#7

1.3K 54 2
                                    

Deru angkot memekakan telinga Marva. Kini ia tengah bersandar pada kaca belakang angkot yang akan membawanya pulang. Ternyata ada gunanya juga ia menghafal kembali rute angkot menuju rumahnya.

Bagas Tristan: Va
Bagas Tristan: Ini gak lucu
Bagas Tristan: Kamu dimana?
Bagas Tristan: Kamu gak diculik mimi peri kan?
Bagas Tristan: Va
Bagas Tristan: P
Bagas Tristan: P
Bagas Tristan: P

Marva berdecak kesal. Ia mungkin lupa akan segalanya, tetapi ia juga tahu bahwa dibalik semua ini ada sesuatu yang seharusnya Marva tahu namun disembunyikan oleh Bagas. Sedetik kemudian Marva membenamkan kepalanya diantara kedua tangan yang tengah memangku tasnya. Atau mungkin Marva hanya salah sangka? Apakah Malika yang tadi memanggil dia dengan nama Vale itu salah orang? Jangan-jangan—

Bagas Tristan
Audio Call

Tanpa pikir panjang Marva langsung meng-swipe tombol merah di layar, tanda ia me-reject panggilan dari Bagas barusan.

...

Bagas nyaris saja melemparkan dirinya sendiri ke jalanan ramai di depannya. Tetapi ia mengurungkan niatnya, ia masih ingin hidup. Bagas meremas ponselnya, Marva hilang dan teleponnya di-reject. Kini ia sendiri terdampar di halte depan sekolah dengan motor terparkir disampingnya.

"Hai Bastian."

Senyum licik itu, Bagas sangat benci. "Gue bukan Bastian."

Perempuan dengan rambut ikal plus kacamata bingkai hitam didepannya menyunggingkan senyum sinis. "Masih betah dengan penyamaran lo?"

Senyum sinis itu berubah menjadi tawa yang lebih sinis dari seorang penyihir di kartun manapun. "Gue jadi bingung, yang sebenernya hilang ingatan itu lo atau perempuan yang lo sebut Marva itu."

"Gak ada urusannya sama lo, Hana."

"Ada," Hana menggantung kalimatnya dan mendekat satu langkah ke hadapan Bagas, "gue suka sama lo."

"Tapi gue enggak." Jawab Bagas dingin lalu segera duduk di motor dan menaikkan standar motornya dengan kaki kiri.

"Apa karena Vale?"

Mendengar nama Vale, ia terbungkam dan memilih untuk menyalakan mesin motornya tanpa menjawab pertanyaan Hana.

"Ayolah Bastian, dia telah melupakan lo. Vale yang mencintai lo udah gak ada! Udah mati!"

Amarah Bagas tersulut. Ia turun dari motor dengan tangan kiri terkepal dan tangan kanan memegang helm yang baru saja ia lepaskan. Jika saja ini bukan tempat umum dan membunuh orang tidak akan menimbulkan dosa, ia mungkin sudah menghantamkan helmnya ke muka Hana yang kini hanya berjarak tiga puluh senti dari matanya.

"Sekali lagi lo bilang Vale udah mati, gue yang bakal bikin lo ngerasain mati."

Bagas meninggalkan Hana yang masih memandangnya sinis. Dibalik itu, Hana tersenyum dalam hati.

"Cepat atau lambat semuanya akan terungkap, Bastian."

...

Marva berlari menuju rumahnya. Hujan tiba-tiba saja mengguyur sesaat setelah ia turun dari angkutan kota. Setibanya ia di rumah, tubuhnya basah kuyup, jarak dari jalan raya ke rumahnya lumayan jauh dan ia tidak membawa payung.

Ia memasukkan kunci ke lubangnya lalu memutarnya dua kali searah jarum jam. Pintu rumahnya terbuka, hanya gelap.

Marva membalik badan dan mengunci pintunya lagi. Setelah mengunci pintu, sepersekian detik setelahnya ia tiba-tiba saja dipeluk erat oleh seseorang.

"Maafin gue," Bagas berucap lirih di telinga Marva.

"Untuk apa?"

"Untuk segalanya." Bagas mengeratkan pelukannya, tetapi tidak dibalas oleh Marva.

"Gas, lepasin."

"Jangan marah kayak gini, plis. Maafin gue."

"Gas."

"Kenapa?"

"GAS, LEPASIN GUE MAU MATI ELAAAH, SESEK NIH."

"Oh, sorry." Bagas melepas pelukannya.

Beberapa detik setelahnya mereka hanya saling menatap tanpa sepatah katapun. Hingga akhirnya Marva ganti memeluk erat Bagas dan membisikkan sesuatu di telinganya, "dimaafin."

Bagas membalas pelukan Marva dan mengacak puncak kepalanya, "makasih, Va."

'Terima kasih sudah menerimaku kembali.' batin Bagas.

Yang Telah HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang