12. Pembebas?

52 4 0
                                    

Malam keesokannya Osorkor bersiap untuk kembali ke Memphis. Ia mengenakan jubah keprajuritannya lengkap. Ia membawa perbekalan untuk perjalanan jauhnya. Ia membersihkan dan melumasi pedangnya, dan pergi ke selatan dengan pedang terhunus.

Ia tidak mengucapkan kata perpisahan terlalu panjang dengan Sifra dan Puah. Tapi Sifra bisa melihat sinar mata Osorkor di tengah malam yang gelap—begitu kuat seperti hari pembalasan dendam.

Puah melepas kepergian Osorkor ke selatan dengan kebisuan. Hanya angin dingin yang kencang yang berbisik semilir di telinga kedua wanita dan budak tua, tentang harapan dan cita-cita, yang tidak memiliki dasar yang pasti, tepat seperti selendang Puah yang ditiup angin kesana kemari.

Mereka terus mengamati Osorkor yang berjalan semakin jauh tanpa sekalipun menengok ke belakang. Puah bisa melihat utuh kini gambar diri Osorkor sebagai seorang prajurit—dan seorang pria. Ia tidak bisa menahan air matanya, yang sama sekali ia tidak mengerti mengapa ia menangis. Mereka mengamatinya terus, sampai akhirnya ia hilang dari pandangan.

"Sekarang, apa yang kita lakukan?" kata Puah.

"Apa maksudmu?" jawab Sifra sembari merapikan alat-alat pengobatan dan barang-barang mereka.

"Dalam waktu tiga sampai empat hari akan diutus Pelayan Kesehatan baru dari Heliopolis untuk menempati rumah ini..." jawab Puah sambil matanya menelusuri tembok dan dinding dalam rumah itu. "Sepertinya kita terlalu merasa nyaman akan rumah ini sehingga kita menganggap rumah ini sebagai tempat tinggal kita. Padahal ini tidak lebih dari tempat bertugas, klinik..."

"Selain itu..." Sifra duduk di samping Puah, "terlalu banyak kenangan yang terukir di rumah ini..., ingat waktu tembok-temboknya masih berupa bata-bata kasar dan berlubang disana-sini?"

"Atau atap dari jerami kering?" mereka berdua mulai tertawa tapi tidak bisa menyangkali air mata yang mengalir di kedua mata mereka.

"Dan pintu berlubang!—dan Hapmose..." dan kini mereka benar-benar terdiam. Mereka—terutama Puah—yang tadinya tidak terlalu mengharapkan Goshen sebagai tempat tujuan mereka, kini merasa sangat kehilangan mengetahui mereka harus segera meninggalkan tempat itu.

Puah menangis perlahan, tapi ia tidak bisa menyembunyikannya dari Sifra. Sifra merangkulnya sejenak, lalu keluar dari ruangan itu.

"Tuan Gispa..." kata Sifra pelan. "bila kau berkenan, tolong buatkan minuman hangat bagi Puah. Ia membutuhkannya."

"Ada apa, Nyonya? Apakah ia sakit lagi?"

"Tidak, Tuan—maksudku, entah bagaimana aku bisa mengatakan ini..."

"Ada apa? Kau bisa mempercayai aku—selama Imer pergi ke luar tentunya."

"Aku—maksudku kami..." Sifra membimbing Gispa keluar dan menutup pintu. "kami tidak lagi bekerja sebagai pelayan kesehatan. Kami telah dipecat dengan alasan mempermalukan Para Imam dan Tabib Agung di Heliopolis. Saat ini, kegundahan melanda hati kami karena kami harus segera meninggalkan rumah ini, dan semua kenangan yang ada di dalamnya."

"Dan seseorang yang baru akan diutus ke sini?"

"Tepat sekali, untuk menggantikan kami. Itu sebabnya, dalam waktu tiga hari kami harus mengosongkan rumah ini dari semua barang-barang pribadi kami. Tapi aku mohon, jangan ada budak lain yang mengetahui hal ini selain dirimu—termasuk Imer."

"Aku mengerti, Nyonya. Dua minuman hangat akan segera disiapkan."

Gispa berjalan menuju dapur dan meninggalkan Sifra di halaman sendiri. Ia duduk disana dan mengingat masa-masa seperti ini beberapa bulan yang lalu, dimana ia bisa menyaksikan perjalanan panjang matahari, hingga tenggelam di barat jauh. Hanya kini tanpa Hapmose dan tanpa semua tawa itu. Ia hanya merasa dirinya menjadi demikian malang dan naas—entah ada apa dengan semuanya.

The Crimson BraceletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang