#3

1.8K 67 1
                                    

Suara rintik hujan memenuhi ruangan. Perlahan pemandangan ruangan berwarna biru muda tertangkap mata, melewati saraf-saraf, lalu tiba di otak. Hingga akhirnya Marva tersadar bahwa ia berada di kamarnya sendiri, bukan di UKS. Ini pasti ulah Bagas.

Seketika ia bangun dan mendapati secarik kertas A4 ada diatas pangkuannya.

'Line gue kalau lo udah sadar. Gue gak bisa nemenin, ada ulangan sosiologi. -Bagas Ganteng'

"Ganteng darimana coba." Iapun segera mencari ponselnya dengan meraba saku kemeja putih dan rok abunya.

Air muka Marva seketika berubah ketika ia tak dapat menemukan ponselnya di saku kemeja maupun rok abunya.

"HP gue mana ya?" tanya Marva pada dirinya sendiri. Ia mengobrak-abrik seisi kasur mulai dari bantal, guling, boneka-boneka, bahkan celah kasurnya. Tetapi ia tak dapat menemukan ponselnya.

Marva menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil celingukan mencari ponselnya. Ia benar-benar lupa dimana menaruh ponselnya.

"Duh, dimana ya? Kok gue bisa lupa gini." Pandangan Marva jatuh ke tas ransel sekolahnya yang berwarna biru dongker di lantai. "Mungkin di tas."

Dengan jurus mager alias males gerak, Marva mencoba menggapai tasnya yang bersandar pada lemari baju. Kurang lebih satu meter dari posisinya yang masih berada diatas kasur. Jari-jemarinya mencoba meraih tas yang sedikit lagi dapat tersentuh.

Marva mendengus sebal dengan posisi setengah tubuhnya masih menggantung ditepi kasur.

TING! Ia mendapatkan ide.

Marva memberi ancang-ancang dengan menempelkan kakinya pada tembok dan bersiap mendorong tubuhnya agar dapat meraih tasnya.

Dengan seluruh kekuatannya, ia menjejakkan kaki pada tembok. Tubuhnya terdorong hingga dapat meraih tasnya.

Hap. "Gotcha!"

Sedetik kemudian tubuhnya yang bermassa 650 Newton terjun dari kasur setinggi kurang lebih satu meter. Jadi, hitung sendiri berapa energi potensial yang dihasilkan dari kekonyolan yang dilakukan Marva barusan.

"Aaaaw." Marva meringis karena pinggulnya habis beradu dengan lantai. Untung saja lemak tebalnya mampu mengurangi sedikit rasa sakitnya itu.

Ekspresi kesakitan Marva berubah seketika saat ia melihat kearah kolong kasur. Matanya tertuju pada tiga buah benda tipis berbeda ukuran berwarna putih hitam yang tergeletak dilantai bersama dengan sebuah kotak berukuran sedang berwarna putih polkadot.

Karena penasaran, Marva langsung menarik benda itu keluar dari kolong kasur. Tiga buah benda yang ternyata sebuah sketch book itu menyembul. Ia mengambil sketch book berukuran A5 yang berada ditumpukan paling atas. Sketch book ini paling tebal dibanding yang lainnya. Namun, saat ia membukanya, sketch book berdebu itu hanya berisi kertas-kertas kosong.

Marva beralih pada sketch book yang ukurannya sedikit lebih besar dari sketch book sebelumnya. Ia membuka halaman demi halaman, lalu tercengang. Dalam sketch book itu terdapat gambaran-gambaran beraliran geometris lengkap dengan tanda tangan guru dan nilai 'A' di pojok kanan bawah.

"Ini gue yang gambar?" tanya Marva pada dirinya sendiri. "Kok Bagas gak pernah cerita sih kalau gue jago gambar."

Marva masih membuka halaman demi halaman sketch book itu dengan takjub. Ia tak pernah menyangka gambaran itu adalah hasil karyanya.

"Anjaaay." Marva membuka halaman berikutnya. "Sejak kapan gue bisa gambar ginian ya?"

Setelah membuka halaman berikutnya, bukan ekspresi takjub lagi yang ada di wajah Marva, tetapi ekspresi bingung. Dari sekian banyak gambaran di buku tersebut, hanya ada satu gambar berobjek manusia. Dan entah siapa yang pernah ia jadikan objek gambarnya dulu.

Pada halaman kedua dari belakang itu tergambar seorang laki-laki berdiri membelakangi dengan kaki kirinya bertumpu pada sebuah bola sepak. Tubuh laki-laki itu kurus, dibalut dengan jersey dan kaus kaki panjang menutupi sebagian betis kecilnya lengkap dengan sepatu futsal. Potongan rambutnya sama dengan potongan rambut Bagas.

Awalnya Marva mengira ia telah menjadikan Bagas sebagai objeknya. Namun, ia sendiri menyanggahnya karena ia baru mengenal Bagas akhir-akhir ini. Setelah diteliti lagi, dipunggung laki-laki itu terdapat nomor punggung 8 dengan nama 'Rivaldo'.

Marva mengernyit. "Rivaldo?"

Otaknya bekerja keras untuk mengingat. Tetapi seingatnya ia tidak memiliki teman bernama Rivaldo. Lagipula jika ia tahu bahkan mengenal seseorang bernama Rivaldo itu, untuk apa ia menjadikannya sebuah objek gambar?

Tunggu. Disebelah gambaran seorang 'Rivaldo' itu, ada sebuah angka dan Marva sangat yakin itu adalah sebuah tanggal saat ia menggambar lelaki itu.

'241216'

Tak mau memikirkannya terus, Marva membuka halaman terakhir pada sketch book berukuran A4 itu. Ia kembali dibuat merenung setelah mendapati dirinya ada digambar terakhirnya.

Ia tidak mengada-ada. Wanita berambut ombak sebahu yang memakai seragam SMA itu adalah dirinya. Yang membuat Marva merenung adalah pada gambar itu, tangannya digenggam seorang lelaki kurus mirip dengan gambar Rivaldo tadi.

Sayangnya pada gambar itu, wajah si lelaki yang menggenggam tangan Marva tidak digambarkan, tetapi hanya diberi sebuah gelembung layaknya gelembung parcakapan dalam komik yang berisi tulisan,

'Kau terlalu indah untuk aku gambarkan'

Kalimat itu menggambarkan kalau Marva pernah menyukai lelaki yang wajahnya tidak terlihat itu. Tetapi, Bagas juga tidak pernah menceritakan soal siapa orang disukai Marva. Mungkin saja Bagas tidak mengetahuinya.

Sebelum menutup sketch book-nya, ia kembali membuka lembaran sebelumnya, gambaran Rivaldo. Ia terus mengamati gambar itu. Rasanya ada yang aneh.

SRTTT.

Lelaki yang keluar dari lorong itu...

SRTTT.

...Rivaldo.

Yang Telah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang