#10

1.4K 52 2
                                    

Marva dengan asal menyelesaikan quiz kimia yang—asudfghjkl–ah pusing. Tak peduli nilainya berapa, ini sudah lewat lima belas menit dari bel pulang bimbelnya, ia ingin segera pulang. Setelah menyimpan jawaban quiznya di meja depan, ia langsung melesat keluar dari kelas, meninggalkan teman-temannya yang masih kasak-kusuk mencari jawaban.

Gelap. Itulah keadaan kelas 301, kelas Bagas. Marva mendengus, Bagas pasti sudah keluar kelas sejak tadi. Ia turun dari lantai tiga dengan langkah cepat, berharap menemukan Bagas, tetapi tidak dicaripun Bagas pasti tetap menunggu dan mencari Marva jika ia telat keluar kelas.

Lorong lantai bawah kosong, hanya ada beberapa siswa kelas Marva yang baru saja turun.

"Marva, itu udah ditunggu yang jemput," ucap seorang security yang datang mencari Marva. Itu pasti Bagas, batin Marva.

Marva segera berlari kecil keluar, berharap menemukan Bagas disana, ia belum bertemu seharian dengan Bagas kecuali saat berangkat sekolah, rutinitas futsal Bagas setiap Jumat membuat Marva harus pulang sekolah dengan angkot dan berangkat les sendiri dengan ojek.

Untuk sekian kalinya Marva mendengus, parkiran kosong, ia tak menemukan Bagas disana. Hanya ada seseorang dengan helm full face duduk diatas motor R15 biru.

"Marva!" pengendara itu melambaikan tangan kearah Marva.

Kening Marva berkerut, "Audindra? Ngapain disini?"

"Jemput lo lah," jawab Audindra enteng. "Sekalian mau ngajak lo ngopi, mau kan?"

"T-Tapi, Bagas–"

"Gue tadi udah ketemu dia, udah bilang kalo gue mau ngajak lo ngopi, dia udah bilang iya."

Marva menggaruk kepalanya yang tak gatal, "k-kalo gitu, y-ya-yaudah ayo."

Tanpa banyak basa-basi lagi, Marva langsung naik ke atas motor Audindra dan melesat ke jalanan yang macet.

Saat itu juga, ada sepasang mata yang menatapnya perih, untuk yang kedua kalinya hari ini.

...

R15 biru Audindra berhenti di depan cafe kecil yang tidak begitu ramai.

"Ayo," dan tanpa permisi Audindra menggandeng tangan Marva, lagi.

Wangi kopi memenuhi udara di dalam cafe yang bernuansa khas cafe-cafe pada umumnya. Audindra memilih bangku strategis, dimana Marva dan Audindra dapat melihat seorang barista tengah meracik kopi.

"Mau kopi apa?"

Marva menatap daftar menu dihadapannya dengan bingung, ada banyak macam kopi disana. Satu-satunya yang Marva tau dan disukai hanyalah cappucino. "Cappucino aja, Din."

"Yakin? Gak yang lain?"

"Gue gak tau kopi mana yang enak selain cappucino, terserah deh, pilihin yang menurut lo enak."

"Magic latte, gimana?"

"Apapun pilihan lo."

Audindra langsung menghampiri barista itu, ia tampak sudah mengenalnya. Dari mejanya, Marva dapat menebak bahwa barista itu sedang membahas Audindra yang membawa seorang perempuan untuk diajak ngopi. Sebagai penutup percakapan, barista itu menepuk bahu Audindra dan melemparkan senyum kearah Marva lalu dibalas senyum canggung olehnya.

Audindra kembali duduk di tempat semula, tepatnya di depan Marva, "minjem hp lo."

"Buat?"

"Nelpon Bunda lo, gue yakin lo belum izin karena ajakan gue yang mendadak, jadi gue harus bertanggung jawab."

Marva tertawa renyah, sikap Audindra sangat menggemaskan. Tunggu, Marva tadi bilang apa?

"Bunda ada di Korea, ikut Ayah, adik juga disana, jadi gak ada seorangpun yang tau kalo gue keluyuran malem, tenang aja," ucapan Marva terpotong dengan datangnya seorang pelayan yang membawa secangkir kopi yang diatasnya terdapat motif hati dan segelas machiato untuk Audindra, "oh iya, kecuali Bagas. Berhubung lo udah izin, jadi udah aman."

Audindra mangut-mangut paham, "by the way, Bagas siapa lo sih? Saudara? Pacar? Peliharaan? Kok dia yang ngatur segala-galanya tentang lo sih?"

Marva yang tengah menyesap sedikit Magic Lattenya nyaris tersedak, "entahlah, gue terbangun di rumah sakit dengan kondisi gak tau apa-apa, di depan gue udah ada dia, dia menawarkan diri untuk membantu gue mengingat, udah gitu doang."

Terjadi keheningan sesaat, Audindra tampak ingin mengungkapkan sesuatu, namun selalu ia tahan.

"Va."

"Hm?"

"Sebenernya, ada yang mau gue omongin disini."

Marva tiba-tiba saja terkena serangan jantung kecil disertai salah tingkah berkepanjangan, "a-a-apaan?"

"Tentang Bastian."

Mata Marva mendadak membulat, "bukannya Bastian udah meninggal?"

Audindra menggeleng, "Bastian itu mengganti namanya menjadi–"

DUAR! PRANG!

Perkataan Audindra terpotong dengan suara ledakan keras dari arah parkiran dan serpihan kaca cafe yang pecah berserakan. Tidak terlihat jelas, namun apinya membumbung tinggi dan efek ledakannya membuat bagian depan cafe rusak parah.

Audindra berlari secepat kilat keluar dari cafe. Marva sendiri masih mematung dan sedetik kemudian berlari mengejar Audindra yang berlari ke parkiran. Begitu sampai di parkiran, Marva tercekat hingga tak sengaja bulir air matanya jatuh. Di depannya berkobar api yang berasal dari motor Audindra. Pemiliknya sendiri sedari tadi hanya terdiam dan mengepalkan tangannya kuat-kuat, membuat Marva merasa dalam situasi yang sulit.

"AIR-AIR!"

"PANGGIL PEMADAM!"

"TOLONG ITU ADA YANG KENA PECAHAN KACA!"

Marva menatap ke arah sekelilingnya yang sekarang ramai oleh warga yang menonton kejadian itu, beberapa warga tampak sibuk memadamkan api. Beberapa lagi menolong Audindra yang ternyata pingsan. Ada juga yang membopong pengunjung yang sekujur tubuh penuh darah. Kaca-kaca berserakan. Marva menjambak rambutnya sendiri. Situasi ini membuatnya sulit berpikir.

"Marva? Lo gak apa-apa kan?," tiba-tiba saja muncul sosok Bagas di samping Marva.

"Ba-Bagas?" Bagas memeluk Marva erat-erat, membuat gadis itu menangis di pundaknya.

Bagas mengatupkan kedua tangannya di pipi Marva yang masih dialiri air mata, "Lo gak luka kan? Ada yang kena api? Atau kegores kaca?"

"T-Tapi, mo-motor Audin–"

"Yang penting lo aman," Bagas mengelus rambut Marva yang tampak berantakan, "ayo pulang."

"Audindra gimana?"

Tanpa menjawab, Bagas menghampiri seorang warga yang mengurus Audindra yang belum siuman, entah membicarakan apa, lalu Bagas memberi uang, mungkin untuk ongkos pulang Audindra yang motornya kini berupa rangka gosong saja.

Bagas kembali menghampiri Marva yang masih menatap Audindra dan bangkai motornya secara bergantian. Ada sebuah kejanggalan terjadi disini. Bagaimana bisa motor itu meledak tanpa sebab yang jelas?

"Ayo, Va."

Mereka berjalan menjauhi kerumunan orang. Motor Bagas melesat membelah dinginnya malam.

Dan dibalik semua kejadian itu, ada seorang yang diam-diam menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

Yang Telah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang