain berjalan ke sana ke mari. Dan akhirnya ia berhasil. Dalam kedua arti. Ia mendapat kenaikan pangkat, dan pejabat itu mendapat kakiku..."

Horis masuk membawa lampu untuk memberitahu bahwa Sifra dan Puah harus segera pergi. Dan ketika cahaya jatuh ke tubuh Hapmose yang renta itu, tidak satupun baik Sifra, Puah, maupun Horis sendiri yang bisa mengenalinya. Tubuh kurus. Kepala botak. Karpet jamur yang tumbuh subur di seluruh pakaiannya. Kedua rongga mata yang kosong. Dan tanpa kaki.

"Jadi mereka benar-benar sudah..." Horis tidak bisa percaya apa yang sedang ia lihat.

"Begitulah, kawanku."

Puah dan Sifra terlalu terkejut untuk bisa berkata-kata. Tidak ada bahasa yang bisa mereka ungkapkan, bahkan yang tak terkatakanpun rasanya tidak cukup. Hanya bahasa air mata dari kedua wanita yang akan segera berpisah dengan orang malang yang selama ini mereka kira mati, yang padahal keadaannya jauh lebih buruk dari pada mati.

"Aku minta maaf tapi kalian berdua harus..." kata Horis yang diacuhkan oleh Sifra dan Puah. Kedua wanita, dan Hapmose, bertangis-tangisan di sudut kotor penjara gelap itu.

"Keluarlah kalian berdua. Hiduplah sebagai orang merdeka. Dan jaga kemerdekaan itu di dalam hati kalian." Tangan kurus Hapmose yang menghitam menjangkau pipi kedua wanita. Tangan itu gemetar. Gemetar karena senang. Gemetar karena sedih. Gemetar karena bahagia. Gemetar karena pilu. "Pergilah. Semoga kedamaian selalu bersama dengan kalian."

"Denganmu juga..."

"Tidak—tidak. Aku tidak perlu itu. Untuk kembali bertemu kalian pun, satu kebahagiaan besar di penghujung usiaku. Yang membutuhkan kedamaian adalah kalian berdua, demi semua yang ada di hadapan kalian. Sekarang pergilah..."

Tapi Sifra dan Puah enggan melepaskan pelukannya dan Hapmose.

"Kami tidak mau berpisah darimu..."

"Tapi aku akan berpisah dengan kalian—suka tidak suka. Pergilah. Pergilah dengan damai—tunggu, satu lagi..."

Puah dan Sifra memperhatikan Hapmose lekat, bibir yang lemah dan berkeriput yang berusaha mengatakan sesuatu kepada mereka.

"Aku minta maaf karena—karena aku pernah berbohong pada kalian... mengenai penugasan itu..., aku berkata semua orang menginginkan posisi kalian... tetapi kalianlah yang benar—siapa yang mau berurusan dengan para budak?"

The Crimson BraceletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang