Setelah hari itu, Marva tidak banyak bicara pada Bagas, begitu juga sebaliknya. Situasi menjadi canggung akhir-akhir ini. Walau pada faktanya Bagas masih mengantar jemput Marva setiap hari, setiap menit, setiap detik.
"Ngelamun aja." Sapaan Natasha yang membawa wadah bekal serta botol minum ke mejanya, membuyarkan lamunan Marva. Bukannya menjawab, ia malah melemparkan senyum yang sangat terpaksa pada Natasha dan Aiza–teman sebangku Marva. Oke, ini hari ke-3 sejak situasi canggung itu dimulai dan ia sama sekali belum ada niat untuk kembali lagi dengan Bagas. Sejak saat itu juga, Marva selalu diam di kelas saat istirahat.
"Napa sih lu, galau aja kayak habis ditinggal mati Paul Walker," sewot Aiza karena sejak tadi hanya jadi patung lumutan disebelahnya.
"Emang udah mati, bego." Natasha menempeleng kepala Aiza tanpa perasaan manusiawi.
"Ya maap, hehe."
Marva mendengus sebal, pusing dengan dunianya yang hanya sepotong. Mengapa orang lain dengan indahnya bisa bernostalgia, atau mungkin mengungkit gosip masa SMP, sedangkan Marva? Kejadian satu bulan yang lalu pun tak ia ingat.
"Va," Marva melirik mereka dengan lesu, sedetik kemudian ia menyadari tatapan Natasha dan Aiza yang begitu tidak wajar, "cerita coba."
Marva mencoba menarik napas sepanjang mungkin lalu menghembuskannya. "Pusing gue tuh, gue tanya Bagas tentang Vale, Rivaldo, Bastian, cowok yang nyelip di lorong, semuanya gak tau, emang separah apa sih amnesia gue ini? Apa imajinasi gue sebegitu jauhnya sampe gue gabisa ngebedain mana imajinasi mana yang memang memori gue? Gue kan lupa woy lupaaa. Tapi ya, Bagas tuh waktu itu bilang–"
"Marva." Audindra tiba-tiba saja memanggil dari ambang pintu, "ada yang nyari."
"Siapa?" tanpa menunggu sahutan dari Audindra, Marva langsung meninggalkan Aiza dan Natasha yang sedari tadi masih menyimak ocehan tidak berfaedah dari Marva dan berjalan ke arah pintu kelas. Dan bisa ditebak siapa yang datang ke kelas pada jam istirahat pertama ini.
"Butuh asupan nasgor nih, kantin yuk."
Siapa lagi kalau bukan Bagas Tristan si manusia penggila nasgor akut setelah Marva.
"Kenyang." Lalu tanpa bicara lagi, Marva membalikkan badan dan segera dicegah oleh Bagas dengan mencengkeram lengan kanannya.
"Mana ada pagi-pagi cuma minum segelas susu jam segini masih kenyang."
Kalimat magis dari Bagas membuat Marva mematung ditempat selama tiga detik lalu berubah pikiran dalam sekejap. "Oke gue temenin, 5 menit."
Bagas mendengus pelan, "Va, plis, lo itu anak IPA, jago ngitung, bisa memperkirakan waktu dengan menghitung kecepatannya, kita jalan ke kantin aja udah satu menit, belum ngomong ke ibunya satu menit, terus masak nasgornya, terus–"
"Terus gak jadi nasgor-nya?"
"Eh, ayo, jadi dong princess, malah bacot yak maafkan." Bagas merangkul bahu Marva lalu berjalan menuju kantin.
Dan untuk sekian kalinya Marva menarik napas panjang.
...
Sore hari yang cerah. Cahaya matahari sore menghangatkan suasana kantin yang mulai sepi. Dan seperi biasa, Marva dan Bagas memilih tempat strategis, bangku yang menghadap jalan raya depan sekolah.
"Va."
"Hm." Marva menoleh ke arah Bagas yang tengah asyik memotong bakso menjadi empat bagian lalu menyuapnya.
Bagas melumat makanannya sejenak, "kenapa lo ngediemin gue? Maaf kalo gue ada salah walaupun ya–gue gak tau salah gue apa."
"Gue cuma bingung."
"Karena?"
"Pikiran gue sendiri."
Bagas membalik sendok pada mangkuknya yang menyisakan kuah berwarna merah gelap. "Tentang Vale?"
Marva mengangguk. Bagas bingung harus merespon apa pada Marva. Antara ia harus menceritakan semuanya dan berakhir dengan Marva marah padanya, atau terus menyembunyikannya hingga lulus.
Dan akhirnya Bagas tetap pada pilihan kedua. "Oke, tentang Vale. Sama dengan kejadian Bastian yang lo suka dulu. Vale suka sama gue. Dan gue menyia-nyiakan dia. Selesai."
Marva menghembuskan nafas pendek, "lo kan udah cerita kalo tentang itu, kirain ada apa lagi."
Bagas berusaha sepandai mungkin untuk mengarang cerita, namun entah kenapa kepalanya terasa kosong. "Ya, emang cuma segitu, habis begonya gue tuh ya menyia-nyiakan dia, itu aja."
"Terus sekarang Vale dimana?"
Wajah Bagas berubah pucat pasi, ia tidak mungkin menyebutkan dimana seorang Vale itu berasa, itu bisa berakibat fatal. "Di-dia–"
"Bastian!" Seorang cowok yang agak hitam seperti Malika–biji kedelai hitam berkualitas–dengan jaket merah belel tiba-tiba saja menepuk bahu Bagas. "Besok futsal di Ronaldo ya, lawan IPA lima."
Tu–tunggu, ia memanggil Bagas dengan sebutan apa?
Kening Marva berkerut, bingung mencerna semua ini, "Bastian?"
Dua cowok yang sibuk membahas futsal esok hari itu terhenti karena perkataan Marva barusan. Tergambar jelas perbedaan ekspresi mereka disana, cowok yang agak mirip Malika tadi tampak bingung sedangkan Bagas menunjukkan ekspresi yang tak bisa Marva tebak.
Cowok itu menatap Marva sebentar, Marva rasa cowok itu mungkin mengenalnya namun lupa nama. "Vale ya?"
Belum sempat Marva menjawab, Bagas tiba-tiba saja berdiri dan membawa cowok itu–Malika–dengan bringas menjauh dari kantin. Meninggalkan ia sendiri di bangkunya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Telah Hilang
Teen Fiction[-] Ketika lupa menjadi jalan terbaik. Ketika permintaan telah terkabul. Ketika takdir tak dapat diubah. Ketika semua tak lagi sama. Ketika luka hati tak dapat disembuhkan. Ketika serpihan hati yang telah hilang datang kembali. Ketika penggalan-pen...